Aisyah Al-Ba’uniyah, Penulis Produktif dari Kalangan Sufi Perempuan.
Aisyah Al-Ba’uniyah (wafat 922 H) adalah perempuan penyair, sastrawan, ahli fiqih, guru besar (syaikhah), dan sufi. Nama lengkapnya Aisyah binti Yusuf bin Ahmad bin Nashiruddin Al-Ba’uniyah.
Ba’un merupakan nama desa di ‘Ajlun, Yordania. Ia lahir di Dimasyq atau Damaskus pada tahun 864 H. (Muhammad Mahmud Kalu, A’isyah Al-Ba’uniyah: Syâ’iratus Syâm wa Fâdhilatuz Zamân, [Darul Majd lin Nasyr: 2020], halaman 5).
Leluhur Menurut analisa Th. Emil Homerin, Ba’un merupakan tempat asal leluhur Aisyah Al-Ba’uniyah. Nashir, buyut Aisyah, adalah penenun dan pedagang kain di Ba’un.
Demi mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang layak untuk anaknya, Nashir pindah bersama keluarganya ke Nazareth sekitar tahun 1395 M. Kemudian anak sulungnya, Isma’il bin Nashir, menjadi Wakil Qadhi di sana dan mengabdikan dirinya untuk menyelami tasawuf.
Anak terakhirnya, Ahmad bin Yusuf (kakek Aisyah) memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia berhasil menghafal Al-Qur’an di usia 10 tahun, dan di usia yang sangat muda telah menempati jabatan administratif di Nazareth.
Ketika ia melakukan perjalanan ke Kairo, Sultan Barquq mengangkatnya sebagai khatib dan pengurus Masjid Umayah di Dimasyq (Damaskus). Kemudian ia diangkat menjadi Qadi Mazhab Syafi’i di Damaskus. (Th. Emil Homerin, Aisha Al-Ba’uniya: A Life in Praise of Love, [London, Oneworld Academic: 2019], halaman 1).
Sejak saat itu, Ahmad bin Nashir Al-Ba’uni tinggal di Damaskus, dan seluruh anak-anaknya menjadi ulama, termasuk Yusuf, ayah ‘Aisyah Al-Ba’uniyah. Yusuf merupakan ulama ahli fiqih, tasawuf dan hadits. Ia diangkat menjadi Qadhi di Safad, Tripoli, Aleppo.
Kemudian ia menjadi Ketua Qadhi Mazhab Syafi’i di Damaskus. (Homerin, Aisha Al-Ba’uniya, halaman 2). Baca Juga: Sayyidah Nafisah, Ulama Perempuan Guru Imam Syafi’i Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah Al-Ba’uniyah lahir di keluarga ulama ternama. Saudara Aisyah Al-Ba’uniyah memiliki empat saudara laki-laki, Abdul Latif, Abdurrahman, Abdullah dan Muhammad. Dari keempat saudaranya, Muhammad bisa dibilang yang paling menonjol. Ia menjadi Qadhi di Aleppo dan terkenal sebagai sejarawan dan penyair.
Tapi dalam hal kemampuan, kecerdasan, keahlian dan kemasyhuran, semuanya kalah dengan Aisyah. (Homerin, Aisha Al-Ba’uniyya, halaman 7).
Kecerdasan Aisyah Al-Ba’uniyah sudah hafal Al-Qur’an di usia delapan tahun. Ia berkata: Baca Juga: Syekhah Fathimah, Ulama Perempuan Ahli Hadis Asal Nusantara
ومنّ عليّ بحفظه علي التمام ولي من العمر ثمانية أعوام ثمّ تنسكتُ علي يد إسماعيل الخوارزمي ثم علي يد خليفته يحيي الأرموي
Artinya, “(Allah) menganugerahkan kepadaku dapat menghafal Al-Qur’an dengan sempurna di umur delapan tahun, kemudian bertanassuk (mendalami ibadah dan belajar tasawuf) kepada Isma’il Al-Khwarizmi, lalu pada penggantinya, Yahya Al-Urmawi.” (Kalu, A’isyah Al-Ba’uniyah, halaman 6). Aisyah Al-Ba’uniyah sangat gemar menuntut ilmu. Ia mempelajari hampir segalanya, dari mulai Al-Qur’an, hadits, sastra Arab, fiqih, akidah, sampai tasawuf. Ia memiliki banyak guru dari lintas bidang. Sebut saja Isma’il Al-Hurani, Muhyiddin Al-Amuri, Isma’il Al-Khawarizmi, Yahya Al-Urmawi dan masih banyak yang lainnya. (Kalu, A’isyah Al-Ba’uniyah, halaman 6).
