Mengenal Kitab Pesantren (4): Tafsir Jalalain, Kitab Tafsir Kesukaan Kiai Zaini Mun’im
Ketika pamit pulang kepada Kiai Zuhri Zaini, pengasuh pesantren Nurul Jadid Paiton, sebelum mangakhiri masa tugas sekitar dua minggu yang lalu, penulis berkesempatan menimba ilmu kepada beliau secara intim di kediamannya yang kelewat sederhana itu. Keadaan pesantren yang ditutup untuk umum menyikapi penyebaran covid-19 ini, sehingga tidak ada tamu kecuali satu orang santri, memungkinkan penulis dengan leluasa bertanya banyak hal pada beliau. Sekitar tiga jam, penulis bersimpuh menyimak dawuh beliau seputar masalah tasawuf, tarekat, kepesantrenan, kemasyarakatan, politik dan isu-isu terkini yang sedang berkembang.
Salah satu hal yang sempat penulis utarakan pada beliau adalah, apa kitab dan amalan yang menjadi kesukaan kiai sepuh? Istilah “kiai sepuh” merujuk kepada Kiai Zaini. Mun’im, pendiri pesantren Nurul Jadid. Terminologi Kiai sepuh, penulis adopsi dari kebiasaan Kiai As’ad Syamsul Arifin yang jika menyebut ayahanda beliau, Kiai Syamsul Arifin, pendiri pesantren Sukorejo Asembagus, menyebutnya Kiai sepuh.
“Kalau kitab kesukaan beliau, abah, adalah kitab Tafsir Jalalain, yang saat ini penulis baca tiap sore bakda asar. Sementara kalau amalan dan wirid adalah …. (beliau menyebut beberapa wirid dan amalan yang tak mungkin penulis sebut di sini, karena itu edisi terbatas hahaha), ujar Kiai Zuhri menjawab pertanyaan penulis.
Mendengar jawaban itu, ruang imajinasi penulis terpental ke belakang sembari mengingat ketika suatu waktu mendengar guru penulis, Kiai Afifuddin Muhajir berkisah ihwal kitab kesukaan Kiai Kiai As’ad Syamsul Arifin, pendiri dan pengasuh kedua Pesantren Sukorejo. Kiai Afifuddin menyebut persis seperti yang disebutkan Kiai Zuhri, bahwa kitab kesukaan pendiri Pesantren Sukorejo adalah kitab Tafsir Jalalain.
Kitab Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir yang sangat terkenal terkenal di seluruh pesantren di Indonesia. Hampir tidak ada satu pesantren pun, yang tidak menjadikan kitab yang dia tulis ulama abad ke sembilan itu sebagai kitab induk bidang tafsir. Bahkan A. H. Jonsh, dalam sebuah artikel yang bertajuk, “Quranic Exegesis In the Malay World: In Seacrh Of a Profile” menyebut, tafsir ini juga masuk dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah setidaknya sampai tahun 1959.
Lebih jauh, Husain al-Dzahabi dalam karyanya yang terdiri dari dua jilid, al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyebut tafsir al-Jalalain sebagai kitab yang paling banyak mendapat respons positif dari seluruh dunia Islam. Ia menulis:
وهو من اعظم التفاسير انتشارا واكثرها تداولا ونفعا
“Kitab tafsir Jalalain ini adalah termasuk kitab paling besar (luas) penyebarannya dan paling banyak pemakaian dan manfaatnya”.
Di samping faktor kekeramatan penulisnya dan ini masuk ranah metafisik, alasan kenapa kitab ini begitu laris adalah karena kitab ini menggunakan tafsir ijmali (ringkasan atau garis besar) dalam penyusunannya. Dengan metode tersebut, kitab tafsir Jalalain memungkinkan untuk dipelajari secara tuntas dalam waktu yang sebentar. Ditambah secara hitung-hitungan ekonomis, kitab ini bisa diakses oleh seluruh kaum santri termasuk mereka yang ekonominya tidak mapan-mapan amat. Ia hanya terdiri dari satu jilid sekitar 513 halaman terbitan al-Miftah Surabaya seperti yang penulis miliki. Bandingkan dengan kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakruddin al-Razi atau al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu Asyur yang jangankan membacanya membelinya saja sulit bukan main.
Kitab ini ditulis oleh dua orang yang kebetulan sama-sama memiliki nama Jalaluddin. Pertama, jalaluddin Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Mahalli al-Syafi’i. Kedua, Jalaluddin Abu al-Fadhl Abdurrahman ibn Abu Bakar ibn Muhammad al-Suyuti al-Syafi’i. Sehingga masyhur nama kitab ini disebut dengan Jalalain, yang secara leksikal kebahasaan berupa Isim Tasniyah/musanna yang berarti dua Jalal.
Nama pertama adalah seorang ulama kenamaan yang dikenal sebagai tokoh yang menguasai banyak disiplin ilmu seperti fikih, ilmu kalam, usul fikih, nahwu, mantik dan lain sebagainya. Karangan-karangannya banyak dibaca juga dipesantren seperti yang amat terkenal adalah kitab Syarh al-Jam’ul al-Jawami’ sebuah komentar atas kitab usul fikih yang super njelimet itu. Penulis mengkaji kitab ini di Ma’had Aly Situbondo kepada Kiai Afifuddin Muhajir. Alhamdulillah, di tangan Kiai Afif, sedikit demi sedikit penulis memahami kitab babon dalam usul fikih itu.
