Penulis adalah salah satu alumnus Ponpest Khas Kempek, Cirebon. Tujuh tahun biasanya waktu normal untuk santri yang ingin menamatkan mondok di Kempek.
Dalam jenjang pendidikan selama 7 tahun yang dilalui di Ponpest Khas Kempek tersebut, puncak tertinggi kajian kitab seorang santri ditandai dengan menghafal sekaligus mengkaji nadzam Khulasoh Alfiyah Ibnu Malik.
Nadzam yang berisi 1002 bait, adikarya seorang maestro Nahwu asal Andalusia,Spanyol, Syekh Abi Abdillah Muhammad Jamaluddin bin Malik. yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Malik.
Alfiyah Ibnu Malik memiliki banyak penyarah (sebutan bagi kiai syarih, yang menjelaskan dan memerinci penjelasan suatu kitab), kitab syarah yang dikaji di pondok Khas ialah kitab “Dahlan Alfiyah” karangan Syekh Ahmad Zaini Dahlan.
Untuk menjaga hafalan, santri pondok pesantren biasanya melakukan sebuah kegiatan yang juga bisa dikatakan “ritual”.
Ritual itu biasa disebut dengan “lalaran”, kegiatan murajaah, mengulang hafalan baik secara individual atau komunal, kami juga melakukannya.
Dan penulis masih ingat betul, merupakan sebuah tradisi adu gengsi ketika melakukan lalaran komunal untuk saling menunjuk satu sama lain, jika ada yang kurang gereget dalam mendengdangkan dan melafalkan bait demi bait nadzam, karena akan dikira belum hafal.
“Al-Ikhtisos”, yang juga bisa diartikan dengan “istimewa” adalah Nama yang disematkan untuk angkatan alfiyah penulis angkatan 44 (2019), kata yang diambil dari penggalan salah satu bait alfiyah ke 620, bait Nadzam yang masih bagian dari penjelasan mengenai munada.
الْاِخْتِصَاصُ كَنِدَاءٍ دُوْنَ يَا * كَاَيُّهَا الْفَتَى بِاِثْرِ ارْجُوْنِيَا
“Ikhtisas itu seperti halnya nida’ tanpa ya’ seperti lafadz: ayyuha al-fata (wahai pemuda) setelah lafadz urjuni (berilah harapan kepada kami).
Alfiyah Ibnu Malik ialah Nadzam yang menjadi standarisasi,rujukan dasar kaidah-kaidah Nahwu oleh kebanyakan pesantren.
Nadzam yang mencakup keumuman pembahasan Nahwu-sharaf secara komprehensif ini sangat recomended bagi mereka yang benar-benar ingin memperdalam mengenai gramatika Arab.
Penulis masih ingat betul ucapan Kiai penulis, Kiai Musthofa Aqiel saat di Kempek dulu: “Salah siji syarate dadi Kiai iku kudu khatam Alfiyah”, salah satu syarat untuk menjadi kiai itu harus mengkhatamkan Alfiyah. Nadzam Alfiyah Ibnu Malik sendiri ialah Nadzam yang ber-bahar ar-Rajaz, salah satu wazan syiir yang digunakan sebagai rujukan bait Nadzam.
Mengenai bahar ar-Rajaz, Ada yang unik mengenai bahar ini. Bahar yang terdiri dari komposisi taf’ilah (potongan syair) rima مستفعلن (mustaf’ilun) enam kali ini sering digunakan untuk menadzamkan bait-bait Nadzam yang bersifat akademik-agamis.
Meliputi berbagai fan ilmu pengetahuan dari berbagai macam bidang, seperti Nadzam Alfiyah al-Zubad dalam bidang fikih, karya Imam Ahmad bin Ruslan.
Ilmu lughat, bahasa, seperti Nadzam jauhar al-Maknun dalam bidang balaghah karya Syekh Abdurrahman al-Akhdhari. Dan masih banyak yang lainnya dari bait nadzam akademik-agamis yang menggunakan bahar ar-Rajaz sebagai dasar rujukan wazan syiir.