Damaskus Kota Terpenting Kedua Dinasti Umayah Damaskus saat itu menjadi kota terpenting kedua Dinasti Mamaluk setelah Kairo. Ia merupakan pusat ilmu pengetahuan. Kota yang sejahtera, indah dan berwarna.
Penjelajah Prancis, Bertrandon de la Broquiere mengatakan ini saat melewati Damaskus pada tahun 1432:
“The town is rich, commercial, and after Cairo, the most considerable of all in the possessions of the sultan… I have nowhere seen such extensive gardens, better fruits, nor greater plenty of water. This is said to be so abundant, that there is scarcely a house without a fountain.”
Artinya, “Damaskus adalah kota yang kaya, komersial, dan setelah Kairo, Damaskus adalah kota paling penting yang dikuasai sultan … Aku belum pernah melihat taman yang begitu luas, buah-buahan yang lebih baik, atau pun air yang lebih banyak. Bisa dikatakan sangat melimpah, sampai hampir tidak ada rumah tanpa air mancur.” (Homerin, Aisha Al-Ba’uniyya, halaman 13).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan intelektual Aisyah, karena memungkinkannya untuk mengakses banyak pengetahuan. Dinasti Mamaluk banyak membangun masjid dan madrasah. Mereka juga merenovasi dan memperbaiki banyak institusi lama, seperti rumah sakit yang dulu dibangun oleh Nururddin Al-Zangi.
Rumah sakit ini, di bawah pengawasan Yusuf, ayah Aisyah, direnovasi dan diperluas. Salah satu institusi yang dikelola oleh Dinasti Mamaluk adalah Perpustakan Al-Asyrafiyah yang memiliki lebih dari 2.000 judul. Meskipun tidak besar, Perpustakaan Al-Asyrafiyah masih dikenal sampai sekarang karena katalog buku-buku koleksinya bertahan sampai sekarang. Asiyah Al-Ba’uniyah banyak membaca dan mengutip dari buku-buku koleksi Perpustakaan Al-Asrafiyah. (Homerin, Aisha Al-Ba’uniyya, halaman 14).
Aisyah Al-Ba’uniyah menikah dengan seorang sayyid bernama Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakr bin ‘Ali bin Ibrahim. Ayah suaminya merupakan naqibul asyraf (tetua kalangan syarif atau keturunan Rasulullah saw). Ia memiliki dua anak, Abdul Wahab dan Barakah. (Kalu, A’isyah Al-Ba’uniyah, halaman 6).
Perjalanan ke Kairo Pada tahun 919 H, ‘Aisyah Al-Ba’uniyah melakukan perjalanan menuju Kairo bersama anaknya, Abdul Wahab. Dalam perjalanan, mereka bertemu bandit dan barang bawaannya dicuri, termasuk karya tulis Aisyah.
Di Kairo, mereka dijamu oleh Wazirul Khârijiyah atau Menteri Luar Negeri, Mahmud bin Muhammad bin Aja. Ia membantu Abdul Wahab untuk mendapatkan pekerjaan, dan membantu Aisyah masuk dalam lingakaran akademik atau keulamaan di Kairo. (Muhammad Khair Ramdhan Yusuf, Al-Muallifat minan Nisa’ wa Muallafatihinna fi Tarikhil Islami, [Beirut, Dar Ibn Hazm: 2000], halaman 74-75).
Mendalami Tasawuf Terlahir dari keluarga ulama, Aisyah Al-Ba’uniyah mengikuti tradisi keluarganya, yaitu mendalami tasawuf.
Paman buyutnya merupakan seorang sufi. Pamannya, Ibrahim, pemimpin sebuah kelompok nyanyian sufi; sedangkan ayahnya, Yusuf Al-Ba’uni, penganut thariqah Qadiriyah, thariqah yang diikuti juga oleh Aisyah.
Tidak mengejutkan jika Aisyah banyak membaca buku-buku tasawuf. Ia membaca karya-karya klasik tasawuf dari As-Sarraj (wafat 988), Al-Kalabadzi (wafat 995), As-Sulami (wafat 1021), Al-Qusyairi (wafat 1074), Al-Ghazali (wafat 1111), Umar Al-Suhrawardi (wafat 1234). (Homerin, Aisha Al-Ba’uniyya, halaman 62).
Produktif Menulis Aisyah Al-Ba’uniyah menulis banyak buku, sekitar 20 buku, mungkin lebih. Sebagian buku-bukunya hilang. Homerin mengatakan, “probably composed more works in Arabic than any other woman prior to the twentieth century”. Mungkin Aisyah menulis lebih banyak karya dalam bahasa Arab dibanding wanita lain mana pun sebelum abad ke-20. (Homerin, A’isha Al-Ba’uniyah, dalam Joseph E. Lowry & Devin J. Stewart (editor).
Essays in Arabic Literary Biography II: 1350-1850, [Wiesbaden, Harrassowitz: 2009], halaman 21-27).
Aisyah Al-Ba’uniyah menunjukkan, meskipun harus mengurus anak dan rumah tangga, ia tetap bisa belajar, mengajar dan menulis karya-karya hebat, bahkan menulis sirah Nabi Muhammad yang diberi judul Al-Mauridul Ahna fil Maulidil Asna. Mungkin ia satu-satunya wanita sebelum abad ke-20 yang menulis atau menyusun sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagai ulama sufi dan penyair (syâ’irah), ia meninggalkan banyak karya sastra. Ia menggubah banyak syair yang memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa di antaranya adalah:
جَمالك فائق للعَقل فاتن ۞ وَحُبك في صَميم القَلب ساكن
“Keindahanmu terlalu menawan untuk akal Cintamu di relung hati menetap tentram.” (Aisyah Al-Ba’uniyah, Maulidun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, [Dimasyq, Al-Mathba’ah Al-Hifniyah: 1884], halaman 48). Di bait lain ia mengatakan:
وَأبدع كل الكائِنات لِأَجلِهِ ۞ ليَجلو عَلَيها مظهر الرَّحمَة العُظمى
“Diciptakanlah seluruh alam semesta untuknya Agar terterangi oleh kebesaran manifestasi belas kasih.” (Al-Ba’uniyah, Maulidun Nabi, halaman 13). Karya Tulis Dari sekian banyak tulisannya, beberapa dari karyanya hilang.
Judul-judul dari karya yang hilang diketahui dari kitab-kitab ensiklopedia dan biografi ulama-ulama masa lalu.
Berikut sebagian dari karya-karyanya:
Al-‘Isyaratul Khafiyyah fi Manazilil ‘Aliyyah (hilang);
Maulidun Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Al-Mauridul Ahna fil Maulidil Asna;
Diwanul Ba’uniyah; Durarul Ghâ’ish fi Bahril Mu’jizât wal Khasha’is;
Al-Fathul Mubin fi Madhil Amin;
Faydhul Fadhl wa Jam’us Syaml; Tashriful Fikr fi Nadhm Fawa’idid Dzikr;
Al-Muntakhab fi Ushulir Rutab;
Al-Fathul Qarib fi Mi’rajil Habîb (hilang);
Az-Zubdah fi Takhmisil Burdah (hilang); Al-Qaulus Shahih fi Takhmis Burdatil Madih; Madadul Wadud fi Maulidil Mahmud (hilang);
dan lain-lain
Aisyah Al-Ba’uniyah wafat di Damaskus pada tahun 923 H dalam usia kurang lebih 55-56 tahun. Ia meninggalkan warisan luar biasa, dan menjadi bukti bahwa di masa lalu ada wanita yang telah melahirkan karya-karya besar.
Karya-karya yang akan terus menginspirasi dari generasi ke generasi. Allahummaghfir lahâ warhamhâ wa’âfihâ wa’fu’anhâ. Wallahu a’lam bish shawwab.
Penulis: Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.