Tiap tahun Kempek mengadakan beberapa acara rutinan. Diantaranya Kempek mengadakan acara rutinan tiap tahun yang biasa disebut dengan “haul”. Sebuah tradisi yang dilakukan bertujuan untuk mendoakan dan mengenang ulama terdahulu.
Dan tiap tahun atau karena ada keperluan tertentu Kiai Said Aqiel Siradj, ketua umum PBNU datang ke Kempek sebagai keluarga dan tamu kehormatan.
Kang Said, (sapaan akrab beliau) setiap kali ada ihtifal, perayaan sesuatu di Kempek selalu meluangkan waktu untuk mengisi mau‘idzah. Dan karena beliaulah penulis pertama kali mengenal Qasidah Syiir Burdah milik Al-Busyairi.
Salah satu yang bisa penulis ambil dari ceramah beliau ialah “Membaca dan mempelajari Burdah milik Al-Busyiri adalah salah satu cara mengetahui dan memahami secara eksplisit kehidupan Nabi dengan cara yang menyenangkan”.
Burdah adalah syiir ber-bahar al-Basith dengan taf’ilah, rimaمستفعلن فاعلن (mustaf’ilun, faa’ilun) sebanyak empat kali. Adikarya Masterpiece ulama sekaligus penyair ulung asal Mesir Syekh Muhammad bin Said Al-Busyiri (608-696 H).
Ketika penulis mendengar Kiai Said menyenandungkannya, rasanya nikmat sekali, penulis benar-benar terhanyut mendengarkan bait demi bait melodi dari qasidah syiir tersebut.
اَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِيْ سَلَمٍ ^ مَزَجْتَ دَمْعُا جَرَي مِنْ مُقْلَةٍ بِدَمِ
اَمْ هَبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَةٍ ^ وَاَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي الظَّلْمَاءِ مِنْ اِضَمِ
“Apakah karena ingat sang kekasih yang ada di daerah dzi salam engkau mencampur air mata yang mengalir dengan darah?
Atau karena angin yang bertiup dari arah kadzimah dan cahaya kilat dalam kegelapan malam daera idham”
Dua bait tersebut adalah dua dari total seratus enam puluh satu bait qasidah burdah, yang semua baitnya memiliki nilai sastra yang tinggi.
Dari perkatanya saja sudah bisa dilihat, pada bait pertama al-Busyiri menggunakan kata “al-Jiiran” yang memiliki arti tetangga, namun yang dikehendaki ialah makna “al-Mahbubun”, artinya yang dicinta/sang kekasih..
Dalam ilmu balagah yang demikian itu disebut dengan majaz mursal, (diantara istilah yang digunakan oleh Ulama ahli balaghah untuk mengungkapkan sesuatu dengan menyebutkan lafadz yang tidak digunakan sesuai tempatnya).
Dengan alasan diantara ketetapan ‘Al-Jiwar’ ,bertetangga yakni berdampingan atau berdekatan juga ditemukan pada kata ‘Al-Mahbub’, yang dicinta/sang kekasih.
dengan mengungkapkan ‘Al-Malzum’, sesuatu yang ditetapkan (Al-Jiwar/ bertetangga) dan menghendaki ‘Al-Lazim’ sesuatu yang tetap (Al-Mahbub/kekasih).
Bait pertama tersebut juga merupakan baraah al-istihlal, (sebuah istilah dalam ilmu balaghah yang memiliki arti muqaddimah yang biasa diucapkan oleh seseorang dengan adanya indikasi pembahasan di dalamnya). Dalam artian bisa dipaham bahwa qasidah syiir burdah berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad.
Kiranya jika pembahasan dilanjutkan maka akan bertele-tele maka dalam hal ini penulis akan berpegang pada kaidah ‘Yudriku ad-Dzaki bi nadzirin wahidin ma la yudriku al-Ghabi bi alfi syahidin’, seorang cerdas akan dapat memahami dengan hanya satu contoh apa yang tidak bisa dipaham oleh seorang bodoh dengan seribu contoh.
