Mengenal Kitab Pesantren (57): Kitab Lathaif at-Thaharah Karya Kiai Sholeh Darat

Membaca kitab karya Kiai Sholeh Darat adalah bagian ikhtiar penulis untuk menyelami keilmuan ulama’ Nusantara. Karya Kiai Sholeh yang baru penulis baca di antaranya kitab Munjiyat dan kitab Lathaif at-Thaharah yang kini menjadi pembahasan penulis dalam tulisan ini. Kita Lathaif ini menggunakan bahasa arab pegon, pembahasan yang diuraikan Kiai Sholeh seputar tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa, dan keutamaan bulan Muharram, Rajab dan Sya’ban. Pun demikian, anak milenial jaman now–setahu penulis–jarang yang mengetahui kitab Lathaif at-Thaharah wa asrar al-Sholah Fi Kafiyat Shalat al-Abidin wa Al-Arifin karya Kiai Sholeh ini.

Karya tersebut merupakan manuskrip peninggalan Kiai Sholeh Darat dan hasil pemikiran Kiai Sholeh Darat untuk mempermudah orang awam dalam mempelajari agama Islam.

Misalnya, dalam hal thoharoh (bersuci), Kiai Sholeh tidak hanya menjelaskan tatacara berwudlu yang benar, namun dijelaskan hahikat dari wudlu itu seperti apa. Membasuh muka itu berarti membasuh wajah yang selalu sibuk menghadap pada dunia dan kemewahannya. Oleh karenanya, hendaknya dibasuh dengan air taubat dan istighfar. Membasuh tangan berarti membasuh ketergantungan kepada makhluk. Mengusap kepala berarti tawadlu’ pada Allah dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Sedangkan membasuh kaki adalah membasuh bekas langkah keliru atau dosa perbuatan.

Kiai Shaleh Darat, seorang ulama yang selain memahami syari’at (fikih) juga memahami hakikat (ilmu tasawuf) menjelaskan ayat tentang wudlu tersebut dari sisi yang lebih dalam lagi. Karena menurut beliau dan semua ulama, wudlu yang baik adalah wudlu yang dikerjakan sepenuh-penuhnya, lahir dan batin. Bukan hanya wudlu, tetapi semua ibadah, baik dzikir, membaca Al-Qur’an, juga shalat, maka ia harus dilakukan secara lahir dan batin.

Sebagaimana wudlu adalah amalan yang akan menjadi ciri umat Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Di akhirat nanti, anggota tubuh yang berwudlu akan bercahaya. Semakin banyak wudlunya semakin teranglah cahayanya. Terkait hal ini mata pandang dunia dengan segala keterbatasan tentu berbeda dengan mata pandang diakhirat tentunya.

Lanjut Kiai Sholeh Darat pula menuliskan pada kitab tersebut bahwa “Berwudlu lah kalian semua dengan air ismullah (air nama Allah).” Beliau kemudian menjelaskan, maksudnya, berwudlu-lah kalian semua dengan air ismullah dan menauhidkan (meng-esa-kan) Allah. (Sehingga hati meyakini tidak ada sesuatu pun yang menggenggam semua urusan kecuali Allah, Laa ilaaha illallah).

Dengan wudlu seperti itu, maka yang disucikan bukan hanya anggota tubuh. Tetapi “angota batin manusia”, yakni; Nafsu. Menyucikan nafsunya dengan air tarkul ma’shiyah (meninggalkan maksiat). Dalam arti wudlu harusnya menghalangi manusia dari berbuat maksiat di seluruh anggota tubuhnya, penglihatannya, pendengarannya, tangannya dan lain sebagainya.