Nama kedua juga tak kalah masyhur, yakni Jalaluddin al-Suyuti. Ia seorang ulama yang menguasai banyak ilmu pengetahuan keislaman. Kecuali ilmu Faraid yang ia akui sendiri ia tak begitu mendalami, semua jenis ilmu keislaman ia kuasai. Para penulis biografi, ketika mendeskripsikan al-Suyuti selalu menyebut sosoknya sebagai ulama yang percaya diri, ia selalu melakukan glorifikasi-glorifikasi pada dirinya. Sekadar contoh, ketika menulis Alfiyah dalam ilmu Hadis, dalam pembukaan ia berkata:
وهذهِ أَلْفيَّةٌ تَحكِى الدُّرَرْ … منظومةٌ ضَمَّنْتُها عِلْمَ الأَثَرْ
فائِقةٌ أَلْفيَّةَ العِرَاقِي … فِي الجَمْعِ والإِيجازِ وَاْتِّسَاق
Ini adalah kitab alfiyah yang merupakan intan # berupa nazam yang berisikan ilmu al-Atsar
Kitab ini mengalahkan alfiyah-nya al-Iraqi # lebih komplit pembahasannya, simpel dan berurutan
Bukan hanya dalam satu momen, al-Suyuti melakukan glorifikasi, dalam sebuah kesempatan lain, sebagaimana terekam dalam karyanya yang berjudul Husn al-Muhadharah fi Tarikh al-Misr wa al-Qahirah, ia berkata:
والذي أعتقده أن الذي وصلت إليه من هذه العلوم السبعة سوى الفقه والنقول التي اطلعت عليها فيها، لم يصل إليه ولا وقف عليه أحد من أشياخي؛ فضلا عمن هو دونهم
Dan yang aku yakini ialah bahwa apa yang aku capai dari ketujuh cabang ilmu itu tidak pernah dicapai oleh seorang pun dari guru-guruku, apalagi orang yang ada di bawah mereka.
Coba perhatikan, betapa ia begitu PD. Hahaha. Tetapi maklum, yang mengatakan demikian adalah al-Suyuti, orang-orang akan mengamininya. sebab ia banyak menulis karya dalam berbagai bidang. Terkait dengan berapa jumlahnya, tak ada kepastian berapa karya yang ditulis oleh al-Suyuti. Al-Dawudi, salah seorang santri al-Suyuti menyebut, ada sekitar 500 karya yang berhasil ditulis. Ibn Iyas, dalam Tarikh al-Misr menyebut ada 600 karya tulis sementara Fugel, seorang orientalis tekemuka menyebut 561 karya.
Dan yang lebih fantastis adalah, al-Suyuti menulis kitab Tafsir Jalalain hanya membutuhkan waktu 40 hari. Hal itu terbaca dari penegasannya ketika memulai memberi penafsiran pada surat al-Isra’, ia mengatakan memulai menulis pada hari Rabu awal Ramadhan tahun 870 H. Dan selesai pada hari ahad tanggal 10 Syawal pada tahun yang sama. Dengan demikian, masa penulisan tersebut berlangsung selama kurang lebih 40 hari. Hal ini dikuatkan dengan perkataanya sendiri:
والفته في مدة قدر ميعاد الكليم
“Dan aku menulis kitab Tafsir Jalalain ini dengan waktu kira-kira seperti masa nabi Musa berbincang dengan Tuhan (40 hari)”.
pertanyaan selanjutnya adalah; bagian mana yang merupakan karya al-Mahalli dan bagian mana karya al-Suyuti? ulama tidak menemukan kata sepakat dalam menentukan hal ini. tetapi pendapat yang paling kuat adalah seperti yang dikemukakan oleh Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun. menurutnya, al-Mahalli menulis penafsiran dari awal surat al-Kahfi sampai dengan surat al-Nas. lalu ia mulai menfasirkan al-Fatihah hingga selesai, tetapi tidak melanjutkan penafsiran selankutnya karena maut menjemputnya.
kemudian datang al-Suyuti dan melanjutkan penafsiran yang belum selesai itu. ia memulai dari al-Baqarah dan berlanjut sampai al-Isra’. al-Suyuti meletakkan penafsiran al-Fatihah dalam kitab Tafsir Jalalain ini di bagian akhir kitab bukan di bagian awal seperti urutan aslinya. mungkin harapannya adalah agar bagian karya al-Mahalli tetap berkumpul menjadi satu.
yang menarik juga untuk didiskusikan adalah kenapa al-Mahalli memulai penafsiran sejak al-Kahfi bukan dari al-Fatihah? untuk menjawab kegelisahan ini tampaknya belum ada penjelasan yang cukup memadai atas hal tersebut. mungkin saja, ada “isyarat langit” yang membuat al-Mahalli memulai dari al-Kahfi.
catatan terakhir dari Husain al-Dzahabi adalah bahwa salah satu keunikan kitab ini adalah tampak tak ada pertentangan, baik secara redaksi maupun secara substansi. padahal kitab ini dikarang oleh dua orang yang berbeda di masa berbeda. kalau mau dipaksa ada pertentangan, setidaknya al-Dzahabi melaporkan 10 perbedaan yang tak begitu mencolok. silahkan bisa dibaca sendiri dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun.
penulis pernah ngaji kitab Tafsir Jalalain sampai khatam ini dulu sekitar tahun 2013, ketika masih kelas satu SMA (setingka Aliyah) kepada Kiai Afifuddin Muhajir di Musalla Ibrahimy pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo. dan juga ngaji tabarrukan selama dua bulan kepada Kiai Zuhri Zaini di Mesjid Jamik Pesantren Nurul Jadid Paiton bakda asar.
Penulis: AHMAD HUSAIN FAHASBU