Surat Al-Insyirah atau Alam-Nasrah atau Asy-Syarhu berbunyi sebagai beriku:
اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَۙ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَۙ الَّذِيْٓ اَنْقَضَ ظَهْرَكَۙ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَۗ فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Artinya: “1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? 2. Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu. 3. Yang memberatkan punggungmu. 4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. 5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. 8. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS Al-Insyirah: 1-8).
Menurut Asy-Syuyuthi dalam “Tafsir Al-Quran Al-Adhim”, Surat Al-Insyirah diturunkan ketika orang-orang musyrik menghina dan memperolok-olokkan kefakiran dan kemiskinan kaum muslimin. Surat ini diturunkan sebagai tasliyah atau penghibur hati bagi Nabi Muhammad dan kaum muslimin. Ayat pertama Nabi diberi kelapangan atau tentang ke-3 dan ke-2 Ayat).
بالنبوية وغيرها
(lain-lainnya dan kenabian dengan kemudahan “beban yang memberatkan punggungmu”, yakni “dosa atau kesalahan kecil” yakni yang dirasakan dan menjadi beban nabi sebagaimana ayat lain di surat Al-Fath
لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ
yang artinya “…. supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu…” (Q.S. Al-Fath: 2).
Tafsir Asy-Syuyuthi tentang hal “kesalahan atau dosa Nabi” tersebut sama dengan tafsir Ath-Thabari, Ibn Katsir, Al Qurthubi, yang tidak ada kaitan dengan kerisalahan Nabi karena Nabi maksum, lebih pada kesalahan-kesalahan manusiawi sebagai manusia sebagaimana ayat:
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۟ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰىٓ اِلَيَّ
Artinya: Aesungguhnya aku adalah manusia sepertimu, yang diberikan wahyu…” (QS Fushilat: 6; Al-Kahfi: 110). Sedangkan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan makna “Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu” ialah “tanggungjawab nubuwat. Sebab menjadi Nabi dan Rasul adalah satu beban berat. Itulah telah dibuat ringan oleh Allah sehingga tidak berat memikilnya lagi.”.
Ibn Katsir dalam “Tafsir Al-Quran Al-Adhim” membahas tentang inti Firman Allah Ta’ala di ayat ke-5 dan ke-6: “Fa inna ma’al ‘usri yusran, inna ma’al ‘usri yusran” (Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”), yakni Allah memberitahukan bahwa bersama kesulitan itu terdapat kemudahan. Kemudian Dia mempertegas berita tersebut.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Hasaan, dia berkata: “Nabi saw pernah keluar rumah pada suatu hari dalam keadaan senang dan gembira, dan beliau juga dalam keadaan tertawa seraya bersabda: “Satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan.”
Bahwa kata kesulitan (al- ‘usru) kesulitan itu dapat diketahui pada dua keadaan, di mana kalimatnya dalam bentuk mufrad (tunggal) dan ma’rifat (kalimat definitif, tertentu atau diketahui). Sedangkan kemudahan (yusr) dalam bentuk nakirah (indefinitif, tidak ada ketentuannya, tidak diketahui) sehingga bilangannya bertambah banyak. Sebagaimana Nabi bersabda: “Satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan.”.
Hamka memberikan penjelasan tentang ayat “Fa inna ma’al ‘usri yusran, inna ma’al ‘usri yusran” sebagai berikut:
“Ini adalah Sunatullah! Nabi Muhammad merasa berat beban itu sampai seakan-akan hendak patah tulang punggung memikulnya. Namun di samping beratnya beban, atau beserta dengan beratnya beban, namanya diangkat Tuhan kebatas, sebutannya dimuliakan! Karena demikianlah rupanya Sunatullah itu, kesulitan bersama kemudahan. Yang sulit saja tidak ada! Yang mudah saja pun tidak ada! Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah; itulah perjuangan hidup. Dan ini dapat diyakinkan oleh orang-orang yang telah mengalami.”.
Ayat ini diakhiri dengan ayat ke-7 dan ke-8, “Faidza faraghta fanshab. Wa ila Rabbika farghab”. Dalam Tafsir Ath-Thabari disebutkan, para ahli berbeda pendapat mengenai penakwilannya. Sebagian mengatakan, bahwa mankanya adalah, “maka apabila engkau telah selesai dari shalatmu, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa kepada Tuhanmu, dan mohonlah kebutuhannya kepada-Nya.”. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa makna “faidza faraghta fanshab”, ialah “Maka apabila kamu telah selesai dari berjihad, maka bersungguh-sungguhlah dalam beribadah kepada Tuhanmu”. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah, “apabila engkau telah selesai dari urusan duniamu maka bersungguh-sungguhlah dalam beribadah kepada Tuhanmu.”. Kemudian Ath-Thabari menyimpulkan:
“Pendapat yang benar mengenai ini adalah yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, setelah selesai dari urusan yang menyibukannya, baik urusan dunia maupun akhirat, yang menyebabkannya sibuk dengan itu, yang memang urusan itu Allah
Perintahkan untuk dikerjakan, agar bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya, menyibukkan diri dengan hal-hal yang mendekatkan kepada-Nya, serta memohon kebutuhannya kepada- Nya. Dalam hal ini Allah tidak mengkhususkan selesainya dari suatu kondisi tanpa kondisi lainnya, sehingga semua kondisi selesai dari satu urusannya adalah sama, baik itu selesai shalat, jihad, maupun urusan dunia yang menyibukkannya. Ini karena keumuman kalimat syarat pada redaksi ini tanpa mengkhususkan suatu kondisi tertentu tanpa kondisi lainnya.”.
Adapun ayat “Wa ila Rabbika farghab” artinya “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. Menurut Ath-Thabari, maksudnya adalah, “dan hanya kepada Tuhanmulah hai Muhammad, hendaknya engkau menjadikan harapanmu, bukan kepada selain-Nya, karena orang-orang musyrik dari kaummu telah menjdikan harapan mereka untuk memenuhi keperluan-keperluan mereka kepada para tuhan dan sekutu”.
Sumber: Haedar Nashir. Majalah SM Edisi 8 Tahun 2022