Hati. Mensucikan hatinya dengan meninggalkan merasa dirinya sudah taat. Jangan merasa dirinya telah memiliki amal ketaatan. Dimaknai wudlu menyadarkan bahwa yang diperolehnya semata hanya pemberian dari Gusti Allah. kemudian Sirr (rahasia hati). Menyucikan asrar-nya jangan sampai melihat gebyarnya dunia. yaitu wudlu menyadarkan orang yang berwudlu pada kehidupan yang abadi di akhirat. Ruh. Menyucikan ruhnya jangan sampai condong mencintai selain Allah ta’ala. Dimaksud bahwa wudlu menyadarkan orang yang berwudlu yang semula lalai kepada Allah menjadi dzikrullah/ mengingat Allah.

Dalam bab membahas puasa mbah Sholeh Darat menuliskan bab asrori-shoumi menjelaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga derajat. Mengkategorikan ada 3 tingkatan orang berpuasa. Pertama, Shoumul ‘Umum, yakni puasanya manusia pada umumnya. Kedua, Shoumul Khusus, yakni puasanya manusia pilihan. Ketiga, Shoumu Khushushil Khushush, yakni puasanya manusia pilihan yang sempurna. (Lathoifut Thoharoh hal 57-58.).

Kemudian masuk pada fashlun fi fadhilati yaumi ‘asyura bahwa awal Muharram adalah tahun barunya seluruh umat Islam. Adapun tanggal 10 Muharram adalah ‘Hari Raya’ yang digunakan untuk bergembira dengan shadaqah. “Hari raya ini adalah untuk mensyukuri nikmat Allah, bukan hari raya dengan shalat. Tetapi hari raya dengan pakaian rapi dan memberikan makanan kepada para faqir,” demikian penjelasan di kitab Lathoifu-thoharoh.

Kyai Sholeh Darat menjelaskan nilai-nilai spiritualitas yang berhubungan dengan bersuci dan shalat. Saat berwudhu, niatkahlah membuang nafsu dan dosa. Jika orang sempurna wudhunya, secara syariat maupun hakikat, maka akan mudah mencapai khusyuk dalam shalat. Caranya, lanjut beliau menerangkan isi kitab, jangan bicara setelah usai wudhu. Langsung menuju tempat shalat dengan pikiran tetap konsentrasi bahwa diri hendak berjumpa Gusti Allah Ta’ala.

Ada makam-makam yang seseorang selalu kangen untuk menyowaninya. Entah seminggu sekali, sebulan sekali, atau bahkan setiap hari. Kekangenan terjadi karena perjalanan batin seseorang itu ada dalam rangkaian, mirip, atau bahkan sama dengan suluk sang sahibul maqam. Hal ini sebagaimana berlaku juga bagi orang-orang tertentu yang sangat gemar membaca karya-kitab atau mendengarkan manaqib wali tertentu. Itu berarti ia memang diperjalankan di jalan yang dulu pernah ditempuh oleh wali tersebut dalam penuh-seluruhnya.

Berangkat dari ungkapan semacam itu menjadikan diri ini seperti ke-pedean, entah kenapa ndilalahnya ketika membaca kitab Lathoifut-thoharoh kala itu diceritani, dulu simbah buyut pun juga memiliki koleksi kitab dari Mbah Sholeh Darat juga.

Sebagai orang sedang dalam proses pencarian ke-dirian, grenjal-grenjeling bolak balike ati atau kalau lebih berat lagi mencari ingsun ya segala hal dipelajari dengan membaca relief candi, dolan ke makam-makam membaca inskripsi nisan kuno menapaki genealogi serta epistemologi pada kuburan sampai buku apapun dibaca entah tentang pemikiran Karl Marx, Derrida dan sebagainya, nah untuk kali ini bertemu dengan kitabnya atau karya dari KH. Sholeh Darat entah nanti diperjalankan untuk menapaki pemikirian siapa? Berawal dari karya Mbah Sholeh Darat semoga adalah tahap awal sinau terkait dengan karya ulama Nusantara sebagai pijakan atau pancer pada bandul, ibarat diikat sejauh kemana berjalan nanti bakal kembali pada pijakan awal atau titik pancer itu sendiri. Wallahu a’lam bishowab.

Penulis: MUKHAMAD KHUSNI MUTOYYIB

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!