Sâlik harus memenuhi beberapa syarat sebelum memasuki tarekat, menurut al-Ghazâli memerlukan beberapa syarat yang tidak mudah diantaranya:
- Mengedepankan ilmu dari pada ibadah
Dalam pandangan ilmu al-Ghazâli, mendahulukan ilmu dari pada ibadah menjadi wajib, karena dua hal;
Pertama, agar ibadah menjadi sah dan diterima, Kedua, ilmu yang bermanfaat menghasilkan ketakutan dan ketundukan dalam hati kepada Allah SWT.
Dan hal itu akan mendatangkan ketaatan dan mencegah ma`siat dengan pertolongan dan petunjuk Allah SWT Dibalik dua hal ini tidak menyimpan suatu maksud dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT Karena itu, ilmu yang manfaat harus dimiliki seorang shufi, karena itulah masih terdapat prasyarat lain; Pertama, untuk beribadah seorang harus mengetahui sembahannya. Bagaimana menyembah sesuatu yang tidak diketahui keberadaan-Nya dan sifat-sifat-Nya serta apa yang wajib dan yang mustahil bagi-Nya. Barangkali seseorang meyakini sesuatu dalam sifat-sifat-Nya yang menyimpang dari kebenaran, maka ibadah itu laksana debu yang tercerai-berai.
Kedua, seseorang harus mengerti apa yang menjadi kewajiban dan apa yang harus ditinggalkan menurut syara’. Dari uraian ini, al-Ghazâli melihat bahwa ilmu yang harus dikuasai seseorang pelaku tarekat ada tiga macam:
- Ilmu tauhid. Batasan minimal yang harus dikuasai Sâlik adalah apa yang dikenal sebagai ilmu dasar-dasar Agama dan kaidah-kaidah dalam ber-akidah.
- Ilmu sirr (rahasia). Yaitu ilmu yang berhubungan dengan hati.
- Ilmu adat yang terlihat. Yaitu ilmu yang berhubungan dengan anggota tubuh, badan dan harta.
Setelah Allah memberikan pengetahuan kepada apa yang wajib diketahui, apa yang wajib dijalani serta apa yang harus ditinggalkan, seorang murid barulah diperkenankan menghadap Imam/ Syaikh, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: al-Haramain, halaman: 16).
- Mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan seluruh ikatan dan tulus kepada Allah SWT
Menurut al-Ghazâli, tarekat adalah mengedepankan kesungguhan, menghapus sifat tercela, memutuskan semua ikatan dan tulus dengan subtansi cita-cita. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama-tama ia menyendiri dalam zawiyah berkonsentrasi dengan ibadah-ibadah, baik yang fardhu maupun rawatib, dan duduk dengan hati yang hanya dipenuhi keinginan berzikir kepada Allah SWT Kemudian mengulang-ulang sebutan “Allah” dengan lisannya secara menghadirkan segenap hati dan perasaannya sampai pada suatu kondisi tertentu. Kondisi dimana seandainya gerakan lisan telah berhenti dan beralih menuju alam pikiran, terlihat seakan-akan lafadz itu tetap terucap dari lidahnya karena seringnya pengulangan.
Kondisi ini berlangsung sampai pengaruh lisan benar-benar hilang disusul oleh gerakan batin dan hati secara terus-menerus. Setelah itu barulah yang tertinggal dalam hati hanya sebatas makanan yang dimaksud, tidak lagi mengindahkan huruf-huruf dan struktu-struktur kalimat. Seorang murid hanya berikhtiar sampai batas ini. Setelah itu hanya berkewajiban menjaga diri dari Rasa was-was yang bisa mengganggu konsentrasinya. Jika semua ini telah dilewati, ia tinggal menanti apa yang akan muncul padanya, sebagaimana terjadi pada para wali. Dan itu adalah sebagian dari yang dialami para Nabi.
Simâ’ dan Adabnya
Derajat pertama dalam simâ’ yaitu faham pada sesuatu yang didengar dan bisa menangkap ma’na sesuatu yang didengar oleh pendengar, kemudian pemahaman tersebut membuahkan al-wajdu (keadaan hati), al-wajdu bisa menggerakan anggota tubuh lahir tanpa pertimbangan, hal ini disebut al-Idlthirâb, adapun gerakan yang menggunakan pertimbangan disebut dengan al-roqsh (menari dengan gerakan teratur) dan al-Tashfîq (menari sambil tepuk tangan).
Simâ’ bagi salik bisa menghasilkan keadaan jiwa bermuamalah kepada Allah, merubah keadaan salik dari keadaan (hâl) satu ke keadaan (hâl) lainnya karena tidak ada tujuan bagi murid kecuali ma’rifat, wushûl kepada Allah dengan cara musyâhadah secara sirri dan membuka tutup hati, hal-hal yang terjadi ketika salik simâ’, adakalanya salik mencela dirinya sendiri atau menerima percakapan atau menerima sesuatu, atau menolak atau wushûl atau diam atau mendekat atau menjauh atau rindu kepada penantian atau rindu pada yang akan terjadi atau muncul harapan atau putus asa atau galau/kesediahan atau merasa tentram atau bisa menerima janji dst, (Ihya’ ‘Ulûm al-dîn, juz 2, hlm. 257).
Adab simâ’, Salik harus mengikuti aturan ilmu tentang ma’rifat kepada Allah dan sifat-Nya jika tidak maka simâ’ bisa berakibat buruk pada salik.