Sabilus Salikin (33): Nafsu

Nafsu adalah unsur rohani manusia yang memiliki pengaruh paling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan perintah kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan. Dalam diri manusia, terdapat tujuh macam nafsu yang perlu untuk diketahui sifat dan karakternya. Karena dengan mengetahui sifat-sifat dan karakter tersebut, hal ini memungkinkan bagi kita untuk bisa sampai kepada Allah SWT

وَلَهُمَا عَقَبَاتٌ سَبْعَةٌ لاَ يَصِلُ أَحَدٌ إِلَى هَذِهِ الْمَقَامَاتِ إِلاَّ بِقَطْعِهَا وَهِيَ الصِّفَاتُ السَّبْعَةُ لِلنَّفْسِ وَهِيَ اْلأَمَّارَةُ وَاللَّوَّامَةُ وَالْمُلْهِمَةُ وَالْمُطْمَئِنَّةُ وَالرَّاضِيَةُ وَالْمَرْضِيَّةُ وَالْكَامِلَةُ. وَقَطْعُ عَقَبَاتِهَا بِالْأَذْكَارِ السَّبْعَةِ: [الأول] «لآ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ» مِائَةُ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ اْلأَمَّارَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِأَنَّهَا تَأْمُرُ صَاحِبَهَا بِالسُّوْءِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَزْرَقُ. [الثاني] «الله» مِائَةُ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِأَنَّهَا تَلُوْمُ صَاحِبَهَا بَعْدَ وُقُوْعِ الْمَعْصِيَّةِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَصْفَرُ. [الثالث] «هُوَ» تِسْعُوْنَ أَلْفًا، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمُلْهِمَةِ. سُمِيَتْ بِهِ لِأَنَّهَا تُلْهِمُ صَاحِبَهَا فِعْلَ الْخَيْرَاتِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَحْمَرُ. [الرابع] «حَيٌّ» سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ. سُمِيَتْ بِهِ لِأَنَّهَا اِطْمَئَنَّتْ وَسَكَنَتْ مِنْ اِضْطِرَابِهَا وَسَلِمَتْ لِلْأَقْدَارِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَبْيَضُ. [الخامس] «قَيُّوْمٌ» تِسْعُوْنَ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الرَّاضِيَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا رَضِيَتْ مِنَ اللهِ بِكُلِّ حَالٍ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَخْضَرُ. [السادس] «رَحْمَنٌ» خَمْسَةٌ وَتِسْعُوْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْمَرْضِيَّةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا صَارَتْ مَرْضِيَّةً عِنْدَ الْحَقِّ وَالْخَلْقِ، وَلَوْنُ نُوْرِهَا أَسْوَدُ. [السابع] «رَحِيْمٌ» مِائَةُ أَلْفِ مَرَّةٍ، وَهُوَ لِلنَّفْسِ الْكَامِلَةِ. سُمِيَتْ بِهَذَا لِكَوْنِهَا كَمُلَتْ أَوْصَافُهَا وَصَارَتْ رَحِيْمَةً لِجَمِيْعِ الْخَلْقِ، فَتُحِبُّ لِلْكَافِرِ اْلإِيْمَانَ وَلِلْعَاصِي التَّوْبَةَ مِنَ الْعِصْيَانِ وَلِلطَّائِعِ الثَّبَاتَ عَلَى طَاعَةِ الرَّحْمَنِ، وَلَيْسَ لَهَا نُوْرٌ مَخْصُوْصٌ، فَنُوْرُهَا يَتَمَوَّجُ بَيْنَ هَذِهِ اْلأَنْوَارِ السِّتِّ وَعَالَمُهَا الْخَيْرَاتُ وَمَحَلُّهَا الْخَفَاءُ، لِأَنَّهَا رَجَعَتْ بِحَسَبِهِ إِلَى حَالِ الْعَوَامِ. وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّهَا أَمَرَتْ بِالرُّجُوْعِ إِلَى الْخَلْقِ لِأَجْلِ تَكْمِيْلِهِمْ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 175)

Penjelasan tujuh macam nafsu beserta karakteristiknya adalah sebagai berikut:

Nafsu Ammârah, yaitu nafsu yang cenderung mendorong kepada keburukan.

Nafsu Lawwâmah, yaitu nafsu yang telah mempunyai Rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaRAn.

Nafsu Mulhimah, yaitu nafsu yang memberikan dorongan untuk berbuat kebaikan.

