Husein Muhammad dalam memberikan kata pengantar di buku Beginilah Islamku, karya Edi Ah Iyubenu (Juni 2020) menjelaskan tentang ‘Pohon Islam’. Pohon setidaknya mengandung tiga komponen utama, yaitu akar, batang plus cabang, dan bunga atau buah. Tiga komponen ini, beliau analogikan dalam khazanah islam dengan pokok-pokok ajaran islam; akidah yakni menyangkut keimanan, syariat yang menyangkut hukum, dan akhlak yang menyangkut tindak-tanduk manusia.
Kitab Ihya Ulumuddin bisa dibilang komplit dalam membahas segala hal terkait dengan islam. Di dalamnya secara terperinci telah membeberkan ketiga pokok ajaran di atas. Tidak heran, jika saja Alquran dan hadis tidak ada, kata seorang ulama, maka kitab ini siap menggantikannya sebagai pedoman hidup bagi sekalian manusia. Menurut beberapa ulama, pengarang Kitab Ihya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi’i (lahir di Kota Thus, Iran; 1058 M/450 H – meninggal di kota yang sama; 1111 M/ 14 Jumadilakhir 505 H; umur 52–53 tahun) dalam menuliskan hadis dalam kitab ini, selalu sowan kepada Nabi Muhammad Saw melalui mimpi. Dari sini, di samping kesakralannya, Kitab Ihya Ulumuddin juga sukses menjadi mahakarya Imam Ghazali bagi literatur islam.
Penulisngnya, Kitab Ihya Ulumuddin hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang telah mapan pengetahuan agamanya saja. Di dalamnya banyak mengandung kata-kata kiasan. Sementara kalangan awam lebih menyukai tema keagamaan yang sederhana. Kebutuhan akan penyampaian dakwah islam juga harus terus digalakkan. Belum lagi tidak sedikit dari masyarakat umum yang merasa haus akan pemikiran-pemikiran Imam Ghazali dalam masterpiecenya ini, terpaksa kehilangan kesempatan untuk menyerap sekaligus mengamalkan isi Kitab Ihya Ulumuddin.
Walhasil, berangkat dari tujuan mulia ini, yakni membumikan Kitab Ihya Ulumuddin bagi masyarakat, seorang ulama terkemuka dari Damaskus, Jamal Ad-Din (selanjutnya Jamaluddin) bin Muhammad bin Sa’id Al-Qasimi Ad-Dimasyqi berinisiatif untuk meringkas Kitab Ihya ini. Sebelumnya beliau telah melakukan pengkajian terhadap beberapa kitab.
Kesimpulannya, bahwa Kitab Ihya karya Imam Ghazali ini merupakan kitab yang paling memuaskan dibandingkan dengan kitab dengan pembahasan yang sama sekaligus pantas dijadikan pegangan bagi umat, hanya saja perlu penyederhanaan. Beliau juga sempat berkosultasi kepada seorang Mufti Mesir, Muhammad Abduh akan rencananya ini. Dengan langkah pasti, beliau memulai meringkas pada tahun 1323 H/ 1905 M. Syekh Jamaluddin lahir pada waktu duha, tepatnya pada Senin, 8 Jumadal Ula 1283 H/1866 M di sebuah desa kecil, Qāsimi, Syam, Negara Suriah. Beliau meninggal pada Sabtu sore 23 Jumadilawal tahun 1332 H /18 April 1914 M dalam usia 48 tahun. (Ghofur, 2008:158)
Beberapa tahun kemudian, peringkasan Syekh Jamaluddin rampung dan diberi nama Mauidzoh Al-Mukminin. Arti kitab ini mempunyai pengertian bimbingan untuk mencapai tingkat mukmin. Sebagaimana judulnya, kitab ini membahas penjelasan berbagai mau’idhah (nasehat atau bimbingan) tentang usaha yang harus ditempuh untuk mencapai derajat mukmin yang mengharapkan kebahagian di dunia dan akhirat.
