Mengenal Kitab Pesantren (56): Kitab Hidayatul Adzkiya, Kiat Menjadi Wali dalam

Menjadi orang alim kadang terkesan menyusahkan, seperti apa yang dialami oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari yang sangsi memilih fokus ilmu yang beliau geluti, antara fikih, tasawuf, atau nahwu. Sampai suatu malam beliau bermimpi dan mendengar suara seseorang yang berkata, “Sesungguhnya tasawuf lebih utama untuk diprioritaskan. Ibarat orang yang ingin sampai pada seberang tepi sungai yang mengalir, ia harus berenang dari sisi yang lebih tinggi agar sampai di tujuannya dengan tepat, apabila bermula dari arah yang sejajar dengan tepian yang ia tuju maka sampailah pada tepian yang lebih rendah.”

Kitab Hidayatul Adzkiya’ ila Thariq Al-Auliya (petunjuk bagi orang-orang cerdas menuju jalan para wali) merupakan turats / kitab kuning karya Syekh Zainudin bin Ali Ahmad As-Syafi’i Al-Malibari yang dilahirkan di daerah Malibar, Kamis 12 Sya’ban 871 H dan tutup usia pada hari Kamis, 16 Sya’ban 918 H. Kitab ini berisi 188 untaian syair indah yang bernafaskan tasawuf. Beliau termasuk ulama yang produktif dan berjasa mengalihbahasakan kitab Syu’bul Iman karangan Syekh Nuruddin Al-Ijai dari bahasa Persi ke bahasa Arab yang populer di tanah Jawa dan banyak dikaji di kalangan pesantren.

Dapat dipahami bahwa menyibukkan diri (fokus) dalam kajian ilmu tasawuf dapat mengantarkan ke tujuan, sedangkan fokus hanya pada ilmu fikih dan semacamnya akan menghantarkan kepada tujuan yang lebih rendah. Usai mengalami mimpi tersebut, mushonnif mulai menyibukkan diri dalam menulis dan menyusun bait-bait yang berjumlah 188 secara indah. (Sumber : Kitab Salalimul Fudhola’).

Sejauh yang penulis ketahui, kitab ini dikomentari atau disyarah oleh 2 ulama sekaligus. Pertama, Kitab Salalimul Fudhola’ yang disusun oleh ulama produktif asal Nusantara yakni Syekh Muhammad Nawawi Al¬¬-Bantanikakek dari Wakil Presiden RI sekarang, KH. Ma’ruf Aminyang bermukim di Makkah sampai akhir hayatnya. Kedua, Kitab Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ yang dikarang oleh Syekh Abi Bakar yang terkenal dengan Syekh Bakry Al-Makky bin Muhammad As-Syatha Ad-Dimyati.

Kitab ini cocok untuk santri yang ingin menempuh jalan menuju Allah¬¬ sebagai salik (penempuh disiplin tasawuf). Bukan hanya karena bahasanya yang mudah dipahami, tapi juga menuntun salik untuk mengenal esensi beribadah dari dasar. Dimulai dari pembahasan mengenai taubat, salik harus mengosongkan jiwa dari perbuatan maksiat. Kemudian sifat zuhud dan qanaah harus terpatri dalam hati guna tidak terjerumus pada ingar bingar dunia.

Sebagai awal dari perjalanan keilahian menuju makrifat (tujuan ilmu tasawuf), ilmu syariat harus dipelajari dan diamalkan sebagai rute / petunjuk suatu perjalanan. Sealim apapun seorang muslim tidak boleh hukumnya meninggalkan syariat. Jika seseorang melakukan suatu perjalanan ke tempat tertentu, namun meninggalkan atau tidak memperhatikan rute perjalanan tersebut, maka sampai kapan pun ia tidak akan sampai, bahkan akan tersesat.

Selain mengerjakan ibadah fardu, salik juga perlu menjalankan ibadah sunah. Bukan hanya sebagai pelengkap. Jika diibaratkan praktik jual beli, amal ibadah sunah menjadi untung sedangkan amal ibadah wajib sebagai modal. Jika kita hanya menunaikan ibadah wajib, sama halnya seperti balik modal tanpa untung. Hal terpenting dalam setiap pelaksanaan amal peribadatan, haruslah dibarengi dengan sifat ikhlas dan tawakal agar seorang salik tidak menganggap suatu ibadah harus ada timbal baliknya.

Tuhan tidak mengajari hambanya sebagai materialis dan matematis, yakni menghitung keuntungan suatu amal perbuatan. Seorang salik harus menyadari bahwa kita tak memiliki daya upaya terhadap dunia yang kita singgahi, pun pada tiap amalan yang kita lakukan. Semua ibadah yang kita kerjakan, hakikatnya ialah atas pertolonganNya. Maka tidak pantas rasanya jika memburu keuntungan padahal bukan kita seutuhnya yang mengusahakan.

Sang mushonnif tidak hanya menerangkan tentang bagaimana merawat relasi secara vertikalkepada Allahtapi juga secara horizontalkepada manusia. Di awali pembahasan tentang vitalnya ilmu untuk setiap manusia, terlebih seorang muslim seperti apa yang telah diucapkan junjungan kita Nabi Muhammad Saw tentang kewajiban menuntut ilmu bagi muslim laki-laki maupun perempuanbisa dilihat bagaimana nabi kita yang mulia menjunjung tinggi martabat manusia tanpa membeda-bedakan kelas sosial ataupun gender.

Dan terbukti dalam sejarah bahwa perempuan telah memberikan andil yang besar dalam khazanah keislaman juga bidang intelektual, seperti halnya Siti Aisyah yang dikenal sebagai periwayat hadis yang sangat berarti. Bahkan banyak sahabat yang mendapat hadis darinya. Setelah itu beliau juga menuntun kita agar menjadi pengajar dan penimba ilmu yang berada pada tujuan yang mulia disertai niat yang baik yakni mencari rida Allah semata.

Sebagai penutup kitab, mushonnif menuturkan bahwa setiap salik harus memiliki cita-cita mulia yang harus diingat sebagai motivasi setiap langkah agar ‘perjalanannya’ terarah. Karena kita semua juga manusia, lelah pasti ada tapi tidak bisa dijadikan alasan untuk putus asa. Semoga kita selalu diliputi oleh rahmatNya dan tak terlupa akanNya.

Wallahu A’lam bis Shawab.

Penulis: MUHAMMAD ZULFAN MASANDI

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!