Nafsu Mutmainnah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemelihaRAan yang baik. Ia mendatangkan ketenteRAman jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, mampu membentengi seRAngan kekejian dan kejahatan.

Nafsu Râdhiyah, yaitu nafsu yang ridha kepada Allah SWT, yang mempunyai peRAn yang penting dalam mewujudkan kesejahteRAan.

Nafsu Mardhiyah, yaitu nafsu yang mencapai ridha Allah SWT Keridhaan tersebut terlihat pada anugeRAh yang diberikan Allah SWT berupa senantiasa berzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan.

Nafsu Kâmilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cakap untuk mengerjakan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 175).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tabiat nafsu;

وَأَمَّا أَخْلَاقُ النَّفْسِ، فَمِنْهَا: اَلْكِبْرُ، وَالْعُجْبُ، وَالْفَخْرُ، وَالْـخَيْلَاءُ، وَالْغِلُّ، وَالْغَشُّ، وَالْبُغْضُ، وَالْـحِرْصُ، وَالْأَمَلُ، وَالْـحِقْدُ، وَالْـحَسَدُ، وَالضَّجْرُ، وَالْـجَزْعُ، وَالْهَلْعُ، وَالطَّمَعُ، وَالْـجَمْعُ، وَالْمَنْعُ، وَالْـجُبْنُ، وَالْـجَهْلُ، وَالْكَسَلُ، وَالْبَذَاءُ، والجَفَا، واتِّباعُ الهَوَى والإِزْدِرَاءُ، والإِسْتِهْزَاءُ، والتَّمَنِّي، والتَّرَفُّعُ، وَالْـحِدَّةُ، والسَّفَهُ، والطَّيْشُ، وَالْمُرَاءُ، وَالتَّحَكُّمُ، وَالظُّلْمُ، وَالْعَدَاوَةُ، وَالْمُنَازَعَةُ، وَالْمُعَانِدَةُ، وَالْمُخَالَفَةُ، وَالْمُغَالَبَةُ، وَالْمُزَاحِمَةُ وَالْغِيْبَةُ، وَالْبُهْتَانُ، وَالْكَذْبُ, وَالنَّمِيْمَةُ، وَالتَّهْوِيْسُ، وَسُوْءُالظَّنُّ، وَالْمُهَاجِرَةُ، والَّلؤُمُ، والوِقَاحَةُ، والغُدْرُ، والخِيَانَةُ، والفُجُوْرُ، والشِّمَاتَةُ، إلى غير ذلِكَ مِمَّا يُكْثِرُ تِعْدَادُهُ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 255)

Di antara tabiat nafsu adalah; takabbur (sombong amal), ‘ujub (sombong fisik), angkuh, kesombongan, pendendam, licik, pembenci, serakah, berangan-angan, iri hati, hasud, keluh kesah, gelisah, tama’, menimbun harta, mencegah/melarang, penakut, bodoh, malas, keji, kerasnya hati, menuruti hawa nafsu, menghina, mencemooh, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, congkak, pemarah, boros, gegabah, berpura-pura/munafiq, sewenang-wenang, penindas, permusuhan, pertentangan, durhaka, pembangkang, pertikaian, persaingan, menggunjing, pembohong, pendusta, adu domba, pemikir, prasangka yang buruk, lari dari kenyataan, suka mencela, suka dengan kekerasan, banyak alasan, suka berkhianat, suka berbuat mesum, gembira atas bencana orang lain, dan lain sebagainya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 255).

Salah satu pengaruh terbesar nafsu adalah terhadap akal dan syahwat. Salah satu tanda adanya syahwat, yaitu berdirinya dzakar (baca: ereksi). Jika dzakar sudah berdiri, maka dua pertiga akal manusia menjadi hilang. Jika dua pertiga akal telah sirna, maka berpikir pun menjadi sulit karena dua pertiga bagian dari akal sehat telah dikuasai nafsu.

فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. قَالَ هُوَ قِيَامُ الذَّكَرِ. وَقَدْ أَسْنَدَهُ بَعْضُ الرُّوَاةِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ فِيْ تَفْسِيْرِهِ: الذَّكَرُ إِذَا دَخَلَ. وَقَدْ قِيْلَ إِذَا قَامَ ذَكَرُ الرَّجُلِ ذَهَبَ ثُلُثَا عَقْلِهِ حديث ابن عباس، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 96)

Dalam firman Allah SWT: “Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”. Sebagian mufassir mengatakan yang dimaksud adalah berdirinya dzakar. Sebagian mereka menyandarkan kepada beliau dalam tafsirnya, namun dengan redaksi: “Dzakar (alat vital laki-laki) jika sudah masuk (ke dalam alat vital perempuan)” – dikatakan juga – “jika dzakar telah berdiri (ereksi), maka hilanglah dua pertiga akalnya”. Hadis riwayat Ibn Abbas, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 96).