Dengan berhusnudzan bahwa seorang yang akan membaca tulisan ini dapat mengerti keindahan syiir burdah dengan hanya membaca sebagian kecilnya saja. Pembukanya saja seperti itu apalagi isinya?.
Burdah sebagai refleksi atas kehidupan Insan Kamil
Burdah secara bahasa memiliki arti selimut. Qasidah ini sarat akan isinya yang merefleksikan kehidupan sang insan kamil. Dalam kitab Az-Zubdah syarah Burdah karangan Badrudin Muhammad Al-Ghazi, setidaknya jika syi‘ir burdah dikelompokkan maka akan menjadi 10 bagian pokok.
Pertama, (Bait 1-12) menjelaskan mengenai letak geografis tanah hijaz, disambung dengan nasab Nabi Muhammad yang diungkapkan dengan rasa rindu sang penyair.
Kedua, (13-28) peringatan akan hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan, dalam hal ini al-Busyiri berkata dengan salah satu baitnya:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ^ حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تُفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
“Hawa Nafsu itu seperti halnya anak kecil, jika engkau biarkan ia maka ia akan beranjak dewasa dengan masih suka menyusu pada ibunya, akan tetapi jika ia engkau hentikan (menyapi), maka ia akan berhenti”.
Imam Busyiri menyamakan ‘hawa nafsu’ dengan anak kecil yang menyusu dalam bait ini. Dalam ilmu Balaghah hal ini disebut dengan tashbih, (menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan adanya jami’ (titik temu) menyatukan keduanya dalam suatu persamaan). dengan jami’, atau titik temu jika keduanya dibiarkan merajalela akan mengakibatkan ketidak terkendalian keduanya, artinya anak kecil jika dibiarkan (tidak disapi) akan terus menerus menyusu begitupun hawa nafsu.
Ketiga, (29-58) berisi mengenai puji-pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Dalam qasidahnya menyebutkan sifat-sifat Nabi Muhammad serta bagaimana layaknya posisi nabi bagi umat Islam.
Keempat, (58-71) sang penyair, Imam Al-Busyiri melakukan flashback atau alur mundur dengan menceritakan masa kelahiran Nabi dan yang berhubungan dengannya.
Kelima, (72-87) pada bagian selanjutnya dengan bait burdahnya Al-Busyiri menyebutkan mu’jizat-mu’jizat Nabi, seperti pepohonan atau bebatuan yang menyapa Nabi ketika Nabi melakukan perjalanan.
Keenam, (88-114) al-Busyiri menyebutkan dan menjelaskan mu’jizat terbesar dan teragung Nabi yakni alquran.
Ketujuh, (115-117) menjelaskan Isra’ Mikraj Nabi. Kedelapan, (118-139) jihad dan peperangan yang diikuti Nabi. Kesembilan, (140-151) tawassul dan syafa‘at Nabi. Dan yang terakhir (152-161) menjelaskan tadharru, (andap asor; Jawa) dan munajat serta harapan-harapan sang Penyair kepada Allah.
Semua pembagian tersebut bertujuan untuk mempermudah pembaca untuk memahami maksud dari sang penyair, dan semuanya secara eksplisit dan komprehensif dijelaskan dalam kitab Az-Zubdah fi Syarh al-Burdah, karangan Imam Badrudin Muhammad Al-Ghazi (904-984 H) dan Syarh Al-Burdah milik Syekh Ibrahim Al-Bayjuri.
***
Ref. Syekh Ibrahim Al-Bayjuri. Syarh Al-Burdah.Kairo.Maktabah Al-Adab
Syekh Badrudin Muhammad Al-Ghazi. Az-Zubdah fi syarh Al-Burdah.2007. Al-Jazair. Asimah at-Tsaqafah al-Arabiyyah
Penulis: ALWI JAMALULEL UBAB