Bulan Ramadan menjadi salah satu bulan yang sangat dinanti-nati oleh umat Islam. Pada bulan tersebut, Allah memberikan rahmat, ampunan, dan karunia-Nya melebihi bulan-bulan yang lainnya. Semua dosa akan diampuni, dan segala doa akan terkabul.
Pada bulan Ramadan, terdapat suatu kewajiban yang menjadi salah satu penyempurna iman, bahkan termasuk rukun Islam keempat setelah zakat, yaitu puasa selama satu bulan. Sebagai umat Islam, semuanya memiliki kewajiban untuk mengerjakannya, jika sudah memenuhi syarat dan rukunnya, misalnya sudah baligh dan berakal.
Selain puasa, pada bulan Ramadan juga terdapat kewajiban lain yang juga harus dilakukan oleh semua umat Islam yang mampu, yaitu mengeluarkan zakat fitrah. Sebab, zakat yang satu ini menjadi salah satu penyempurna dari puasa itu sendiri.
Dan, yang tidak kalah menarik dari bulan Ramadan, yaitu adanya satu malam yang lebih mulia dari seribu bulan, malam itu dikenal dengan istilah Lailatul Qadar. Pada malam tersebut, para malaikat turun ke bumi untuk sekadar menyapa umat Islam yang sedang beribadah.
Nah, dari beberapa kutipan di atas, terdapat salah satu kitab yang sangat penting untuk dibaca dan dipahami seputar Ramadan, mulai dari puasa, zakat, dan malam lailatul Qadar, yaitu kitab Ghayatul Ihsan fi Fadli Zakatil Fithri wa Fadli Ramadan.
Kitab dengan tebal 73 halaman ini merupakan salah satu kitab lengkap perihal penjelasan puasa yang ditulis oleh Syekh Abdullah bin Muhammad as-Siddiqi al-Ghumari.
Sekilas Biografi Penulis
Ahmad bin Muhammd bin Shiddiq al-Ghumari merupakan bagian dari keluarga besar as-Saadah al-Ghumariya, keluarga ulama yang turun temurun bertempat tinggal di Thanjah (Tangier). Kota ini terletak di ujung utara wilayah negara Maroko dan berada di pinggir pantai. Generasi yang paling dikenal dari keluarga al-Ghumari adalah tiga bersaudara anak dari Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari, Abdullah, Ahmad dan ‘Abdul Aziz.
Dari jaluar ayah mereka, Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari memiliki silsilah yang bersambung kepada Hasan bin Ali. Sehingga, keluarga ini masuk ke dalam golongan al-Asyraaf (keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan bin ‘Ali). Karena itu, keluarganya sering menyematkan gelar al-Hasani di akhir nama mereka. Dalam sanad keluarga ini, juga terdapat Idris bin Abdullah, raja pertama kesultanan Idrisiyyah di Maroko. Ia mendirikan kerajaan di wilayah maghrib setelah ia gagal dalam pemberontakan melawan Dinasti ‘Abbasiyah.
Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari (1900 – 1961), dilahirkan pada tahun 1900 M. Ia adalah yang paling tertua di antara saudara-saudaranya. Sejak kecil telah dianugerahi pikiran yang sangat cerdas. Saat belajar di Mesir, ia tidak pernah masuk kelas hadis di al-Azhar. Namun, guru-gurunya merujuk kepadanya dalam persoalan hadis karena ia telah melakukan penelaahan yang dalam di bidang hadis, sebelum tiba di Mesir.
Saat belajar di al-Azhar, beliau melanjutkan upaya mengindentifikasi (takhrij) riwayat-riwayat hadits di dalam kitab Musnad al-Shihaab. Pada awalnya, upaya takhrij ini telah dilakukan oleh Muhammad Ja’far al-Kattani, namun tidak selesai. Lalu beliau melanjutkan upaya ini hingga menghasilkan dua buku yang berbeda berisi takhrij hadis-hadis dalam kitab Musnad al-Shihaab, pertama, berjudul Bughyatu al-Thullab bi Takhrij Ahaadith al-Shihab, kedua, berjudul al-Ishaab fi Takhrij Ahaadith al-Shihab.
Perihal Ghayatul Ihsan fi Fadli Zakatil Fithri wa Fadli Ramadan
Kitab yang satu ini bisa dikatakan tidak terlalu tebal, hanya 73 halaman. Jika dilihat sekilas, sepertinya tidak akan cukup membahas semua kegiatan yang dalam bulan Ramadan. Namun, kecil cabe rawit. Mungkin kata itu sangat tepat untuk menggambarkan kitab yang satu ini. Sebab, di dalamnya dijelaskan dengan sangat detail perihal Ramadan, khususnya tentang puasa.
