Sebagaimana termaktub dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353-354, disebutkan bahwa jika dilihat darisudut kemampuannya, keadaan masing-masing murid tidak lepas dari 6 kategori. Ada kemungkinan seorang murid baru pada tahap hamba (‘âbid), atau mungkin sudah mencapai tingkat orang yang mengerti (‘âlim), atau mungkin baru sebagai pelajar (muta’allim), sebagai wali, sebagai orang mumpuni atau profesional (muhtarif) atau bahkan telah mencapai taraf menyatu (muwahid) dengan Yang Mahatunggal.
‘Âbid adalah kategori orang yang hanya melakukan ibadah, tidak memiliki kesibukan selain beribadah. Sekiranya ia meninggalkan ibadah untuk sekedar duduk, maka batal ibadahnya. Urut-urutan wiridnya sebagaimana diterangkan di atas, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 353).
‘Âlim adalah kelompok orang yang dengan pengetahuannya dapat memberi manfaat kepada orang lain, baik dengan cara memberi fatwa, pengajaran atau melalui karya-karyanya. Urut-urutan wiridnya berbeda dari wirid ‘âbid, dia perlu menelaah kitab-kitab terlebih dahulu, menyeRAp dan menyusun pengetahuannya.
Semua itu sudah pasti membutuhkan waktu tersendiri. Jika dapat menggunakan waktunya secara maksimal untuk itu, maka yang terbaik baginya setelah menyelesaikan tulisan dan karangannya adalah menjalankan wirid. Demikian, sebagaimana telah dijelaskan pada bab keutamaan belajar dan mengajar dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.
Bagaimana tidak, bukankah dalam pengetahuan atau ilmu ada kelanggengan zikir kepada Allah SWT dan perenungan akan pesan-pesan-Nya serta sabda-sabda Rasul-Nya? Hal ini menyimpan manfaat untuk orang lain dan memberikan arahan menuju kehidupan akhirat. Semoga saja satu hal yang dipelajari seseorang akan menjadi ibadah baginya, Jika tidak ada orang mempelajarinya maka usahanya sia-sia.
Keutamaan ilmu di atas ibadah yang dimaksud adalah ilmu yang mendorong manusia mencintai akhirat dan merasa cukup dengan kemewahan dunia. Atau juga ilmu yang menunjukkan mereka jalan menuju akhirat, bukan ilmu yang menambah kecintaan manusia terhadap harta, kedudukan dan pengakuan orang.
Meskipun ilmu lebih utama dalam pandangan aI-Ghazâli, namun harus ada aturan pembagiannya. Tabiat manusia tidak akan sanggup menghabiskan semua waktu dengan terus menerus menulis dan menyusun buku atau karangan. Waktu pagi digunakan untuk wirid, setelah terbit fajar sampai siang hari digunakan untuk muthola’ah dan mengajar jika dia memiliki murid dan jika tidak, maka waktunya digunakan untuk tafakkur dan memperdalam keilmuannya karena kejernihan hati ada setelah melakukan zikir, waktu siang digunakan untuk muthola’ah dan menulis sampai waktu `asyar, setelah `asyar mendengarkan hal-hal yang berfaedah untuk kejernihan hati, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354).
Muta’allim adalah orang menyibukan diri dengan belajar atau menuntut ilmu. Kesibukan seperti ini lebih utama dari melakukan zikir dan amalan-amalan sunnah Urut-urutan wiridnya sama dengan ‘âlim. Bedanya jika ‘âlim sibuk dengan pekerjaan mengajar, sementara muta’allim sibuk dengan kegiatan mencari ilmu, (al-Ghazâli, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Indonesia: al-Haramain, halaman: 354-355).
Muhtarif adalah orang yang sanggup melakukan zikir dalam kondisi apapun. Ketika membutuhkan usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia tidak boleh menghabiskan semua waktu dengan beribadah sehingga akan menelantarkan keluarga. Begitu juga sebalikmya, dia tidak lupa melakukan zikir dan wirid selama melaksanakan kewajibannya terhadap keluarga. Di saat bekerja ia mengingat Allah SWT, di pasar ia berzikir dan membaca ayat-ayat Alquran.
Setelah mencukupi kebutuhan keluarga, ia dapat kembali melaksanakan zikir. Namun jika tetap melanjutkan pekerjaan dengan terus berzikir dan bersedekah dari hasil pekerjaannya, itu lebih baik daripada melakukan wirid-wirid yang telah kami susun. Karena ibadah yang memiliki faedah ganda sudah pasti lebih bermanfaat dari pada yang hanya satu faedah. Bersedekah dan berusaha dengan niat ibadah akan memberi manfaat bagi diri sendiri berupa kedekatan dengan Tuhan sekaligus memberi manfaat bagi orang lain. Berkah dan do’a-do’a orang lain akan mengalir kepadanya dan melipatgandakan pahalanya.
Wali sebagaimana imam atau hakim atau juga pemimpin, dia juga mencurahkan perhatian terhadap persoalan-persoalan kaum muslim. Dialah yang mewakili keperluan umatnya sesuai syari’at dengan niat tulus. Hal itu lebih baik dari membaca wirid-wirid yang telah disusun. Bidangnya adalah memenuhi keperluan-keperluan masyarakat di waktu siang dengan berpegang pada kaidah-kaidah, sedangkan malam harinya melanggengkan amalan-amalan wirid.
Muwahid adalah orang yang telah mencapai derajat menyatu dengan Dzat Yang Maha Tunggal atau dia yang hanya mencintai Allah SWT, dia yang hanya takut kepada-Nya, yang tidak menerima rizki selain dari-Nya, dan dia yang hanya melihat Allah SWT pada setiap pandangannya.
Siapa telah mencapai tingkatan ini dia tidak lagi membutuhkan macam-macam jenis wirid. Wiridnya hanya satu, menghadirkan segenap hati dan perasaan bersama Allah SWT setiap saat. Tidak lagi peduli terhadap persoalan apapun dan tidak lagi mendengar sesuatu pun selain dalam wiridnya hanya berupa ungkapan hati dan renungan pikiran. Tidak ada yang menggerakkan dan mendiamkan selain Allah SWT. Seluruh pengalaman yang mereka alami akan menjadi sebab semakin tingginya keadaan mereka.
Bagi mereka, tidak ada kelebihan satu ibadah dari ibadah lainnya, Mereka itulah orang-orang yang telah menuju Allah SWT Ini adalah puncak derajat shiddiqin, derajat ini tidak akan tercapai kecuali dengan mengurutkan wirid dan melaksanakan kewajibannya dalam waktu yang panjang.
Inilah diantara bentuk dan gambaran tarekat al-Ghazâliyah, memperlihatkan pada kita bahwa tarekat ini tetap berpegang kepada Alquran dan Sunnah serta mencontoh etika dan ajaran-ajaran para sahabat, `ulamâ’ dan tabi’in. Itulah tarekat yang sesuai dengan kondisi umat Islâm.