Mengenal Kitab Pesantren (47): Sullam al-Munajah, Anotasi Imam Nawawi Banten atas Kitab Safinah al-Shalah

Tak asing lagi bagi masyarakat Nusantara, Jawa khususnya, terhadap sosok ulama besar yang berasal dari Tanara, Banten ini. Ialah Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar, atau yang kita kenal dengan Imam Nawawi Banten. Beliau merupakan seorang ulama prolifik cum mutabahhir, yang mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Hampir tak ada satu fan ilmu yang beliau lewatkan tanpa menuliskannya menjadi sebuah karya.

Kita mengingat beberapa karya beliau yang populer di kalangan santri, di antaranya Maraqi al-Ubudiyyah, Nihayah al-Zain, Nashaih al-Ibad, Uqud al-Lujain, dan Sullam al-Munajah. Barangkali kitab yang disebut belakangan ini tidak begitu populer jika dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya, sebab kitab tersebut merupakan kitab mustaqill(tersendiri) yang menerangkan seputar fikih salat. Sementara beliau memiliki beberapa karya lain dalam bidang fikih yang lebih lengkap pembahasannya.

Kitab Sullam al-Munajah merupakan anotasi atas kitab Safinah al-Shalah (sebagian kalangan membacanya dengan men-tashghir kata Safinah, menjadi Sufainah al-Shalah) anggitan Sayyid Abdullah bin Umar bin Yahya al-Hadhrami. Beberapa kitab yang beredar di pesantren Nusantara diterbitkan oleh Maktabah al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Awladih, Surabaya, dengan tangga selesainya pentashihan pada 1343 H di bagian halaman terakhir.

Tak jauh berbeda dengan kitab-kitab beliau lainnya, setelah memulai dengan basmalah, tahmid, dan selawat, beliau mengiringinya dengan kerendahan hati seraya menyematkan sifat hina kepada dirinya; al-faqir al-muttashif bi al-dzulli wa al-taqshir, seorang lemah yang hina dan tak sempurna. Betapa luhurnya teladan yang beliau berikan!

Meski kitab tersebut khusus membahas fikih salat, namun pada bagian awal beliau menjelaskan dengan panjang lebar hal-hal dasar terkait akidah (teologi) seorang muslim. Seperti yang dapat kita baca dalam mukadimah, beliau menjelaskan asma-asma Allah yang tidak ditetapkan kecuali dengan adanya nash dan ijma’. Beliau membagi asma-asma Allah menjadi empat, masing-masing adalah asma’ dzat, asma’ sifat, asma’ tanzih dan asma’ af’al.

Alasan beliau menerangkan panjang lebar seputar akidah sebelum masuk ke tataran salat adalah bahwa kewajiban yang pertama kali bagi setiap muslim, berakal dan balig adalah meyakini Allah dan Rasul-Nya serta memantapkannya ke dalam hatinya.

Imam Nawawi juga menyertakan beberapa contoh kisah guna memudahkan pembaca dalam memahami keterangan yang beliau paparkan seputar teologi. Salah satunya, beliau menyitir kisah Firaun dan istrinya, Asiyah.

Syahdan, Firaun mengajak bermain-main istrinya, Asiyah, dengan konsekuensi, dia yang kalah, maka harus berjalan sampai gerbang istana dengan keadaan telanjang. (Begitulah kira-kira kalau seorang raja yang mengaku tuhan sedang gabut).

Singkat cerita, walhasil Firaun kalah, dan karena kepalang gengsi; yang benar saja seorang raja cum tuhan berjalan telanjang? akhirnya ia mengiba kepada Asiyah untuk menggugurkan perjanjian yang telah disepakati di depan tadi.

“Sudahlah, Asiyah, lupakan permainan tadi, aku tidak sungguhan. Untuk gantinya, kau berhak memiliki gudang harta yang telah kusiapkan di luar istana.”

“Janji tetaplah janji. Jika kamu benar-benar tuhan, ya tepatilah janjimu. Sebab di antara syarat yang mesti dimiliki seorang tuhan adalah menepati janji!”

Firaun benar-benar melakukannya. Ia berjalan melenggang dari singgasananya sampai gerbang istana tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, alias telanjang. Melihat pemandangan yang semenjijikkan itu, banyak selir-selir dan para pembantu di istana Firaun murtad dari menyembah Firaun, dan beralih mengimani Tuhan Musa, Allah Swt.

Selain kisah di atas, Imam Nawawi juga menceritakan kisah menarik; seorang ulama yang tertawan oleh pasukan Romawi. Singkat cerita, terjadilah dialog antara sang ulama dengan para pasukan Romawi.

“Kenapa kalian menuhankan Isa?” tanya sang ulama memulai dialog.

“Karena ia tidak memiliki seorang bapak,” jawab para pasukan Romawi.

“Kalau begitu, seharusnya kalian menuhankan Adam yang tak berbapak lagi beribu, bukan malah Isa.”

“Karena ia (Isa) dapat menghidupan orang mati.”

“Kalau begitu, seharusnya kalian menuhankan Hazqiyal yang mampu menghidupkan empat perkumpulan orang mati dan hidup selama delapan ribu tahun.”

“Karena isa (Isa) mampu menyembuhkan penyakit belang dan kusta,” jawab pasukan Romawi seolah tak kehabisan akal.

“Kalau begitu, seharusnya kalian menuhankan Jirjis yang tidak mempan dibakar dengan api,” balas sang ulama mengakhiri dialog.

Banyak sekali argumentasi-argumentasi teologi beserta contoh rasionalnya yang diutarakan Imam Nawawi dalam Sullam al-Munajah. Dan semuanya adalah syarat utama yang harus kita dan setiap muslim lalui sebelum menapaki jalan syariat yang lebih jauh. Jika keyakinan kepada Allah dan Rasul telah terpatri di dalam hati, barulah kita dituntun oleh Imam Nawawi untuk mempelajari segala thethek-bengek yang berkaitan dengan salat.

Tak jauh berbeda dengan kitab fikih lainnya, (topik utama) kitab Sullam al-Munajah ini dimulai dengan penjelasan syarat-syarat salat beserta rukun-rukunnya, seperti bersih dan sucinya pakaian, badan serta tempat dari segala benda najis, seterusnya, dan seterusnya.

Satu hal menarik sekaligus yang membedakan kitab Sullam al-Munajah ini adalah dilengkapi dengan penjelasan yang disajikan ke dalam beberapa bentuk berikut; (1) tabel biodata singkat enam khulafa’ al-rasyidin (empat sahabat utama ditambah Sayyidina Hasan dan Khalifah Umar bin Abd al-Aziz, hal. 3), (2) diagram 8 arah mata angin (kompas) serta letak posisi Kakbah (hal. 14), (3) syarat-syarat salat, rukun-rukun wudu, dan rukun-rukun mandi, serta hal-hal yang membatalkan wudu (hal. 16), dan terakhir (4) pohon ikhlas (hal. 20).

Ilaa jami’i mushannifi kutubina, lahum al-fatihah…

Penulis: KHOIRUL ATHYABIL ANWARI

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!