Sebagaimana kitab-kitab yang menjelaskan puasa pada umumnya, kitab ini berisikan hadis-hadis nabi seputar puasa, zakat fitrah, dan yang berhubungan dengan keduanya. Kitab ini terdiri dari 35 pembahasan. Masing-masing dari setiap pembahasan terdapat hadits sekaligus kutipan ayat Al-Qur’an, disertai beberapa pendapat para ulama yang berkaitan dengannya. Berikut akan penulis jelaskan beberapa kelebihan kitab ini:
Pertama, keutamaan puasa Ramadan
Kitab ini memiliki perbedaan dengan kitab yang menjelaskan puasa secara umum. Jika dalam kitab-kitab sejenisnya di dahului dengan pembahasan bahwa puasa Ramadan hukumnya wajib, kemudian dilanjut dengan pembahasan wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga yang haram bagi orang berpuasa, maka kitab ini tidak demikian.
Syekh Abdullah al-Ghumari memulai kitab ini dengan beberapa keutamaan puasa dan beberapa anugerah yang akan didapatkan oleh mereka. Hal itu tidak lain karena dengan mengetahui keutamaannya terlebih dahulu, maka semua umat Islam akan dengan senang dan bangga melakukannya. Jika sudah bangga, maka akan mempelajari semua ketentuan yang berkaitan dengan puasa.
Anugerah itu misalnya, (1) pada awal bulan Ramadan, Allah melihat umat Nabi Muhammad. Siapa yang dilihat oleh-Nya, maka dia tidak akan disiksa untuk selama-lamanya; (2) bau mulut orang yang berpuasa, di sisi Allah lebih baik dari bau minyak misik (kasturi); (3) para Malaikat memohon ampunan untuk umat Nabi Muhammad setiap waktu, baik siang ataupun malam; (4) Allah memerintahkan (penjaga) surga-Nya, Allah berkata kepadanya:
“Bersiap-siaplah dan berhiaslah kamu untuk hamba-hamba-Ku, mereka akan beristirahat dari kesulitan hidup di dunia menuju tempat-Ku dan kemuliaan-Ku”.
Dan (5), pada akhir malam bulan Ramadan Allah mengampuni dosa-dosa mereka semuanya”. Seorang sahabat bertanya: “Apakah itu lailatul qadr wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab: “Tidak, tidakkah kamu mengetahui bahwa para pekerja, apabila mereka selesai dari pekerjaannya, niscaya akan dibayar upahnya”.
Kedua, perihal Lailatul Qadar
Di anatara pembahasan yang tidak bisa lepas dari pembahasan Ramadan adalah adanya Lailatul Qadar. Dalam kitab ini disebutkan hadits Rasulullah, yaitu:
خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ ليُخْبِرَ بليلة القَدْر، فَتَلَاحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَقَالَ النبيُّ: إِنِّيْ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فتلاحَى فُلَانٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ.
Artinya, “Rasulullah keluar untuk memberitahukan tentang lailatul qadar. Tiba-tiba ada dua orang dari kalangan Muslimin yang membantah beliau. Maka Rasulullah bersabda: ‘Aku datang untuk memberitahukan kalian tentang waktu terjadinya lailatul qadar, namun fulan dan fulan menyanggahku, sehingga kepastian waktunya diangkat (tidak diketahui). Meski demikian, semoga kejadian ini menjadi kebaikan bagi kalian. Maka, carilah pada malam yang kesembilan, ketujuh, dan kelima (pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan).” (HR Bukhari).
Hikmah diangkatnya kepastian turunya lailatul qadar adalah agar umat Islam tidak bermalas-malasan dalam beribadah, atau bahkan terjebak dalam fanatisme buta terhadap lailatul qadar yang dianggap malam luar biasa, sehingga sama sekali tidak melakukan ibadah selama satu tahun, dengan berpedoman bahwa menjumpai lailatul qadar bisa menjadi sebab dihapusnya dosa selama satu tahun.
Ketiga, Zakat Fitrah
Selain dua pembahasan di atas, ada juga yang sangat penting untuk dibahas pada bulan Ramadan, yaitu zakat fitrah. Dalam kitab ini disebutkan hadits Rasulullah perihal pentingnya mengeluarkan zakat. Rasulullah bersabda:
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إلَى الله إلاَّ بِزَكَاةِ الفِطْرِ
Artinya, “(Puasa pada) bulan Ramadan digantungkan (pahalanya) antara langit dan bumi, tidak diangkat pada Allah kecuali dengan zakat fitrah.” (HR. Jarir).
Jika dilihat secara tekstual, maka aka nada sebuah kesimpulan, “Selama tidak mengeluarkan zakat fitrah, maka pahala puasanya tidak bisa didapatkan.” Dengan kata lain, meski bulan puasa telah selesai, dan telah berhasil menjaga dirinya dari setiap sesuatu yang bisa membatalkan puasa, maka ia tidak akan mendapatkan pahala puasa sampai mengeluarkan kewajiban zakat fitrah dari dirinya.
Tentu pemahaman di atas tidak bisa dibenarkan. Sebab, hadits di atas merupakan sebuah kinayah (kata sindiran) perihal ditangguhkannya kesempurnaan pahala puasa sampai dikeluarkan zakat fitrah, maka tidak menghilangkan pokok pahala puasa Ramadan, tanpa zakat fitrah.
Penulis: SUNNATULLAH