Tarekat adalah jalan yang dilalui oleh orang sufi dalam perjalanannya menuju Tuhan. Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama disebut syar’i sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata ini terambil dari kata tharq yang di antara maknanya adalah “mengetuk” seperti dalam ungkapan tharq al-bab yang berarti “mengetuk pintu”.
Oleh karena itu, cara beribadah seorang sufi disebut tarekat karena ia selalu mengetuk pintu hatinya dengan dzikrullah atau mengingat Allah. Cara beribadah semacam ini oleh Nabi SAW disebut dengan tarekat hasanah (cara yang baik). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hambal dalam musnadnya dengan perawi-perawi tsiqat (dipercaya), Nabi SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيْقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَلِ بِهِ اُكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيْقًا حَتَّى أَطْلَقَهُ أَوْ أَكْفَتَهُ إِلَى تَعْلِيْقِ شُعَيْبِ الْأَرْنَؤُوْطِ : صحيح وهذا إسناد حسن
“Sesungguhnya seorang hamba jika berpijak pada tarekat yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan (oleh Allâh SWT) kepada malaikat yang mengurusnya, ‘Tulislah untuk orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku menyembuhkannya atau mengembalikannya kepada-Ku, (Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 2, halaman: 203).
Ungkapan tarekat hasanah dalam hadis tersebut menunjukan kepada perilaku hati yang diliputi kondisi ihsan (beribadah seolah–olah melihat Allâh SWT atau kondisi khusyu’) yakin berjumpa dengan Allâh SWT dan kembali kepada-Nya,
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿٤٦﴾
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya, (al-Baqarah, 2: 46).
Ibadah (misalnya shalat) yang dilakukan dengan hati yang lalai oleh nabi disebut sebagai shalat al-munafiq (salatnya orang munafik), yaitu yang di dalamnya ia tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit (la yadzkurullaha fiha illa qalilan) Shahih Muslim, 1: 434, dan pelakunya oleh Tuhan diancam dengan al-wail.
(فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5), (al-Maun, 107: 4-5).
Di dalam Alquran pun kata tarekat muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna.
Setelah Allâh SWT menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas tarekat, Allâh SWT. langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya:
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقاً ﴿١٦﴾ لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَن يُعْرِضْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَاباً صَعَداً ﴿١٧﴾
Seandainya mereka istiqamah di atas tarekat niscaya Kami beri minum mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak): untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barangsiapa tidak mau berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia menimpakan azab yang sangat pedih, (al-Jinn, 72: 16-17).
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq RA ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-tarekat dan ia menjawab, “Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allâh SWT dengan sesuatu (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-tarekat) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, tarekat dalam ayat tersebut adalah ”jalan menuju tauhid yang murni”.
Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syaikh-syaikh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah: “Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allâh dan yang diisyaratkan oleh syaikh-syaikh tarekat dan pakar-pakar agama.”
Dalam ayat yang lain tarekat disandingkan dengan syari’ah yaitu ketika Allâh berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً
Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syir’ah (peraturan) dan minhaj (metode), (al-Maidah, 5:48).
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa syir’ah dalam ayat tersebut adalah syari’ah (peraturan) sedangkan minhaj adalah tarekat (metode pelaksanaan syari’ah), dan kedua-duanya (syari’ah dan tarekat) secara simultan bermuara pada tujuan pokok yang merupakan haqiqat al-din (hakikat agama), yaitu tauhid yang murni, atau hanya menyembah Allâh SWT semata (ibadat Allâh wahdah).
Tidak diragukan lagi bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran dan Sunnah sebagaimana disiplin keilmuan Islam lainnya. Hal ini sebagaimana telah disampaikan oleh para imam tasawuf, diantaranya:
Imam Junaid mengatakan, “Sesungguhnya ilmu kita ini adalah berdasar Alquran dan Sunnah”
Syaikh Sahal Tastarimengatakan,“Ushul kita (tasawuf ada tujuh, yaitu berpegang teguh kepada Alquran, melaksanakan Sunnah Rasulullah, makan yang halal, mencegah yang menyakitkan, menjauhi dosa, taubat dan melaksanakan hak-hak.”, (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 170).
