Sabilus Salikin (44): Tarekat Uwaisiyah (lanjutan)

Setelah pertemuan antara Uwais dengan Umar dan Ali, tersiarlah kabar bahwa Uwais memiliki derajat yang tinggi, sehingga penduduk kota Yaman selalu mencari dan mendatanginya. Uwais merasa terganggu untuk bermunajat kepada Allah SWT, sehingga ia meninggalkan Yaman agar tidak diketahui keberadaannya oleh penduduk. Tidak ada yang melihat Uwais di mana pun kecuali Harim Bin Hayyan.

Harim bin Hayyan berkata, “Aku mendengar bahwa Uwais bisa diterima syafa’atnya pada hari kiamat, sehingga aku melakukan perjalanan untuk mencarinya, lama aku mencarinya sehingga hatiku terbuai kerinduan untuk bertemu dengan Uwais. Seluruh desa dan kota telah aku lalui, sehingga aku sampai di kota Kuffah. Pencarianku terhenti pada seorang laki-laki yang memiliki ciri-ciri yang persis seperti yang diceritakan Nabi, Umar, dan Ali. Laki-laki itu sedang berwudhu’ di pinggir sungai Furadh. Hatiku senang sekali dan berucap salam padanya, kemudian dia menjawab dan melihat ke arahku, kemudian aku ingin mencium tangannya, tapi dia menolak. Aku berkata semoga Allah SWT mengasihimu dan mengampunimu wahai Uwais. Bagaimana kabarmu? Setelah aku bertanya seperti itu aku tidak kuasa membendung tangisku karena merasa kasihan terhadap keadaan Uwais yang lemah dan Uwais juga menangis.

Usai menangis Uwais berkata, “Wahai Harim bin Hayyan, siapa yang menunjukkanmu kepadaku?” Aku tidak menjawab pertanyaan itu lalu aku balik bertanya, “Bagaimana Anda tahu namaku dan bapakku ?” Uwais menjawab, “Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada yang menceritakan kepadaku, ruhku telah mengenali ruhmu, karena antara ruh orang-orang mukmin saling mengenal”.

Harim berkata kepada Uwais, “Ceritakanlah kepadaku tentang Hadisnya Rasul?” Uwais menjawab, “Aku tidak pernah bertemu dengan Nabi tetapi aku mendengar Hadis Nabi yang diriwayatkan dari sahabatnya, aku tidak menyukai membuka pintu fatwa dan pengingat karena aku telah disibukkan selain hal itu”. Lalu aku berkata, “Aku menyukai mendengar ayat Alquran darimu, kemudian Uwais memegang tanganku sambil mengucapkan ta’awudz, Uwais menangis tersedu-sedu, kemudian membaca ayat Alquran:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ (الذاريات: 56)

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ ﴿٣٨﴾ مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٩﴾ إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيْقَاتُهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٤٠﴾ يَوْمَ لَا يُغْنِي مَوْلًى عَن مَّوْلًى شَيْئاً وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ ﴿٤١﴾ إِلَّا مَن رَّحِمَ اللهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ ﴿٤٢﴾ (الدخان: 38-42)

Kemudian Uwais menjerit dengan keras, bahkan aku tidak mengetahui apakah akalnya masih ada atau tidak. Selang beberapa saat Uwais berkata, “Wahai Harim bin Hayyan, kenapa engkau mendatangiku?”. Aku menjawab, “Tujuanku mencarimu untuk merasa tenang dan nyaman bersamamu”.

Uwais mengomentari jawabanku, “Aku tidak mengerti, bahwasanya orang yang mengenal Allah SWT bagaimana ia bisa merasa tenang dan nyaman bersama selain-Nya?” Aku berkata, “Berilah aku wasiat”. Uwais berkata, “Jadikan kematian di bawah kepalamu (ingat pada kematian) dan di dalam kepalamu dan setelah itu tidak ada pengaruh kehidupan setelah kematian (tidak ingat pada kehidupan dunia dan yang diingat hanya Allah SWT semata), jangan engkau memandang dosa kecil tapi pandanglah pada besarnya maksiat kepada Allah SWT karena jika Engkau meremehkan dosa maka Engkau telah meremehkan berpaling dari Allah Swt”.

Harim berkata, “Apa yang Engkau perintahkan kepadaku? Di tempat mana aku bermukim?” Uwais berkata, “Bertempatlah di Syam”. Aku berkata, “Bagaimana aku mendapatkan penghidupan di kota Syam (Syiria)?” Uwais berkata, “Jauhkan perasaan itu dari hatimu, karena keragu-raguan telah mencemari hatimu, sehingga nasihat tidak bermanfaat”.

