Sabilus Salikin (4): Dasar Alquran Tarekat

Alquran dan Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengamalan akan menimbulkan kesenjangan. Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menyawab, “Alquran”.

Para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang banyak menghafalkan isi Alquran dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasulullah, yakni akhlak Alquran.

Dalam hal inilah, tasawuf, pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam Alquran dan as-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Alquran, Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dan ruang lingkup Alquran dan Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Alquran dan Sunnah itu sendiri.

Abu Nashr as-Siraj al-Thusi, dalam kitabnya aI-Luma’ menjelaskan bahwa dari Alquran dan Sunnah itulah, para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan kecintaan pada Ilahi, dan ma’rifat, suluk (jalan), dan juga latihan-latihan rohaniah mereka. Itu semua mereka susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis. Lebih lanjut, Ath-Thusi mengemukakan bagaimana para sufi secara khusus lebih menaruh perhatian terhadap moral luhur serta sifat dan amalan utama. Hal ini demi mengikuti Nabi, para sahabat, serta orang-orang setelah mereka. Ini semua, menurut Al-Thusi, ilmunya dapat disimak dalam kitab Allâh SWT, yakni Alquran.

Alquran merupakan Kitab Allâh yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Alquran. Ayat-ayat Alquran itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniah. Sebab, jika ayat-ayat Alquran dipahami secara lahiriah saya, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.

Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dan sumber ajaran Islam, Alquran dan Sunnah, serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Alquran antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Allâh SWT Hal ini misalnya sebagaimana difirmankan Allâh SWT dalam Alquran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة : 54)

Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmn, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54)

Dalam Alquran, Allâh pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، (التحريم: 8)

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allâh dengan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allâh tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beniman bersama dengan dia sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya engkau Mahakuasa alas segala sesuatu, (Q.S. Al-Tahrîm, 66: 8)

Alquran pun menegaskan tentang keberadaan Allâh SWT di mana pun hamba-hamba-Nya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskannya

وَ لِلهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (البقرة: 115)

Dan kepunyaan Allâh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wayah Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui), (Q.S. Al-Baqarah, 2:115)

Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saya ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Allâh SWT pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendakiNya, sebagaimana firman-Nya:

اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ، (النور: 35)

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pobon) Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saya hampir-hampir meneRAngi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di alas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (Q.S. al-Nûr, 24:35)

Allâh SWT pun memberikan penjelasan tentang kedekatan manusia dengan-Nya, seperti disitir dalam firman-Nya:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ،(البقرة: ١٨٦)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu beRAda dalam kebenaRAn, (Q.S. Al-BaqaRAh, 2:186)

Kata “da’a” dalam ayat itu tidak diartikan sebagai berdoa oleh kalangan sufi, tetapi berseru dan memanggil. Dasar-dasar tasawuf ini ternyata banyak ditemukan dalam Alquran.

Lebih dari itu, pada ayat 16 dan SuRAt Qaf, Allâh SWT menjelaskan:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ، (ق: ١٦)

“Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh daRAhnya sendiri, (Q.S. Qaf, 50:16)

Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, manusia tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegaskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.

Alquran pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allâh SWT:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ، (فاطر: ٥)

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh, (Q.S. Fâthir, 35:5)

Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk mejauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan. Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan (maqamât) dan keadaan (ahwal) yang dilalui para sufi (yang pada dasarya merupakan objek tasawuf), landasannya akan banyak ditemukan dalam Alquran. Berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan sebagian maqamat dan ahwal para sufi. Di antaranya adalah:

Tingkatan zuhud misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal mula beRAngkatnya tasawuf), telah dijelaskan dalam Alquran:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى، (النساء: 77)

Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhiRAt itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, (Q.S. al-Nisak, 4: 77)

Tingkatan taqwa berlandaskan pada firman Allâh SWT:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ، (الحجرات: ١٣)

Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal, (Q.S. Al-Hujurât, 49:13)

Tingkatan tawakal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allâh SWT berikut:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً ، (الطلاق: ٣)

Dan barangsiapa bertawakal kepada Allâh, niscya Allâh mencukupkan (keperluan)-nya, (Q.S. Al-Talâq, 65:3)

عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ، (الزمر: ٣٨)

Dan hanya kepada Allâh orang-orang yang beriman itu bertawakal, (Q.S. al-Zumar, 39:38)

Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allâh SWT berikut ini:

لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ ،( إبراهيم:٧)

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” (Q.S. IbRAhim, 14:7)

Tingkat sabar berlandaskan pada firman Allâh SWT berikut ini:

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ، ( غافر:٥٥)

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allâh itu benar, dan mohonlah ampunan unluk dosamu dan bertasbihlah seRAya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi, (Ghâfir, 40:55)

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ، (البقرة: 155)

Dan berikanlah berita gembiRA kepada orang-orang yang sabar, (Q.S. Al-BaqaRAh, 2:155)

Tingkatan rela (ridla) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ (المائدة:119)

Allâh rela terhadap mereka, dan mereka pun rela terhadap-Nya, (QS. Al-Maidah,2: 119)

Tingkatan cinta berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

Baca juga: Risalah fi Kaifiyyah Shalatit Tarawih Karangan Nyai Hj. Siti Zubaidah Hasbiyallah Klender (1967)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ، (المائدة: 54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Q.S. al-Maidah, 5:54).

Tingkatan malu berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى، (العلق:١٤)

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh melihat segala perbuatannya?, (Q.S. al-‘Alaq, 96:14)

Mujahadah al-Nafs (memerangi nafsu) berdasarkan pada firman Allâh SWT berikut ini:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى، (النزعات: ٤١)

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya), (Q.S. Al-Nazi’at, 79:40-41)

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ، ( يوسف: ٥٣)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Q.S. Yusuf, 12:53)

Ahwal sufi:

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ، (الأعراف: ٥٦)

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allâh) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan RAsa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, (QS. al-‘ARAf, 7:56)

مَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لَآتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ، (الأنكبوت: ٥)

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allâh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allâh itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (Q.S. Al-‘Ankabut, 29:5)

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ ، (فاطر: ٣٤)

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allâh yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri, (Q.S. Fathir, 39:34)

Demikianlah, sebagian ayat Alquran yang dijadikan sebagai landasan dan dasar kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya. Akan terlalu panjang uraiannya jika semua pengertian psikis serta moral yang diungkapkan para sufi tentang maqamat dan ahwal, dicarikan rujukannya dalam Alquran. Namun, siapa saya yang berminat mengkaji masalah ini secara mendalam dapat membacanya dalam karya-karya para sufi, seperti ar-Risâlah al-Qusyairiyah karya Imam al-Qusyairi, al-Luma’ karya Syaikh Ath-Thusi, dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali.

***

Penulis: Para santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!