قال سهل: أُصُوْلُنَا سَبْعَةُ أَشْيَاءَ: التَّمَسَّكُ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، وَالْاِقْتِدَاءِ فِى سَنَةِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَكَالُ الْحَلَالِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاجْتِنَابُ الْاَثَامِ، وَالتَّوْبَةُ، وَاَدَاءُ الْحُقُوْقِ.
Syaikh Hasan Syadzili, “Apabila kasyafmu bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah maka lakukanlah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan tinggalkan kasyf dan ilham.” (Iqadhul Humam (syarah matan Hikam), Ahmad bin ‘Ajibah juz 2, halaman: 302-303)
Syaikh Abu Hasain al-Waraqmengatakan, “Tidaklah seorang hamba sampai kepada Allâh SWT kecuali dengan Allâh SWT (Alquran) dan sesuai dengan kekasihNya (Rasulullah) dalam melaksanakan syari’ahNya. Barangsiapa menjadikan jalan wushul tanpa melaksanakan al-Sunnah, maka ia (sebenarnya) menyesatkan meskipun dikira memberikan petunjuk.” (Thabaqât al-Shûfiyah Abu Abd. Rahmân Muhammad bin al-Hasain al-Sulamî, halaman: 230).
قال: وقال أبو الحسين: لَايَصِلُ الْعَبْدُ اِلَى اللهِ إِلَّا بِااللهِ، وَبِمُوَافَقَةِ حَبِيْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِى شَرَائِعِهِ. وَمَنْ جَعَلَ الطَّرِيْقَةَ اِلَى الْوُصُوْلِ فِي غَيْرِ الْاِقْتِدَاءِ يَضِلُّ، مِنْ حَيْثُ يَظُنُّ أَنَّهُ مُهْتَدٌ.
Syaikh Abd. Wahab Sya’rani: “Sesungguhnya jalan kaum sufi adalah tertulis dalam Alquran dan Sunnah “ (Lathaif al-Minan wa al-akhlaq Wahab Sya‘rani, juz I, halaman: 2).
Abu Yazid al-Busthamimengatakan ketika ditanya tentang sufi, “allah Yaitu yang meletakkan Alquran di sisi kanan dan Sunnah di sisi kiri, “(Syathahat al-Shufiyah Abd Rahman Badawi, halaman: 96).
Menurut Syaikh Amîn al-Qurdhidalam kitab Tanwîr al-Qulûb halaman 409, pokok ajaran tasawuf ada lima:
Taqwallah dalam keadaan tersembunyi dan terlihat direalisasikan dalam sifat wira’i dan istiqamah.
Mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dalam ucapan, perbuatan direalisasikan dalam bentuk budi pekerti yang baik.
Berpaling dari mahluk direalisasikan dalam sifat sabar dan tawakkal.
Rela atas pemberian Allâh SWT baik sedikit atau banyak diwujudkan dalam sifat qana’ah dan pasrah.
Kembali kepada Allâh SWT dalam setiap keadaan senang dan susah direalisasikan dalam syukur ketika senang dan mengembalikan segala sesuatu kepada Allâh SWT dalam keadaan susah.
Masih banyak lagi pernyataan para imam tasawuf yang senada. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tasawuf adalah bersumber dari Alquran an Sunnah.
Alquran dan Hadis merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegangi oleh umat Islam. Sering didengar pertanyaan dalam kerangka landasan naqli ini, Apa dasar Alquran-Hadisnya sehingga anda berkata demikian?’ atau ‘Bagaimana Alquran dan Hadisnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik, termasuk persoalan-persoalan tasawuf.
Di sini sekilas akan disampaikan beberapa dasar Alquran dan Hadis yang melandasi teori dan amalan tasawuf.
***
Penulis: Para santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan