Mengenal Kitab Pesantren (2): Kitab Maqashidus Siyam

Mengenal Kitab Pesantren (2):  Menelaah Kitab Maqashidus Siyam dari Shulthanul Ulama

Guru MI penulis, Pak Wahib, berpesan saat pelepasan wisuda, “Carilah kawan baik dan pintar sebanyak-banyaknya di manapun kamu berada, insya Allah banyak manfaat yang kamu dapatkan.”

Petuah tersebut penulis amalkan betul dan kini penulis merasakan banyak sekali manfaat dan ilmu yang hadir begitu saja di timeline Facebook penulis. Salah satunya hadir dari konten-konten pengajian yang dihadirkan Dr. Luqmanul Hakim Al-Azhari, beliau seorang ulama yang selama 20 tahun belajar di Universitas Islam Al-Azhar Asy-Syarif Mesir, dan kini mengasuh Pesantren Yatama Az-Zikra Depok.

Kapasitas keilmuan beliau tak diragukan lagi, gelar sarjana, magister dan doktor diraihnya dari sana dan banyak sekali kitab yang ditulisnya. Selama masa pandemi Covid-19 ini, Dr. Luqmanul Hakim Al-Azhari membuat pengajian online dari Facebook yang disampaikan dengan sangat lugas dan mudah dipahami. Tak ayal, beliau disebut-sebut sebagai sedikit dari ulama ahli hadis Indonesia yang memiliki sanad ‘ulya dari Syekh Yasin al-Padani.

Pada kesempatan kali ini penulis akan membagikan pengalaman ngaji ke Dr. Luqman secara online lewat akun Facebook dan YouTube-nya. Satu kitab yang penulis pelajari adalah Maqashid as-Shaum, yang ditulis oleh Shulthanul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalam (577-660 M). Menariknya, belajar kitab Maqashidu as-Shaum dari Dr. Luqmanul Hakim kita mendapatkan sanad keilmuan yang bersambung kepada penulis kitab, Syekh Izzuddin. Yakni dari jalur Prof. Dr. Saad Rizq Gawish Al-Azhari dari Musnid ad-Dunya Syekh Yasin al-Fadani dari guru-guru beliau sebagaimana jalur sanad yang beliau kumpulkan dalam kitabnya al-‘Iqd al-Fariid min Jawahir al-Asaanid.

Penulis tak akan membahas panjang lebar siapa sosok Syekh Izzuddin bin Abdussalam, karena sudah banyak tulisan tentang kebesaran namanya. Beliau sebagaimana dalam mukadimah kitabnya ini, dikenal sebagai Syaikhul Islam yang gigih mengkaji keilmuan Islam mulai dari tafsir, fiqih hingga tasawuf, hidupnya sangat zuhud dan memandang rendah kehidupan dunia.

Ia juga seorang mujahid yang gagah berani bertempur melawan musuh-musuh Islam dan bersikap tegas mengkritik para raja yang dzalim pada masanya. Beliau juga dikenal sebagai Bai’ul Umara, penjual para raja. Kenapa bisa begitu?

Pada saat beliau hijrah ke Mesir yang memerintah adalah Daulah Mamlukiyah, raja-raja yang memimpin pada waktu itu adalah para keturunan hamba sahaya. Berarti secara syar’i Syekh Izzuddin memandang bahwa mereka tidak layak memimpin orang-orang yang merdeka. Dan satu-satunya jalan adalah mereka harus dijual, dibeli lalu dimerdekakan. Atas arahan Syekh Izzuddin inilah mereka bersedia dijual, dibeli dan dimerdekakan. Karena itulah para raja segan dan gentar kalau berhadapan dengannya. Syekh Izzuddin wafat sebagai syuhada di lembah gunung al-Muqaththam dan dimakamkan di al-Qarrafah al-Kubra.

Kitab Maqashidu as-Shaum termasuk salah satu risalah kitab yang tipis namun memiliki keistimewaan berupa penjelasan yang komprehensif dan mudah dipahami. Kitab ini terdiri dari 10 bagian, yakni: (bagian 1) kewajiban berpuasa; (bagian 2) keutamaan berpuasa; (bagian 3) adab-adab berpuasa; (bagian 4) apa yang harus dijauhi saat berpuasa; (bagian 5) lailatul qadar; (bagian 6) iktikaf bulan Ramadhan; (bagian 7) puasa Syawal; (bagian 8) puasa mutlak; (bagian 9) puasa Sunnah; (bagian 10) hari-hari yang dilarang berpuasa.

