Ber-i’tiqat dengan benar yakni i’tiqat ahlu sunnah wal jama’ah;
Berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Hadits serta mengamalkannya, yaitu melakukan perintah dan menjauhi larangan baik hukum asal atau furû`;
Jujur;
Bersungguh-sungguh sampai Sâlik menemukan hidayah petunjuk dan tanda-tanda (wushul kepada Allâh Swt). Bersungguh-sungguh memadamkan jilatan syahwatnya dan hawa nafsunya. Karena i’tiqat yang benar bisa menaghasilkan ilmu hakikat. Bersungguh-sungguh bisa menetapkan Sâlik menempuh jalan hakikat;
Wajib bagi Sâlik melakukan amal secara ikhlâs karena Allâh Swt., supaya Sâlik tidak sia-sia menjalankan tharîqahnya;
Sâlik harus menyembunyikan karamah-karamahnya, karena syaikh Abdul Qâdir al-Jilaniberkata: “Wali tidak akan menampakkan karamahnya kecuali diizinkan oleh Allâh Swt”. Karena salah satu dari sarat kewalian adalah menyembunyikan karamah;
Sâlik tidak berhubungan dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang sempit, orang-orang yang beramal dengan sia-sia yaitu orang yang mencari qâla dan qîla (orang yang menambah keilmuan tanpa melakukan amal), tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak menyukai amal ibadah, tidak bergaul terhadap orang yang suka memerintahkan beramal terhadap Islâm dan iman, tapi dia tidak melakukan dengan dasar.
Hendaknya Sâlik tidak kikir dengan shadaqah;
Seyogyanya Sâlik ridha dengan keadaan yang hina (di hadapan mahluk), lapar, menyembunyikan amal yang baik, senang dengan hinaan manusia, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 281-282).
Adab Sâlik terhadap Mursyid
Tidak melawan mursyid lahir batin;
Tidak durhaka kepada mursyid, karena orang yang durhaka adalah orang yang meniggalkan adab;
Sâlik harus memiliki husnuzhan (berprasangka baik) kepada mursyid walaupan mursyidnya melakukan perbuatan yang tidak disukai menurut kaca mata syara’, karena mursyid berusaha memberikan kalam matsal dan isyarah kepada Sâlik;
Jika Sâlik melihat aib mursyid maka Sâlik harus menutupinya;
Sâlik harus menta’wil ucapan mursyid sesuai dengan syara’, jika Sâlik tidak menemukan alasan secara syari’at maka Sâlik memintakan ampun kepada mursyid, mendoakannya, mendapatkan taufik, ilmu, sadar dan terjaga dari kesalahan;
Sâlik tidak beri’tikat bahwa mursyidnya adalah ma’shûm (terjaga dari maksiat), tapi mahfuzh (melakukan kesalahan dan meminta maaf);
Melanggengkan bersahabat dengan mursyid, karena persahabatan itu bisa menjadi wasilah antara Sâlik dan tuhannya;
Hendaknya Sâlik tidak meniggalkan mursyid sampai Sâlik sudah wusul kepada Allâh Swt;
Sâlik tidak boleh berbicara di depan mursyid kecuali dalam keadaan dharurat;
Sâlik tidak boleh menampakkan kelebihannya di depan mursyid;
Sâlik tidak menggelar sajadah di hadapan mursyid kecuali waktu shalat (menampakkan taat ibadah di hadapan mursyid dengan tujuan mendapatkan simpati dari mursyid);
Sâlik selalu siap sedia melayani (khidmat)kepada mursyid.
Seyogyanya bagi Sâlik diam ketika mursyid memiliki masalah, walaupun jawaban mursyid kurang luas, bahkan Sâlik harus bersyukur kepada Allâh Swt. atas pemberian ilmu, keutamaan dan cahaya dalam hatinya.
Hendaknya bagi Sâlik tidak bergerak ketika mendengarkan ucapan mursyid kecuali atas peritah mursyid.
Sâlik tidak bersuara dengan keras dihadapan mursyid.
Sâlik tidak duduk di tempat duduk yang dikhususkan untuk mursyid.
Sâlik tidak beranjak dari tempat duduk atau keluar dari hadapan mursyid, kecuali atas isyarah atau perintahnya, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 282-286).
Adab antar Sâlik
Persahabatan harus saling mengalah (al-Itsar: lebih mementingkan sahabat daripada kepentingan dirinya), menerima apa adanya keadaan sahabat, melaksanakan persahabatan degan syarat saling berkhidmat (saling melayani).
Sâlik tidak memperdulikan haknya atas seseorang, tapi Sâlik memperdulikan hak orang lain atas dirinya.
Menampakkan kekompakan kepada sahabat baik secara ucapan ataupun perbuatan mereka.
Meninggalkan perselisihan, perdebatan terhadap sahabat.
Tidak boleh menyimpan dendam dalam hati kepada sahabat, (Ittihâf al-Akâbir fi Sirah wa Manaqib al-Imam Muhyit al-Din abd al-Qâdir al-Jilani al-Hasani al-Khusaini wa Ba’du Masyahir Dzurriyatihi uli al-Fadli wa al-Ma’atsiri, halaman: 287).