Seringkali kita tertipu dengan halusnya bujuk rayu nafsu yang menunggangi diri dalam melaksanakan ibadah. Bersedekah dengan jumlah uang yang banyak karena rasa gengsi dan riya’ agar orang memandang kita sebagai orang yang dermawan, merupakan perbuatan ibadah yang tercampur dengan kepentingan duniawi.

Orang yang beribadah dengan tujuan untuk mencari kehormatan dan kebahagiaan dunia, maka bukan surga yang akan didapatkannya, melainkan neraka menjadi tempat kembalinya. Jangankan surga, aromanya saja tidak akan tercium olehnya.

رِيْحُ الْجَنَّةِ يُوْجَدُ مِنْ مُسِيْرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ، وَلاَ يَجِدُهَا مَنْ طَلَبَ الدُنْيَا بِعَمَلِ اْلآخِرَةِ، (فيض القدير، ج 4، ص: 54)

Rasulullah SAW bersabda: “Aroma surga dapat tercium dari jarak perjalanan 500 tahun, namun aroma itu takkan dapat dicium oleh seseorang yang mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat”, (Faydh al-Qadîr, juz 4, halaman: 54).

Berikut ini adalah penjelasan mengenai tanda-tanda orang yang mengikuti hawa nafsunya;

(مِنْ عَلاَمَاتِ اِتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ) هَذِهِ مِنَ الصُّوَرِ الَّتِيْ يَتَبَيَّنُ بِهَا خِفَّةُ الْبَاطِلِ وَثِقَلُ الْحَقِّ عَلَى النَّفْسِ وَمَا ذَكَرَهُ هُوَ حَالُ أَكْثَرِ النَّاسِ فَتَرَى الْوَاحِدَ مِنْهُمْ إِذَا عَقَدَ التَّوْبَةَ لاَ هِمَّةَ لَهُ إِلاَّ فِيْ نَوَافِلِ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ وَتِكْرَارِ الْمَشْيِ إِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَرَامِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ النَّوَافِلِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرُ مُتَدَارِكٍ لِمَا فَرَّطَ فِيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَلاَ مُتَحَلِّلٍ لِمَا لَزِمَ ذِمَّتُهُ مِنَ الظُّلاَمَاتِ وَالتَّبِعَاتِ وَمَا ذَاكَ إِلاَّ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَشْتَغِلُوْا بِرِيَاضَةِ نُفُوْسِهِمْ الَّتِيْ خَدَعَتْهُمْ وَلَمْ يَحْظُوْا بِمُجَاهَدَةِ أَهْوَائِهِمْ الَّتِيْ اِسْتَرَفَتْهُمْ وَمَلَكَتْهُمْ لَوْ أَخَذُوْا فِيْ ذَلِكَ لَكَانَ لَهُمْ فِيْهِ أَعْظَمُ شُغْلٍ وَلَمْ يَجِدُوْا فُسْحَةً لِشَيْءٍ مِنَ الطَّاعَاتِ وَالنَّفْلِ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ مَنْ كَانَتْ الْفَضَائِلُ أَهَمُّ إِلَيْهِ مِنْ أَدَاءِ الْفَرَائِضِ فَهُوَ مَخْدُوْعٌ . وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِيْ الْوَرَدِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَلاَكُ النَّاسِ فِيْ حِرْفَتَيْنِ اِشْتِغَالٌ بِنَافِلَةٍ وَتَضْيِيْعُ فَرِيْضَةٍ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ بِلاَ مُوَاطَأَةِ الْقَلْبِ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا حَرَمُوْا الْوُصُوْلَ بِتَضْيِيْعِهِمْ اْلأُصُوْلَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 30)

Di antara tanda-tanda orang yang mengikuti hawa nafsunya adalah bersegera untuk melaksanakan kesunnahan dan malas untuk melaksanakan yang wajib. Ini adalah sebuah gambaran yang bisa menjelaskan ringannya kebatilan dan beratnya kebenaran bagi nafsu. Apa yang telah disebutkan oleh pengarang adalah keadaan kebanyakan orang. Anda menyaksikan seseorang yang telah niat bertaubat dan dia tidak memiliki keinginan yang kuat kecuali untuk melaksanakan puasa dan sholat sunnah, berkali-kali pergi ke Baitullah, dan berbagai kesunnahan lainnya. Dengan tidak adanya niat yang kuat itulah, dia tidak dapat menggapai yang wajib karena kecerobohannya, dan dia tidak dapat melepaskan tanggungan aniaya atas dirinya sendiri dan orang lain. Semua itu ada tidak lain karena mereka masih belum mau melatih nafsu yang telah memperdayai diri mereka, tidak pula mereka mau memerangi hawa nafsu yang telah menguasai diri mereka. Seandainya mereka melatih dan memerangi hawa nafsu, maka mereka akan mengalami kesibukan yang dahsyat, dan tidak akan menemukan kelonggaRAn dalam ketaatan dan kesunnahan. Sebagian orang ‘alim berkata: “Barangsiapa yang lebih mementingkan fadhilah-fadhilah kesunnahan daripada melaksanakan kewajiban, maka dia adalah orang yang tertipu”. Muhammad ibn Abi al-Warad RA. berkata: “Kerusakan manusia terletak dalam dua pekerjaan; (pertama) sibuk dengan kesunnahan dan menyia-nyiakan kewajiban, (kedua) beribadah dengan anggota badan namun hati tidak turut serta di dalamnya, mereka akan terhalang untuk bisa wushûl karena mereka menyia-nyiakan yang inti”, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 30).

Untuk menundukkan nafsu, kita perlu memahami dan mengerti karakteristik dan sifat-sifat nafsu itu sendiri, serta bagaimana cara-cara nafsu untuk membujuk diri kita agar terjerumus dalam perbuatan yang negatif. Jadi, kata kunci untuk menundukkan nafsu adalah ilmu. Tanpa ilmu, kita tidak bisa apa-apa, tanpa ilmu kebutuhan dunia dan akhirat sulit untuk bisa dicapai. Yang terpenting adalah kita harus selalu berpegang teguh pada Alquran dan Hadis. Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fil Auliyâ’ disebutkan:

وَقَالَ: مَوْتُ النَّفْسِ بِالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ وَاْلاِقْتِدَاءِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 43)

Abu Hasan al-Syadzili berkata: “Matinya nafsu itu dengan ilmu dan ma’rifat, serta mengikuti Alquran dan sunnah RAsûl”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 43).

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَايَدْخُلُ عَلَى اللهِ حَتَّى يَمُوْتَ اَرْبَعُ مَوْتَاتٍ: الْمَوْتُ الْأَحْمَرَ، وَهُوَ: مُخَالَفَةُ النَّفْسِ، وَالْمَوْتُ الْأَسْوَدُ، وَهُوَ: اِحْتِمَالُ الْأَذَى مِنَ الْخَلْقِ، وَالْمَوْتُ الْأَبْيَضُ وَهُوَ: الْجُوْعُ، وَالْمَوْتُ الْأَحْضَرُ، وَهُوَ: لُبْسُ الْمُرْقِعَاتِ

Sebagian ‘Ulama’ berpendapat: seseorang tidak akan dapat masuk dalam keagungan Allah, kecuali ia mengalami empat kematian: Mati merah (Mautul Ahmar), yaitu melawan nafsu. Mati hitam (Mautul Aswâd), yaitu memaafkan atau menerima segala bentuk penindasan orang lain. Mati putih (Mautul Abyadh), yaitu lapar dan mati hijau (Mautul Akhdhar), yaitu menambal amal jelek dengan amal kebaikan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 256).

Berikut ini penjelasan mengenai sumpah iblis untuk menggoda manusia;

وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ قَالَ إِبْلِيْسُ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أَغْوِيْ بَنِيْ آدَمَ مَا دَامَت ِالْأَرْوَاحُ فِيْهِمْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ وَعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُوْنِي، (شرح الحكم، ج 2، ص: 60)

Abu Sa’id al-Khudri RA. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Iblis berkata kepada Allah ‘Azza wa Jalla: “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, tak henti-hentinya aku kan menggoda manusia, selama nyawa masih ada dalam diri mereka”. Allah SWT berfirman kepada setan: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku pun tak henti-hentinya mengampuni mereka selama mereka masih memohon ampun kepada-Ku”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 60).

***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!