Sabilus Salikin (6): Tarekat dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

Penjelasan Ibn Taimiyah mengenai tarekat sangat penting untuk dikemukakkan lebih jauh disini, sebab –sekali lagi– selama ini ia sering dituding sebagai antitarekat, bahkan dijadikan rujukan utama oleh sebagian kecil umat untuk menentang tarekat. Padahal Ibnu Taimiyah tidak pernah menentang tarekat/tasawuf kecuali yang nyata sekali bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.

Ketika memuji Imam al-Junaid al-Baghdadi berkenaan dengan kewajiban seorang salik (Orang yang berjalan menuju Allâh Swt. agar mengenal Sang Pencipta sehingga dapat beramal dan berubudiyah secara ihlas), Ibn Taimiyah menegaskan dalam kitabnya al-Istiqamah:

“Ini (mengenal sang Pencipta) termasuk di antara pokok-pokok akidah ahl al-Sunnah dan imam-imam para syaikh, khususnya syaikh-syaikh sufi, karena pokok pangkal tarekat para sufi adalah kehendak (al-Iradah), yang merupakan fondasi amal. Mereka dalam hal kehendak, ibadah, amal, dan akhlak lebih besar keteguhannya daripada dalam hal perkataan dan ilmu pengetahuannya. Mereka dengan semua itu lebih besar perhatiannya dan lebih banyak pemeliharaanya. Orang yang belum memasuki semua itu tidak dapat serta merta menjadi ahli tharîqah mereka.”

Dalam kitabnya yang lain al-Hasanah wa al-Sayyiah, Ibn Taimiyah menegaskan lebih lanjut bahwa orang yang mengikuti Imam al-Junaid adalah orang yang memperoleh hidayah, selamat dan bahagia: “Barang siapa menempuh jalan yang ditempuh oleh al-Junaid yang merupakan salah seorang pakar tashawwuf dan ma’rifah, maka ia benar-benar telah mendapat hidayah, selamat dan bahagia.”

Selain Imam al-Junaid al-Baghdadi, Ibn Taimiyah juga memuji dan membela para Syaikh tarekat lainnya, seperti: Abu Yazid al-Busthami, Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, dan bahkan juga Imam al-Ghazali. Tentang Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya Ibn Taimiyah menggambarkannnya sebagai berikut:

“Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani dan syaikh tarekat seperti beliau merupakan syaikh yang paling gigih memerintahkan menetapi syari’ah, perintah dan larangan, serta mengedepankan agar meninggalkan keinginan dan kehendak nafsu, karena kesalahan dalam berkehendak dilihat dari segi kehendak itu sendiri hanya terjadi dari sisi hawa nafsu ini. Beliau memerintahkan seorang salik (murid yang menempuh suluk/perjalanan menuju Allâh Swt) agar tidak memiliki sama sekali kehendak yang bersumber dari hawa nafsu melainkan ia berkehendak sesuai dengan yang dikehendaki Allâh ‘azza wa jalla.”

***

Penulis: Para santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!