Permasalahan akidah dalam bermadzhab di kalangan umat Islam merupakan salah satu permasalahan yang sangat kompleks serta cukup “seksi” untuk diperbincangkan. Hingga dari waktu ke waktu, untuk membahas permasalahan seputar akidah ini pun nampaknya tidak akan pernah ada habisnya.
Bahkan untuk mengurai berbagai permasalahan akidah ini, banyak ulama yang kemudian “turun gunung” untuk membuat formula khusus dengan menulis berbagai macam kitab untuk dijadikan benteng atau pegangan hidup umat Islam, khususnya yang berhaluan ahlussunah wal jamaah. Tak terkecuali, KH. Bisri Mustofa (w. 1977), sosok kyai kharismatik dari Tlatah Rembang, yang telah melahirkan 276 judul kitab yang juga ikut “cancut taliwanda” dengan “menganggit” sebuah kitab mungil berkaliber 105 mm x 148 mm yang diberi judul “Risalah Ijtihad-Taqlid”.
Tidak ada sumber yang otoritatif yang menyebutkan kapan KH. Bisri Mustofa mulai “menganggit” risalah mungil ini. Namun demikian ayah dari KH. Mustofa Bisri a.k.a Gus Mus ini menggoreskan sedikit jejak pena pada lembaran akhir kitab ini dengan “seratan” Jumadil Awal 1374 H atau bertepatan dengan tahun 1954 M yang menjadi penanda tahun selesainya risalah mungil ini ditulis.
Walaupun bentuknya mungil dengan kaliber 105 mm x 148 mm, namun kitab ini cukup otoritatif untuk dijadikan sebagai formula khusus untuk umat Islam dalam bermadzhab. Pasalnya kitab yang diterbitkan oleh Menara Kudus ini pembahasannya sangat komprehensif, berisi 33 soal tanya jawab tentang akidah umat Islam, khususnya yang berakidah ahlusunnah wal jamaah.
Kitab yang sampulnya dilukis dengan sebuah gambar bola dunia yang dikelilingi sembilan bintang, dan dibentengi dengan tali dadung serta diapit oleh dua buah neraca yang masing-masing berisi al-Quran dan Hadits, seolah-olah memberikan pesan husus kepada para pembaca dan pengkajinya —utamanya kalangan pesantren— bahwa dalam berakidah harus berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits.
Dalam mukadimahnya yang berjumlah dua halaman yang diukir dengan lima belas baris tulisan, kakek dari pasangan Kiai Ulil Abshar Abdalla–Ibu Nyai Ienas Tsuroiya ini menekankan pentingnya pemahaman dalam berakidah ahlussunnah wal jamaah. Praktis kitab yang cukup komprehensif ini pun oleh sang muallif diharapkan menjadi benteng di kalangan umat Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah.
Komprehensifitas dalam kitab mungil ini dapat kita lihat dari pertanyaan-pertanyaan yang disusun secara sistematik serta jawaban-jawaban yang begitu komprehensif dari sang muallif. Mulai dari pertanyaan tentang pengertian ahlussunnah wal jamaah, pengertian madzhab hingga yang berkaitan dengan hukum berijitihad.
Semisal pertanyaan hukum berijtihad sendiri dengan al-Quran dan Hadits tanpa mengikuti ulama yang sudah mujtahid. Dalam pandangan kiai kharismatik yang mempunyai nama asli Mashadi tersebut dihukumi tidak boleh, kecuali sudah mencapai derajat mujtahid.
Dalam pandangan kiai yang pernah mukim di Mekkah pada tahun 1936 M dan berguru kepada Syaikh Bakir, Syaikh Umar Chamdan Al Maghrabi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, Sayyid Alawie dan Syaikh Abdul Muhaimin tersebut memandang persoalan dalam berijtihad tidak boleh dianggap sepele, karena dapat merusak tatanan dalam berakidah, jikapun mau berijtihad sendiri harus memenuhi syarat untuk mencapai derajat seorang mujtahid.
Menurut kiai Bisri Mustofa yang tersurat dalam kitab mungil ini, syarat seseorang untuk mencapai derajat mujtahid ada sepuluh, yaitu:
(1) Menguasai bahasa Arab.
(2) Menguasai ilmu al-‘Arabiyah
(3) Menguasai ilmu ushul
(4) Menguasai ilmu balaghah
(5) Menguasai muta’alliqul ahkam min kitabi wa sunnah
(6) Menguasai ilmu nasikh wa mansukh
(7) Menguasai ilmu asbabunnuzul
(8) Menguasai syarthul mutawatiri wal ahad
(9) Menguasai ash shohihi wadh dhoifi
(10) Menguasai halurruwah
Lebih jauh lagi, menurut kiai yang lahir di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah tahun 1915 ini, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar ijtihad kerap kali memolesnya dengan analogi yang sederhana agar jawaban tersebut mudah dicerna oleh para pembaca.
Semisal pertanyaan yang cukup “ngenyel” seputar ijtihad, karena tidak memenuhi sepuluh syarat di atas, maka bagaimana hukumnya, apakah tidak boleh berpegangan pada al-Qur’an dan Hadits? Padahal umat Islam diperintahkan untuk berpegang pada al-Qur’an dan Hadits.
Pertanyaan di atas dijawab dengan lugas disertai dengan sedikit analogi. Menurut kiai yang juga muallif dari kitab Tafsir al-Ibris ini orang yang taklid —mengikuti ulama yang mujtahid— itu berarti tidak serta merta lepas dari al-Quran dan Hadits, karena mujtahid yang ditaqlidkan itu juga tidak lepas dari al-Qur’an dan Hadits.
Untuk melengkapi jawaban di atas, beliau pun menganalogikannya dengan sederhana. Menurutnya; jika kita meminum air pancuran (pipa air) itu tidak berarti bahwa kita itu tidak minum air sumber. Sebab air pancuran tersebut juga berasal dari sumber air.
Baca juga: Mengenal Kitab Pesantren (8): al-Arba’una Haditsan min Arba’ina Kitaban ‘an Arba’ina Syaikhan Karya Syekh Muhammad Yasin al-Fadani
Itulah sedikit ulasan mengenai kitab Risalah Ijtihad–Taqlid yang dapat dijadikan sebagai formula husus untuk Umat Islam dalam bermadzhab, yang “dianggit” langsung oleh Kiai Bisri Mustofa yang juga merupakan santri kinasih dari kiai Cholil Harun, Kasingan, Rembang, Jawa Tengah.