Secara umum, Kitab Mauidlatul Mukminin adalah kitab ringkasan Kitab Ihya Ulumuddin yang di dalamnya tercakup tiga pokok ajaran islam; akidah, syariat, dan akhlak-tasawuf. Adapun secara spesifik, kitab ini berisi penjabaran dari ketiga pokok ajaran di atas, meliputi kitab akidah ahlu sunah wal jamaah, kitab taharah atau bersuci, salat, zakat, puasa, haji, hukum halal-haram, kitab tentang ilmu, adab membaca Alquran, zikir dan doa, makan, nikah, berprofesi, bersosial, uzlah atau menyepikan diri untuk berfokus pada ketaatan, safar (berpergian), amar makruf nahi mungkar atau perintah untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan perbuatan yang keji, akhlak Nabi Muhammad Saw, mengendalikan hawa nafsu, bahaya lisan, marah, cinta dunia, bakhil, jabatan dan ria, sombong dan membanggakan diri, ghurur (menipu), kitab tentang taubat, sabar dan syukur, khauf wa raja (takut dan berharap), zuhud, niat, muhasabah atau intropeksi diri, tafakur, dan mengingat kematian.
Kitab Mauidlatul Mukminin terdiri atas dua jiid, yang mana setiap jilid mewakili dua juz dalam Kitab Ihya (Kitab Ihya Ulumuddin terdiri dari 4 jilid). Pada jilid pertama terdapat 18 bab pembahasan, dimulai dari kata pengantar, khutbah kitab, kemudian dilanjutkan bab satu, dua, tiga hingga bab 18 yang di dalam setiap babnya terdapat beberapa fasal dan diakhiri dengan fahrasat (daftar isi). Kemudian pada jilid kedua terdapat 16 bab pembahasan, dimulai dari bab 19 sampai pada bab 34 (total keseluruhan bab) yang di dalam setiap babnya terdiri dari beberapa fasal dan diakhiri dengan fahrasat (daftar isi). Meskipun kitab tersebut murni sebuah ringkasan, akan tetapi pengarang tidak merubah tata urut pembahasan dengan kitab aslinya. Hanya saja dalam kitab ringkasan tersebut menggunakan kata yang lebih sederhana dan lebih mudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
Adapun contoh peringkasannya, penulis akan mengambil pada Kitab Ihya jilid dua, kitab adab makan, bab pertama tentang adab personal yang memiliki tiga bagian. Bagian pertama, adab sebelum makan terdapat 7 adab: 1. Makanan yang disajikan hendaknya halal secara zat dan tayib atau baik cara memperolehnya; 2. Mencuci tangan; 3. Meletakkan wadah di tanah (tidak di meja atau tempat tinggi lainnya); 4. Mengatur posisi duduk; 5. Berniat atas makanan yang tersaji untuk mengisi kekuatan diri dalam menjalankan ketaatan; 6. Rida atas makanan yang tersaji; 7. Tidak makan sendirian. Dalam Kitab Mauidzoh, nomor 3 dan 4 tidak disebutkan.
Contoh lain pada bagian berikutnya; adab ketika makan dalam bab dan kitab yang sama, Imam Ghazali memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai berdoa sebelum makan, yakni pada suapan pertama membaca ‘bismilllah’, suapan kedua membaca ‘bismillahirrahman’, dan suapan ketiga membaca ‘bismillahirrahmanirrahim’. Sementara dalam Kitab Mauidzoh, Syekh Jamaluddin tidak mencantumkan perincian ini. Selanjutnya mengenai berdoa setelah minum, yakni pada tegukkan pertama membaca ‘alhamdulillah’, tegukkan kedua ditambah ‘rabbil ‘alamiin’, dan tegukkan terakhir ditambah ‘arrahmanirrahim’. Sementara dalam Kitab Mauidzoh tidak mencantumkan perincian ini.
Di kalangan pesantren sendiri, Kitab Ihya hanya dikaji oleh santri-santri senior dengan kyai yang telah mumpuni keilmuannya sebagai pengajar. Sementara Kitab Mauidzoh tidak sedikit pesantren yang telah mengajarkannya kepada santri-santri yang baru mengenyam pendidikan menengah pertama dan atas. Alasan lain pemilihan Kitab Mauidzoh adalah waktu pengkhataman yang jauh lebih pendek dibandingkan kitab Ihya yang perlu beberapa tahun untuk mengkhatamkannya.
Menurut penulis, Kitab Mauidzoh Al-Mukminin sangat relevan dijadikan pedoman khususnya bagi setiap umat islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mengingat isinya sangat selaras dengan apa yang telah termaktub dalam sumber hukum utama dalam islam; al-qur’an dan hadis. Apalagi kitab ini lahir dari rahim Kitab Ihya Ulumuddin yang telah adiluhung pengarangnya ataupun karyanya itu sendiri.
Wallahu A’lam bis Showab.
Penulis: MUHAMMAD ZULFAN MASANDI