Syekh Izzuddin menulis kitab ini dengan uraian yang lugas disertai dalail-dalil al-Qur’an dan Hadits yang mudah dihafal. Boleh jadi kitab ini memang didesain, ditulis dan didedikasikan Syekh Izzuddin kepada umat Islam yang luas, berapapun usianya, setinggi apapun kapasitas keilmuannya. Bahkan seorang awam pun, bila membaca kitab ini, ia bisa memahami seluk-beluk puasa secara komplit dengan sangat renyahnya.

Selain menulis kitab ini, Syekh Izzuddin bin Abdussalam juga menulis dua kitab lainnya yang memiliki format penulisan yang mirip—lugas, renyah dan komplit—yakni berjudul Maqashid as-Shalat dan Maqashid al-Hajj. Lalu oleh beberapa muridnya ketiga risalah ini dijilid menjadi satu dan diberi judul Maqashid al-Ibadah.

Pada bagian pertama, kewajiban puasa, Syekh Izzudin mengutip firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Allah memanggil kita dengan panggilan kasih penulisng sebagai kaum beriman. Diwajibkan puasa kepada kaum beriman. Bahwa kita berlapar-lapar saat berpuasa, bukan berarti Allah hendak menyiksa kita, tetapi hal ini sebagai pembersihan jiwa, raga, hati agar menjadi orang-orang yang bertakwa. Dengan kata lain berpuasa juga menjadi sebab bagi pengampunan dosa-dosa kita yang 11 bulan kita lakukan sebelumnya. Lalu Syekh Izzuddin menukil hadits Nabi:

 “Islam dibangun di atas lima hal: yaitu agar engkau menyembah Allah dan kufur kepada selain Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Selanjutnya, pada bagian kedua, Syekh Izzuddin menjabarkan bahwa puasa mengandung beberapa faedah; di antaranya meninggikan derajat manusia. Rasulullah bersabda, “Setiap amal anak Adam itu dilipatgandakan. Satu kebaikan mendapat 10 kali lipat hingga 700 kali lipat.” Allah berfirman, “Kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Dia tinggalkan syahwat dan makanan karena Aku.” Jikalau pada ibadah lainnya, malaikat bisa mencatat seberapa banyak pahala kita, maka khusus pada ibadah puasa ini, Allah-lah yang memberikan pahala langsung kepada seorang yang berpuasa.

Allah menisbahkan puasa kepada-Nya sebagai bentuk kehormatan. Karena pada puasa tidak termasuki oleh riya, karena tidak nampak, dan lapar dan dahaga ditanggung sendiri oleh manusia sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah. Sementara pada hadits lainnya Rasulullah bersabda:

“Apabila Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, serta setan-setan dibelenggu.” Dibelenggunya setan berarti terputusnya bisikan setan terhadap orang-orang yang puasa, karena mereka tidak bisa berharap agar orang-orang yang puasa mengikuti ajakan mereka untuk berbuat maksiat.

Sementara pada bagian ketiga, Syekh Izzuddin menjabarkan ada enam adab-adab berpuasa, yakni (1) menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan yang dzalim dan melanggar syariat; (2) apabila diundang untuk makan, sementara ia sedang berpuasa maka hendaklah ia berkata, “Aku sedang berpuasa.”; (3) membaca doa saat berbuka puasa; (4) makanan untuk berbuka adalah kurma basah atau kurma kering, atau air; (5) menyegerakan berbuka; dan terakhir (6) mengakhirkan sahur. Maksud dari pengakhiran makan sahur adalah untuk membantu dalam menguatkan puasa. Agar tubuh masih dalam kondisi bugar dengan stamina yang fit saat menjalankan puasa, sehingga badan tidak letih dan lapar, lalu membuatnya tidak kuat untuk beribadah lainnya.

Rasulullah menjelaskan bahwa antara sahur beliau dan shalat Subuh hanya berjarak sekira bacaan 50 ayat al-Qur’an. Sedangkan maksud dari disegerakan berbuka, karena kondisi lapar dan haus, dikhawatirkan bisa jadi penyebab kondisi yang buruk pada badan, sehingga tidak ada alasan untuk memperpanjang puasanya karena hal demikian tidak dihitung ibadah.

Penulis tak mungkin menjabarkan seluruh isi kitab Maqashid as-Shaum pada kolom yang terbatas ini. Membaca kitab ini kita diajak menyelami makna puasa dan memahami maksud dibaliknya, sehingga kita berpuasa tak sekadar menjalani rutinitas menahan lapar dan dahaga selama 30 hari saja.

Tetapi, kita diajak Syekh Izzudiin menyelami dimensi lain dari ibadah puasa itu sendiri, bahwa puasa kita sejatinya hanya diperuntukkan kepada Allah. Dan Allah akan membalasnya dengan cara yang spesial. Wallahu A’lam.

Penulis: M. BAGUS IRAWAN

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!