Mengenal Kitab Pesantren (43): Dhau’-al Misbah, Kitab Praktis Pernikahan Ala Mbah Hasyim Asy’ari

Barangkali kita jarang mengetahui bahwasanya diantara keseluruhan karya mbah Hasyim Asy’ari adalah kitab Dhau’ al-Misbah fi Bayani Ahkami al-Nikah. Kitab yang memiliki arti ‘Cahaya Lentera di Dalam Menjelaskan Hukum-Hukum Pernikahan’.

Di Dalam kitab Irsyadus Syari, sebuah kitab kumpulan Kiai Hasyim Asy’ari, kitab dhau’ al-misbah ini menempati urutan ke tujuh dari sekitar dua belas keseluruhan karya pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.

Siapa sangka, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng ini juga mengarang kitab tentang pernikahan. Ketika Penulis berselancar di mesin pencari google-pun, belum ada tulisan yang mengulas dan membahas kitab ini secara komprehensif.

Bisa jadi, masih banyak santri, kiai dan warga nahdliyin pada umumnya masih belum banyak yang mengetahui kitab yang akan Penulis ulas dalam artikel singkat ini.

Kitab dhau’ al-Misbah merupakan termasuk kitab yang praktis dan simpel. Memang karena kitab ini membahas secara khusus terkait masalah pernikahan saja. Dengan tebal dua puluh satu halaman ini, kiai Hasyim Asy’ari membagi isi kitab ini menjadi tiga bagian.

Bagian pertama  menjelaskan tentang hukum-hukum pernikahan. Pada bab ini, uniknnya kiai Hasyim tidak menjelaskan hukum-hukum pernikahan yang ada lima sebagaimana ada di dalam kitab fikih klasik lainnya, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Akan tetapi kiai Hasyim menjelaskan sebanyak lima belas permasalahan terkait pandangan ulama terkait pernikahan.

Semisal permasalahan pertama adalah kiai Hasyim menukil pendapat Imam Syafi’I di dalam kitab al-Umm bahwasanya pernikahan itu adalah termasuk bentuk syahwat, bukan termasuk ibadah. Hal ini diisyaratkan oleh Imam Syafi’I dalam firman Allah yang berbunyi :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ

Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita. (Q.S. Ali-Imron : 14).

Kometar dari kiai Hasyim terkait pendapat Imam Syafi’I tersebut adalah melanggengkan keturunan itu merupakan perkara yang belum pasti (bersifat dugaan). Kemudian juga tidak mengetahui, apakah keturunan nantinya menjadi orang fasik atau sholih.

Meskipun begitu, Kiai Hasyim tetap menukil pendapat Imam Nawawi yang mengatakan, ‘apabila melaksanakan pernikahan dengan niat ketaatan, seperti mengikuti sunah, memperoleh keturunan, menjaga kemaluan atau pandangannya, maka pernikahan itu termasuk perkara yang bernilai akhirat.

Dan masih banyak nukilan-nukilan ulama lain yang ditulis kiai Hasyim. Beberapa permasalahan ia beri penjelasan dan sebagian permasalahan tidak diberi penjelasan lebih lanjut. Dalam artian, mengutip beberapa pendapat ulama saja.

Bagian kedua adalah menjelaskan rukun-rukun nikah dan lainnya.

Pada bab ini kiai Hasyim menjelaskan perihal rukun-rukun nikah sebagaimana yang ada di dalam literatur fikih klasik lainnya, yakni ada lima. Rukun nikah ada lima, yaitu shighot (bentuk kata dalam akad), pasangan perempuan, pasangan laki-laki, wali dan dua orang saksi.

Selain itu, Kiai Hasyim banyak mengutip hadits-hadits nabi Muhammad Saw. di tambah dengan penjelasan ulama mengenai rincian lima rukun nikah di atas, menjadikan sajian penjelasan rukun-rukun nikah ini semakin bernas dan menarik.

Bagian ke tiga adalah menjelaskan tentang hak-hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami dan begitu pula sebaliknya. Bab ini menjadi pungkasan pada kitab dhou’ al-misbah. Pada bagian awal bab, kiai Hasyim bukannya menulis  judul tema atau bab sebagaimana dua bab sebelumnya. Akan tetapi, kiai Hasyim memberi judul bab khotimah atau penutup.

Pada bab terakhir ini, kiai Hasyim menjelaskan pokok-pokok hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara ke dua pasangan suami-istri yang telah sah menikah. Karena sebuah rumah tangga yang sesuai syariat, harus menjalankan misi saling melengkapi dan saling mengerti sehingga dapat menjadikan keluarga yang Sakinah, Mawaddah wa Rohmah.

Terakhir dari penulis, kitab ini sangat perlu sekali dibaca oleh para umat muslim sebagai bekal pengetahuan ilmu agama sebelum menjalani jenjang pernikahan. Karena kita semua tentunya mengharapkan nikah yang sesuai dengan ajaran islam dan tuntuna nabi panutan Nabi Muhammad Saw.

Sekian. Terima Kasih.

Penulis: ALFIN HAIDAR ALI

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!