Kemudian penulis mencari tahu apa alasan bahar yang memiliki empat arudh (bagian-syatar awal syiir) dan lima darb (bagian-syatar kedua syiir) ini sering digunakan sebagai standarisasi bait nadzam akademik-agamis ulama.
Dan dari beberapa kitab arudh yang penulis baca, penulis menemukan satu keterangan menarik mengenai hal ini, tepatnya dalam kitab Al-Mu’jam al-Mufassal fi ilm al-Arudh wa al-Qafiyah wa funun al-Syi’ri karya Dr, Imel Badi’ Ya’kub.
Dijelaskan bahwa “ar-Rajaz ashalu-l-buhur al-syi’riyyah”, bahar ar-Rajaz merupakan wazan bahar syiir yang paling mudah.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bahar ar-Rajaz ialah bahar yang paling banyak mengalami perubahan pada bagian-bagiannya, juga paling banyak mengalami percabangan dalam arudh serta darbnya, (penulis tidak bisa menjelaskannya disini karena terlalu rumit).
Oleh karena itu bahar ini juga disebut dengan himar al-syi’ri (himarnya syiir) atau himar al-Syuara’ (himarnya para penyair). Seakan-akan bahar ini diseumpamakan dengan hewan himar yang ditunggangi, terlebih untuk beralih pembahasan dengan apik, pembelajaran (as-syi’ir at-Ta’lim), atau untuk menadzamkan cabang ilmu-ilmu yang berbeda-beda.
Dengan rangkaian taf’ilah/bagian wazan syiir yang sama, membentuk susunan ideal syiir ringkas yang cocok digunakan untuk menadzamkan syiir-syiir yang berisi keilmuan, mudah untuk di tela’ah dan di hafal oleh pelajar.
فِى اَبْحُرِ الْاَرْجَازِ بَحْرٌ يَسْهُلُ ^ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُ
“Bahar ar-Rajaz ialah bahar yang mudah dengan komposisi tafilah مستفعلن “
Qasidah yang dinadzamkan menggunakan bahar ar-Rajaz disebut dengan “arjuzah”. Bahar ar-Rajaz sendiri masyhur mulai dari akhir masa pemerintahan dinasti umayyah dan permulaan dinasti abbasiyah.
Darinya muncul beberapa tokoh masyhur diantaranya Al-Ajjaj (L 646 M), anaknya Ru’bah bin Al-Ajjaj (684-762 M) dan Abu an-Najm al-Ajalli (L 130 H).
Penamaan bahar ini dengan nama ar-Rajaz sendiri diperselisihkan.
Pertama, karena bahar ini bersifat idhtirab, (molak-malik;bergejolak,bergetar) inkonsisten. Dengan wazan awalnya yang banyak mengalami, perubahan terjadi pada tafilah-tafilah (bagian wazan syiirnya), tidak tetap pada satu kondisi, karena itu disamakan dengan keadaan idhtirab an-Naqah ‘inda qiyamiha, bergetarnya kaki unta saat hendak bangun.
Kedua, Imam Ibnu Duraid mengatakan “penamaan bahar ini dengan nama ar-Rajaz karena antar bagian dari wazan syiir bahar ini sangat berdekatan dan hurufnya yang sedikit.
Ketiga, karena yang masyhur dari bahar ini ialah bait al-Masytur ( bait yang salah satu syatar/ sisi Nadzamnya dibuang) yang memiliki tiga bagian/tafilah syiir, disamakan dengan ar-Rajiz min-al-ibil, yakni unta yang salah satu kakinya diikat, sehingga ia berdiri dengan tiga kaki.
Referensi:
Ref. Dr.Muhammad Ali al-Hasyimi. Al-Arudh al-Wadih wa ilm al-Qafiyah.1991.( :Damaskus Daar al-Qalam)
Dr. Imel Badi’ Ya’kub. Al-Mu’jam al-Mufassal fi ilm al-Arudh wa al-Qafiyah wa funun al-Syi’ri.1991. (Libanon:Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah)
Penulis: ALWI JAMALULEL UBAB