Jika kita mau melakukan survei kepada seluruh penduduk dunia tentang keinginan bahagia, maka bisa dipastikan bahwa normalnya manusia mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya. Ibarat di penghujung bulan dan belum ada gajian, kita merasa mendapatkan durian runtuh ketika menemukan uang di saku celana meski tak seberapa besar nilainya. Demikian gambaran bahagia secara sederhana.
Kitab Al-Hikam ini sangat populer di kalangan umat Islam, karena selain dipelajari di hampir seluruh pesantren salaf di Nusantara, kata-kata mutiara dalam kitab ini juga seringkali disampaikan para dai dalam berbagai majlis taklim dan pengajian, baik di desa maupun di kota. Setidaknya terdapat puluhan karya yang berusaha menjelaskan dan mengomentari isi kitab Al-Hikam yang sarat akan nasihat dan hikmah di dalamnya. Bahkan seiring dengan perkembangan teknologi mulailah diterbitkan aplikasi di program playstore android yang menyediakan akses kitab Al-Hikam, baik berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia.
Berbeda dengan karya-karyanya yang lain seperti Lathaif al-Minan, Miftah al-Falah, dan Taj al-‘Arus, Al-Hikam ini ditulis oleh Ibnu Athaillah secara sederhana dan tidak mencantumkan rujukan berupa dukungan ayat, hadits dan berbagai argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini sepertinya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman spiritualitas penulisnya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini juga ditulis sebagai bahan motivasi hidup para pembacanya. Berikut cuplikannya.
Menghidupkan kepekaan hati
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافَقَاتِ وَتَرْكُ النَّدْمِ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ
“Di antara tanda matinya hati ialah tidak adanya rasa sedih atas hilangnya kesempatan untuk taat kepada Allah dan tidak adanya penyesalan atas perbuatan (lalai dan maksiat) yang telah anda lakukan…”[1]
Apa hubungannya antara matinya hati dengan bahagia? Untuk bisa berbahagia seseorang perlu merasakan kesedihan di awalnya. Ibarat ingin mendapatkan gelar juara, seseorang harus berusaha menyisihkan kempetitornya. Mereka yang di awal sudah berleha-leha adalah pecundang sebenarnya.
Ibnu Athaillah semacam ingin memberikan peringatan kepada orang yang huhuhaha selalu berbahagia dan menganggap tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya. Padahal semakin hari ada saja disrupsi dalam setiap sisi hidupnya, sementara orang semacam ini mengentengkannya. Bisa saja ini pertanda kematian hatinya. Justru mereka yang sering menangis, simpati dan empati serta mudah tersentuh dengan keadaan sekitarnya adalah tergolong yang hidup hatinya. Orang inilah yang berhak berbahagia atas masa depannya.
Bukan berarti kita harus selalu pesimis dan menangis begitu saja. Kepada mereka yang banyak melakukan perbuatan dosa, Ibnu Athaillah menghibur agar tetap berbesar hati menjalaninya. Jangan terjebak dalam keadaan dan hanya bersedih diri saja. Seolah Ibnu Athaillah selalu menyemangati “Move on dan mohonlah ampunan kepada-Nya”. Dalam sebuah penggalan doa dipanjatkan:
اَللَّهُمَّ مَغْفِرَتُكَ اَوْسَعُ مِنْ ذُنُوْبِنَا وَالرَّجَا عِنْدَنَا
“Ya Allah, sungguh ampunan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kita, dan Kami hanya bisa berharap saja”
Bala’ sebagai Bentuk Perhatian Allah Swt
Diturunkannya azab, bencana dan segala bentuk musibah tidak selalu kepada orang-orang yang berbuat dosa saja, melainkan menyeluruh ke semua orang yang telah dikehendaki-Nya. Misal corona atau HIV/AIDS lah sebagai contohnya. Tidak semua korbannya adalah para pelaku dosa, sehingga tidak ada alasan harus bersedih ketika diterpanya. Ibnu Athaillah berkata:
لِيُخَفِّفْ أَلَمَ الْبَلَاءِ عَنْكَ عِلْمُكَ بِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ هُوَ الْمُبْلِي لَكَ فَالَّذِيْ وَاجَهَتْكَ مِنْهُ الْأَقْدَارُ هُوَ الَّذِيْ عَوَّدَكَ حُسْنَ الْاِخْتِيَارِ
“Pedihnya ujian bisa diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah Swt. lah yang menurunkannya. Yang mendatangkan ujian-takdir kepadamu adalah Dia yang juga bisa menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu”.
Narasi semacam ini juga pernah disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Sosok sufi besar bergelar Kanjeng Syaikh (Sulṭān al-awliyā’) ini berpesan agar jangan pernah kita hanya menginginkan nikmat dan menolak bala. Bagaimanapun, menurutnya, nikmat atau dalam hal ini berbentuk rezeki akan sampai kepada manusia, baik ia mengusahakannya ataupun sebaliknya. Sementara bala dan musibah adalah kepastian (ḥālah) yang akan menimpa, meski engkau membencinya. Maka, terimalah apa saja yang dikehendaki-Nya.
Datangnya bala dan musibah kepada manusia untuk menghancurkannya, melainkan untuk menguji seberapa besar keimanannya. Tidaklah seseorang suka diuji dan menikmatinya, kecuali orang yang paham betul siapa gerangan Dzat yang mengujinya. Ibarat anak sekolah, jika ia siap diuji maka ia akan berhasil menjalaninya. Dan jika sering menjalani ujian, maka ia juga lebih cepat naik ke kelas berikutnya.
Kuncinya, jika datang suatu nikmat, maka sibukkanlah dengan dzikir dan bersyukur, lantas, jika diuji dengan musibah maka sibukkan dengan bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah Swt. Selanjutnya, Ibnu Athaillah menegaskan:
مَتَى أَعْطَاكَ أَشْهَدَكَ بِرُّهُ وَمَتَى مَنَعَكَ أَشْهَدَكَ قَهْرَهُ فَهُوَ فِيْ كُلِّ ذَلِكَ مُتَعَرِّفٌ عَلَيْكَ وَمُقْبِلٌ بِوُجُوْدِ لُطْفِهِ عَلَيْكَ
“Ketika Allah memberimu, maka Dia sesungguhnya sedang memperlihatkan belas kasih-Nya kepadamu; dan ketika Dia menolak memberimu, maka Dia sedang menunjukkan kekuasaan-Nya kepadamu; dan di dalam semuanya itu, ia sesungguhnya hendak memperlihatkan diri kepadamu dan ingin menjumpaimu dengan kelembutan-Nya”.
[1] Ibnu ‘Ajibah, Iqadh Al-Himam Syarh Matn Al-Hikam, (Maktabah Syamilah), 63.
Penulis: MUHAMMAD ZAKKI