Aku berkata lagi, “Berilah aku wasiat” Uwais berkata, “Bapakmu Hayyan telah mati, Nabi Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Nabi Muhammad SAW dan seluruh Nabi dan Rasul telah meninggal semua, Abu Bakar, Umar bin al-Khattab telah mati”. Aku bertanya kepada Uwais “apakah Umar bin al-Khattab telah mati?” Uwais menjawab: “Ya. Allah SWT telah memberikan kabar kepadaku melalui ilham tentang kematian Umar bin al-Khattab”.

Baca juga: Kisah Nyata: dari Penggali Kubur Menjadi Ulama

Kemudian Uwais berkata, “Wahai Harim, aku dan engkau termasuk golongan orang-orang yang mati”. Kemudian Uwais membaca shalawat kepada Nabi, berdoa dengan doa yang pelan. Lalu Uwais berkata, “Wasiatku kepadamu bersuluklah dengan jalan sesuai syari’at dan tarekat orang-orang yang baik, jangan engkau melupakan zikir kepada Allah SWT walaupun sekejap. Jika engkau sudah sampai kepada kaummu berilah nasihat kepada mereka, jangan engkau memutus nasihat (mengharapkan kebaikan) dari hamba Allah SWT, jangan engkau menyimpang dari taat kepada pemimpin umat sehingga imanmu tidak keluar tanpa kamu sadari, engkau tidak mengetahui apakah engkau akan jatuh ke neraka atau tidak”.

Kemudian Uwais berkata lagi, “Wahai Harim, engkau dan aku tidak akan pernah bertemu sejak saat ini, jangan lupakan aku dalam do’a, berangkatlah ketika aku berangkat, jangan engkau tinggalkan aku sedetik pun sebelum kepergianmu”. Lalu aku dan Uwais menangis, kemudian Uwais pergi sementara aku memandanginya dari belakang sampai Uwais naik ke gunung. Setelah peristiwa itu aku tidak melihat dan mengetahui keadaannya, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 51–52).

Nasihat-nasihat Uwais al-Qorn

لَا يَخْفَى عَلَىْهِ شَيْءٌ

Maksudnya adalah apabila seseorang sudah ma’rifat kepada Allah SWT (pokok), maka akan mudah baginya semua mahluk (cabang)

اَلسَّلَامَةُ فِي الْوَحْدَةِ

Maksudnya adalah keselamatan itu ada pada menyendiri (secara ruhani bukan secara jasadi)

Baca juga: Sabilus Salikin (9): Lafal Dzikir yang Paling Utama

اِجْعَلِ الْمَوْتَ تَحْتَ رَأْسِكَ وَ عِنْدَ رَأْسِكَ

Maksudnya adalah ingatlah kepada kematian dan janganlah ingat pada kehidupan dunia dan ingatlah hanya Allah SWT semata

وَ لَا تَتَوَقَّعْ الْحَيَاةَ بَعْدَهُ

Janganlah mengharap kehidupan setelah mati. Maksudnya adalah membekali hidup untuk menyongsong kematian.

  • Aku mencari kedudukan, maka aku temukan kedudukanku di dalam sifat tawadhu’.
  • Aku mencari kepemimpinan, maka aku temukan kepemimpinan itu dalam (memberi) nasihat kepada orang.
  • Aku mencari keagungan, maka aku temukan keagungan di dalam sifat fakir.
  • Aku mencari sunnah dan aku temukan sunnah itu di dalam sifat takwa.
  • Aku mencari kemuliaan, maka aku temukan kemuliaan itu dalam sifat qona’ah.
  • Aku mencari kenyamanan maka aku temukan kenyamanan itu dalam sifat zuhud.
  • Ingatlah kepada kematian.
  • Jika kamu mampu (untuk) tidak memisahkan hatimu dengan air mata, maka lakukanlah.
  • Bernadzarlah kepada kaummu ketika kamu kembali kepada mereka.
  • Dan bersungguh-sungguhlah dalam (menghidupi) dirimu.
  • Takutlah meninggalkan (sholat) jamaah.
  • Kamu meninggalkan agamamu sedangkan kamu tidak menyadarinya. Kemudian kamu mati dan masuk neraka pada hari kiamat, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 54-55).

Penjelasan: Sebagian wali Allah SWT diberi julukan Uwais. Artinya tidak membutuhkan bimbingan dari seorang guru, karena Uwais adalah Faidhul Ilahi (anugerah Ilahi) tanpa perantara orang lain dan berkah cahaya kenabian. Derajat ini adalah maqâm yang sangat tinggi sebagaimana firman Allah Swt:

ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ﴿٤﴾ (الجمعة: 4)

Maka intisab Tarekatnya secara hakikat langsung kepada Allah SWT dan proses suluknya sesuai dengan suluk Nabi sebagaimana sabda Nabi SAW:

أَدَّبَنِيْ رَبِّيْ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِيْ

Tuhanku telah mendidikku, maka Allah SWT lah yang memperbaiki adabku.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!