Sabilus Salikin (54): Syarat-syarat Menjadi Salik

Kewajiban Sâlik dan orang yang menginginkan menjalankan tarekat (murid) untuk menuju kepada Allah SWT, (Muhammad Amin: Khulashah al-Tashawif fi al-Tasawuf fi Majmû’ah RAsâil lil Imam al-Ghazâli, Dâr al-Fikr: 1996. Halaman: 170-171). adalah sebagai berikut:

  1. Harus beri’tiqad yang benar,
  2. Taubat nashuha,
  3. Meminta maaf dan kerelaan musuhnya sehingga tidak ada hak-hak makhluk yang menjadi tanggungan Sâlik,
  4. Belajar ilmu syari’at menurut kadar, dengan ilmu itu bisa menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT, hukumnya tidak wajib mempelajari selain itu. Adapun mempelajari selain ilmu syari’at cukup dengan kadar keselamatannya. Seperti yang di lakukan Imam Syibli, beliau berkata: “Aku telah belajar dan berkhidmat kepada 400 orang guru, Aku mempelajari 4000 Hadis dari mereka, lalu aku memikirkan dan mendalami Hadis itu karena aku melihat keselamatanku ketika mengamalkannya, aku juga melihat bahwa orang-orang dahulu dan orang-orang akhir semuanya masuk dalam kategori Hadis itu yaitu:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ بِقَدْرِ مَقَامِكَ فِيْهَا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ بِقَدْرِ بَقَائِكَ فِيْهَا، وَاعْمَلْ لِلهِ بِقَدَرِ حَاجِتَكَ إِلَيْهِ، وَاعْمَلْ لِلنَّارِ بِقَدَرِ صَبْرِكَ عَلَيْهَا.

  • Perjalanan Sâlik dalam Menempuh Tarekat Berputar dalam 3 Pokok:
  1. Khauf (takut kepada Allah SWT) sumber takut kepada Allah SWT berasal dari cabang ilmu, tanda tanda khauf adalah Sâlik berlari menuju Allah SWT
  2. Raja’ (berharap hanya kepada Allah Swt), yang merupakan cabang dari keyaqinan dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm Raja’ adalah mencari kepada yang diyakini (Allah Swt).
  3. Cinta, merupakan cabang dari ma’rifat, dan tanda-tanda Sâlik yang menempati maqâm cinta adalah mendahulukan terhadap yang dicinta (Allah SWT) dari pada dirinya, keluarga, harta, kedudukan dan lain-lain, jika cahaya (nûr) ma’rifat sudah terpancar dari hati Sâlik maka Sâlik akan meninggalkan kegelapan maksiat anggota tubuh. Jika Sâlik dapat keluar dari jeratan kematian maka Sâlik bersyukur kepada Allah SWT atas pertolongan dan perlindungan-Nya, Sâlik selalu berusaha mengembalikan segala sesuatu kepada Allah SWT karena tidak ada tempat yang patut untuk dijadikan tempat mengungsi dari semua keadaan selain Allah SWT, Sâlik selalu berdo’a kepada Allah SWT minta dizhahirnya dibersihkan dari semua dosa, bathinnya dibersihkan dari cela, dihilangkan kealpaan dari-Nya, dipadamkan syahwat nafsu yang digambarkan sebagai api, istiqamah dalam menjalankan tarekat. Karena cahaya siang sebagai tanda akhirat, dunia digambarkan sebagai malam yang gelap, tidur sama dengan mati, (Minhaju al-Arifin, dalam kitab Majmû’ah al-RAsâil al-Imam al-Ghazâli, halaman: 213).
  • Imam Ghazâli Memberikan Peringatan kepada Sâlik tentang Perubahan-perubahan Hati Sâlik yang Terbagi 4 Macam
  1. RAf’un: hati Sâlik terangkat dengan melakukan zikir kepada Allah SWT Tanda-tanda terangkatnya hati Sâlik dengan 3 hal: a). perilaku Sâlik sesuai dengan aturan syari’at, tarekat dan hakikat yang telah diatur oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW dan para syaikh (mursyid), b). tidak melanggar aturan, c). selalu rindu kepada Allah SWT
  2. Fath: terbukanya hati Sâlik dengan ridha kepada Allah SWT Tanda-tanda terbukanya hati Sâlik ada 3: a). tawakkal, b). jujur c). yaqin
  3. Khafdh: hancurnya hati Sâlik dengan sibuk terhadap salain Allah SWT Tanda-tanda pecahnya hati Sâlik ada 3: a). ‘ujub, b). riya’, c). cinta dunia.
  4. Waqaf: hati Sâlik berhenti (mati) dengan lupa kepada Allah SWT Tanda-tanda hati Sâlik yang mati ada 3: a). hilangnya kenikmatan taat, b). tiadanya Rasa pahit ketika melakukan maksiat, c). mencampur barang halal.

Pesan-pesan Imam Ghazâli tentang Zikir

Jadikan hatimu sebagai kiblat lisan, Rasakanlah kehidupan ibadah dan kewibawaan sifat ketuhanan ketika melakukan zikir, ketahuilah bahwa Allah SWT mengetahui Rahasia-Rahasia hatimu, perbuatan zhahirmu dan mendengar ucapanmu. Maka basuhlah hatimu dengan kesusahan dan hidupkanlah cahaya takut kepada Allah SWT Ketika hijab kealpaan hilang dihatinya, maka keberadaan zikirmu bersama dengan Allah SWT serta Allah SWT menyebut namamu dalam dzat-Nya. Allah SWT berfiman dalam Surat al-‘Ankabut: 45

…. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ….﴿٤٥﴾ (العنكبوت: 45)

…….Karena Allah SWT tidak membutuhkan zikirmu sememtaRA engkau membutuhkan zikir kepada Allah Swt…….

Allah SWT berfiman dalam Surat al-RA’d: 28

….أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾ (الرعد: 28)

Allah SWT berfiman dalam Surat al-Anfal: 2

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾ (الأنفال: 2)

Zikir dibagi menjadi 2 : a). zikir yang murni dengan yang sesuai dengan karakter hati (selalu tertarik dengan tarikan-tarikan Ilahi) dalam hal menghilangkan pandangan hati Sâlik terhadap selain Allah SWT, b.) zikir yang bersih dengan hilangnya tujuan zikir (Sâlik berzikir tidak merasa berzikir), (Minhaju al-`Arifin dalam kitab Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 216).

Tarekat ini didirikan oleh al-Ghazâli, seorang shufi, ahli kalam dan ahli filsafat Islâm, karena itu ajaran tasawufnya sangat moderat dan jauh dari penyimpangan.

Baca juga: Sabilus Salikin (158): Tarekat Jalwatiyah

Menurutnya, tasawufnya terdiri dari dua hal: tulus kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap manusia adalah shufi, Tulus kepada Allah SWT berarti seorang hamba harus mengesampingkan kecenderungan dirinya demi perintah Allah SWT

Menurutnya, Tarekat harus menjalankan dua hal; Melanggengkan zikir kepada Allah SWT dan meninggalkan suatu perkara yang dapat melupan Allah SWT Ini merupakan perjalan kepada Allah SWT, bukan pergerakan musafir dalam perjalannya musafir dan bukan perjalanan musafir itu sendiri, tapi kedua menggambungkan keduanya, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain. Halaman: 6).

Berbuat baik terhadap sesama berarti tidak mendahulukan kepentingan di atas kepentingan orang banyak, selama kepentingan mereka tidak bertentangan dengan syara’, karena barang siapa rela terhadap penyimpangan syara’, dia bukan seorang shufi. Andaikata mengaku sebagai shufi, itu adalah kebohongan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!