Keilmuan ulama Maroko memang selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi santri-santri Indonesia, terkhusus warga Nahdliyyin.
Sebagaimana diketahui bahwa Maroko merupakan bagian paling barat dari Dunia Islam. Sehingga negeri seribu benteng ini akrab dengan nama “Negeri Maghrib”.
Hal ini pula yang memberi corak keislaman yang khas di Maroko. Kombinasi antara madzhab fiqh Imam Malik dan studi hadits yang kuat. Dengan demikian tidak aneh jikalau jejaring keilmuan ulama Nusantara dengan ulama maroko telah terjalin sejak lama.
Melalui upaya ulama nusantara yang menuntut ilmu di Makkah pada abad ke-19 M. Salah satunya adalah Hadratussyekh KH M. Hasyim Asy’ari yang mengenyam pendidikan di Makkah pada rentang tahun 1892-1899 M.
Beliau adalah pakar hadits terkemuka pada masanya sekaligus pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 M.
Dalam sanad beliau atas kitab Shahih Bukhari tertulis nama seorang ulama agung dari Maroko yaitu Syaikh Abu Syuaib bin Abdurrahman Ad-dukkali Al-maghribi. Seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu.
Kealiman beliau dibuktikan dengan kedatangan beliau ke Makkah atas undangan dari gubernur Mekkah As-syarif Aunur Rofiq (1882-1905 M) pada tahun 1896 M. Sudah tentu undangan ini melihat kealiman Syekh Abu Syuaib semasa nyantri di Universitas Al-Azhar Kairo.
Kedatangan beliau seketika menarik perhatian pelajar-pelajar di Makkah pada masa itu termasuk Hasyim Asy’ari muda.
Pertemuan ini mengantarkan Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari menerima ijazah (pengakuan dan kewenangan untung mengajarkan suatu kitab) atas kitab Shahih Bukhari sebagaimana yang tertulis dalam sanad beliau. Selain Hadratussyekh, tercatat beberapa angkatan di bawah beliau juga berguru pada Syekh Abu Syuaib antara lain Syekh Baqir bin Kyai Muhammad Nur Al-jukjawi (Jogjakarta) dan Syekh Abdur Rasyid Al-bughisi (Bugis).
Ijazah ini sampai ke tangan kita pada sanad Shahih Bukhari dari KH. Kamuli Chudlori pengampu Shohih Bukhari di Pesantren Tebuireng murid dari KH. Idris Kamali dan KH. Syansuri Baidhawi.
Jikalau diperhatikan sanad Hadratussyekh melalui jalur Syaikh Abu Syu’aib Ad-Dukkali ini memiliki keistimewaan tiga perawi lebih tinggi dari sanad jalur Al Muhaddist Syaikh Mahfuzh Tremas, dengan rincian berikut: Jalur Syekh Tremas lalu ke Sayid Bakr Syatha, beliau menjadi rawi ke-23 Jalur Syekh Dukkali lalu ke Syekh Abdullah Qadumi An Nabulsi Syam, beliau rawi ke-19 Sanad Shahih Bukhari Hadratussyekh diperoleh dengan Talaqqi secara Sama’ dan Qiro’ah kepada pondasi keilmuannya yaitu Syaikh Mahfuzh Tremas, sedang sanad melalui Syekh Syuaib Dukkali didapat secara Ijazah saja.
Sanad terbaik bagi kitab-kitab induk hadis khususnya Shohihain adalah dengan jalur Talaqqi bukan hanya jalur Ijazah (Lihat Fihris al Fahares, Sayid Abdul Hayy Kettani).
Sayangnya Syaikh Abu Syuaib tidak lama mengajar di tanah suci. Beliau memutuskan untuk pulang ke Maroko pada tahun 1328 H bertepatan 1910 M. Selepas kepulangannya beliau kembali menyibukkan diri dalam pengajaran berbagai bidang ilmu khususnya studi hadita dan fiqih madzhab malikiyah dengan semangat nasionalisme dan ishlah (perbaikan umat). Beliau wafat di usia 58 tahun dan dimakamkan di kota Rabat pada (1356 H-1937 M) tepatnya di Medina Qadima di Zawiyah Moulay Makky Al Wazzani Al Hasani.
Kini Jejaring keilmuan di antara ulama Indonesia dan ulama Maroko berlanjut hingga kini. Ratusan mahasiswa dari berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia pada hari ini memenuhi Maroko mulai dari ujung Oujda hingga Sous di tepi Gurun Sahara.
Demikian pula di pesantren-pesantren salaf pada umumnya, mengamalkan shalawat Dalāil Khairāt (oleh Syekh Sulaiman Al-jazuli), shalawat Nāriyah (oleh Syaikh Abdul Wahhab At-tazi), dan amalan-amalan lainnya. Juga dibuktikan dengan pengiriman mahasiswa melalui sinergi PBNU dan Kementerian Wakaf Kerajaan Maroko, turut mengisi madrasah-madrasah dan kampus-kampus di Maroko. Kuatnya hubungan keilmuan Indonesia dengan Maroko juga yang menjadikan Raja Maroko Moulay Muhammad VI turut mengundang ulama Indonesia pada agenda agung pertemuan ulama dan raja Durus El Hassania.
Agenda besar pertama kali dicanangkan oleh mendiang Raja Moulay Hassan II (menjabat 1961-1999 M) pada tahun 1963 M dalam rangka menegaskan kesetiaan konstitusi Kerajaan Maroko pada Syariat Islam.
Durus El Hassania membahas berbagai permasalahan dalam Dunia Islam dan keprihatinannya dalam menyikapi tantangan dunia modern. Acara tahunan ini mempertemukan ulama dari berbagai belahan dunia dan juga pakar hukum serta peneliti-peneliti dengan Raja Maroko di Istana Kerajaan Maroko, Rabat. Menempatkan ulama di kursi ilmiah menyampaikan ceramah keagamaan di hadapan raja. Pada tahun ini, ulama Indonesia yang menghadiri undangan Durus El Hassania adalah mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Amany Burhanuddin Umar Lubis. Diluar event Durus El Hassania secara kontinyu ulama Indonesia turut mengunjungi Maroko.
Seperti kunjungan KH Imam Jazuli. pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon pada Desember tahun lalu, Prof KH Asep Saifuddin Chalim dari MBI Amanatul Ummah Pacet pada Januari lalu dan seperti yang dikabarkan oleh pihak PCINU Maroko bahwa Ketum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf juga akan berkunjung dalam waktu dekat.
Kunjungan tersebut baik dalam rangka berziarah ke makam-makam para Auliya yang tersebar di kota-kota seperti Marrakech dan Fez maupun nyambang (menjenguk) mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan, menjalin sanad keilmuan dengan ulama negeri Maghribi.
Demikianlah upaya untuk terus menerus menyambung jejaring keilmuan dengan ulama Maroko baik secara dirayah maupun riwayah.
Penulis: Muhammad Rashief Fawaz, Mahasiswa Dirasat Islamiyah Universitas Hassan 2 Casablanca Maroko