Mengenal Kitab Pesantren (5): Tanqih al-Qaul al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadis Karya Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani
Bulan Ramadan menjadi momentum bagi kaum santri untuk mengaji kitab kuning (turats). Hal ini tidak terlepas dari sejarah panjang pesantren yang-menurut penelitian Ritchey-tercatat sebagai agen moderasi agama di Nusantara melalui pengajian-pengajian kitab kuning. Sebab itu, di pelbagai forum pengajian selalu merujuk pada kitab-kitab kuning.
Salah satu model kajian kitab yang dilakukan di bulan Ramadan adalah pengajian kitab hadis Arba’in. Perlu diketahui bahwa macam kitab hadis Arba’in tidaklah satu, tetapi sangat beragam seperti Arba’in al-Ajurri, Arba’in al-Baihaqi, Arba’in al-Sabuni, Arba’in al-Hakim, Arba’in ad-Daruqutni, Arba’in al-Tabari, Arba’in al-Suyuti, Arba’in al-Asqalani dan beragam kitab hadis Arba’in lainnya. Dari beragam kitab hadis Arba’in tersebut, terdapat satu kitab hadis Arba’in yang yang sudah familiar dan dikaji di kalangan pesantren Nusantara. Kitab itu adalah kitab hadis Arba’in al-Nawawiyah. Sekalipun kitab tersebut dikenal sebagai karya al-Nawawi, namun terdapat kekeliruan asumsi di masyarakat. Kitab tersebut bukanlah karya imam al-Nawawi al-Bantani, tetapi Abu Zakaria Muhyuddin al-Nawawi al-Syami.
Dalam tulisan ini, penulis akan mengenalkan beberapa kitab hadis Arba’in yang ditulis oleh ulama-ulama Nusantara. Yang pertama adalah karya syaikh al-Nawawi al-Bantani al-Jawi berjudul Tanqih al-Qaul al-Hasis fi Syarh Lubab al-Hadis. Imam al-Nawawi al-Bantani lebih dikenal dengan spesialisasinya di bidang anotasi (syarah kitab kuning), dengan bukti ragam karyanya yang berupa penjelasan atas kitab-kitab agama, seperti Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in anotasi dari Qurrat al-Ain bi Muhimmat al-Din karya Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, Kasyifat al-Saja ‘ala Syarh Safinah al-Naja, Al-Simar al-Yani’ah fi Syarh al-Riyad al-Badi’ah, dan masih banyak kitab anotasi lainnya termasuk kitab Tanqih al-Qaul.
Al-Nawawi al-Bantani tidak membuat kitab hadis Arba’in secara independen. Ia hanya melakukan pensyarahan terhadap kitab Lubab al-Hadis karya Jalaluddin al-Suyuti. Al-Nawawai al-Bantani sepakat dengan al-Suyuti bahwa penulisan hadis Arba’in adalah mengamalkan sabda Nabi Muhammad Saw. tentang keutamaan menghafal 40 hadis:
من حفظ علي أمتي أربعين حدثنا من أمر دينها قيل لها دخل من أي ابواب الجنة شئت.
Barang siapa dari umatku yang menghafalkan 40 hadis dari perkara agamanya, maka baginya bisa masuk surga dari pintu yang ia kehendaki.
Sistem penulisan yang digunakan adalah hanya mencantumkan matan inti serta meringkas jalur periwayatan. Sebagaimana diungkap oleh al-Suyuti, al-Nawawi al-Bantani mengatakan kitab ini memuat hadis-hadis Nabi Saw. dan perkataan para sahabat yang diriwayatkan secara benar dan terpercaya. Untuk lebih meringkas kitab, al-Nawai al-Bantani membuang beberapa sanadnya.
Di dalam kitabnya berisi tentang tema-tema mendasar dalam agama, meliputi aqidah (teologi), ubudiyah (peribadatan), dan mu’amalah (relasi sosial). Pada bab pertama ia menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan ulama:
وقال النبى صلى الله عليه وسلم لابن مسعود رضى الله عنه يا ابن مسعود جلوسك ساعة فى مجلس العلم لا تمس قلما ولا تكتب حرفا خير لك من عتق ألف رقبة ، ونظرك إلى وجه العالم خير لك من ألف فرس تصدقت بها فى سبيل الله ، وسلامك على العالم خير لك من عبادة ألف سنة.
Wahai ibnu mas’ud dudukmu sesaat di majelis ilmu tanpa memegang pena dan tanpa menulis satu hurufpun itu lebih baik bagimu daripada memerdekakan 1000 hamba sahaya, memandangmu kepada orang alim itu lebih baik bagimu daripada 1000 kuda yang engkau sedekahkan di jalan Allah, dan ucapan salammu kepada orang alim itu lebih baik bagimu dari pada ibadah 1000 tahun
Dengan penulisan hadis tersebut di bagian pertama kali memberi arti bahwa paradigma yang dibangun oleh al-Suyuti dan al-Nawawi al-Bantani adalah keilmuan, di mana ilmu adalah cara yang paling ampuh untuk mendekatkan diri kepada Allah. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa keutamaan seorang alim itu lebih berat bagi setan (untuk digoda) dari pada seribu ahli ibadah. Keilmuan menjadi kunci dari seluruh aktivitas kehidupan di dunia. (Tanqih al-Qaul: 9).
Di dalam kitabnya itu, al-Nawawi al-Bantani mengamini adanya hadis-hadis yang kualitasnya rendah bahkan dla’if, namun ia memberi catatan sekalipun para ulama sudah menyepakati kelemahan hadis tersebut, bukan berarti hadisnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah, ia tetap bisa diamalkan sebagai fada’il al-a’mal (keutamaan perbuatan). Memang terdapat perdebatan terkait kebolehan hadis dla’if sebagai dasar fada’il al-a’mal, namun Subhi Shalih dalam kitab Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu mengutipkan pandangan Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman al-Mahdi, dan Abdullah bin al-Mubarak dengan mengatakan “apabila kami meriwayatkan tentang halal dan haram kami memperketat, namun apabila kami meriwayatkan tentang keutamaan-keutamaan atau semisalnya maka kami mempermudah”.
Salah satu contoh masalah fada’il al-a’mal yang dikutip al-Nawawi al-Bantani dari tulisan al-Suyuti adalah tentang keutamaan tasbih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا عَلَى الْأَرْضِ رَجُلٌ يَقُوْلُ لَا اِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللهِ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ إلاَّ غُفِرَتْ ذُنُوْبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ.
Nabi Saw. bersabda: “tidak ada di atas bumi seorang laki-laki yang berkata “tidak ada tuhan selain Allah, dan Allah maha besar, dan maha suci Allah, dan tiada daya kekuatan kecuali milik Allah” melainkan dosa-dosanya diampuni meskipun seperti buih lautan”.
Hadis di atas dijelaskan oleh al-Nawawi al-Bantani bahwa hadis tersebut bisa ditemukan di dalam riwayat al-Tirmizi dan al-Hakim dengan kualitas hasan. Dengan demikian, hadis tentang keutamaan tasbih memiliki banyak muttabi’, sehingga kehujjahan hadis tidak hanya ditentukan dari satu hadis yang lemah, melainkan intertekstualitas dengan hadis-hadis lain yang setema. Allahu a’lam.
Penulis: M. RIKZA MUQTADA