Kisah Sufi Unik (2): Al-Mu’anisi Bernazar Tidak Makan Daging Gajah

Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Hilyatul Auliya’ pernah menyebutkan bahwa banyak sekali penduduk masyriq (timur) yang melakoni laku sufi. Orang-orang masyriq itu lalu disebutnya dengan julukan “Syumuusu ahli al-Masyriq“, Mentari-Mentari Penduduk Timur. Salah satu dari sekian banyak “Syumuusu ahli al-Masyriq” ini adalah Syekh Al-Mu’anisi.

Al-Mu’anisi juga dikenal dengan Abu Abdillah al-Qalanisi. Dalam kitab Hilyatul Auliya, Syekh Abu Nua’im tidak menjelaskan secara rinci biografi al-Mu’anisi, namun jika merujuk pada istilah “Syumuusu ahli al-Masyriq” maka sudah pasti al-Mu’anisi ini merupakan penduduk wilayah Arab Masyriq, yang meliputi; Arab Saudi, Irak, Kuwait, Libanon, Mesir, Oman, Palestina, Somalia, Sudan, Suriah, UEA, Yaman, dan Yordania.

Penulis tidak akan memperpanjang ihwal biografi al-Mu’anisi, namun kali ini akan menceritakan ulang kisah al-Mu’anisi yang bernazar tidak akan makan daging gajah. Kisah ini termaktub dalam Hilyatul Auliya jilid 10. Begini kisahnya:

Alkisah, al-Mu’anisi ini masyhur dengan sifat jujur dan selalu menepati janji. Suatu ketika al-Mu’anisi pernah menempuh perjalanan yang mengharuskan ia menyeberangi lautan dengan menggunakan kapal. Tentunya al-Mu’anisi tak sendirian, dalam kapal itu juga ada beberapa orang yang hendak menyeberang.

Tanpa disangka sebelumnya, tiba-tiba badai kencang menerpa kapal yang al-Mu’anisi tumpangi. Sontak saja beberapa penumpang di dalam kapal panik tak karuan. Beberapa dari mereka merapalkan doa dan melontarkan nazar seraya berharap keselamatan kepada Allah. Al-Mu’anisi yang masyhur dengan ketepatannya dalam menepati janji lantas didesak untuk bernazar. Janji saja ditepati apalagi nazar.

“Wahai al-Mu’anisi! Kami semua telah bernazar kepada Allah seraya meminta keselamatan, maka bernazarlah engkau agar diberikan keselamatan,” desak beberapa orang kepada al-Mu’anisi.

“Aku tak memiliki apapun untuk nazarku,” ujar al-Mu’anisi yang memang hidupnya serba kekurangan.

Namun beberapa dari penumpang kapal itu terus saja mendesak al-Mu’anisi untuk bernazar.

“Ya sudah ya sudah, aku bernazar jika Allah membebaskan dan menyelamatkanku dari badai ini, maka aku bernazar tak akan memakan daging gajah,” al-Mu’anisi berikrar.

“Nazar macam apa yang kau ucapkan? Apakah ada orang yang memakan daging gajah?” tanya beberapa orang keheranan.

“Demikianlah yang ada dalam batinku dan Allah menuntunku untuk mengucapkannya,” al-Mu’anisi memberi pemahaman.

Badai yang begitu besar memecah belah perahu, al-Mu’anisi dan beberapa penumpang kocar-kacir. Mereka terdampat. Namun kesemuanya berhasil selamat dan melipir di tepi pantai. Al-Mu’anisi dan beberapa penumpang terdampar berhari-hari tanpa merasakan makanan sedikit pun.

Ketika mereka semua duduk-duduk dengan rasa lapar yang sudah tak tertahan, tiba-tiba datang seekor anak gajah. Mereka pun lalu memburu dan menyembelih anak gajah itu. Mereka pun lantas menyantapnya dan lalu menawarkannya kepada al-Mu’anisi. Al-Mu’anisi lalu berkata, “Aku telah bernazar dan berjanji kepada Allah untuk tidak memakan daging gajah.”

“Sudahlah Al-Mu’anisi, kita semua dalam keadaan terdesak, dan kau boleh membatalkan nazarmu itu karena keterdesakan ini,” ujar beberapa orang memberikan penjelasan.

Namun al-Mu’anisi yakin kalau selamatnya ia dari terpaan badai lantaran nazar yang ia lakukan, dan ia pun harus memegang teguh nazar itu di hadapan Allah. Al-Mu’anisi pun mengabaikan ajakan orang-orang, dan tetap menjalankan nazarnya. Sementara orang-orang tetap saja melahap daging gajah itu hingga mereka kenyang dan akhirnya tertidur.

Ketika semua orang tertidur pulas, sementara al-Mu’anisi masih terjaga dan merasakan lapar yang begitu sangat, tetiba datang induk gajah yang mencari anaknya melalui jejak kaki si anak. Si induk gajah mengendus-endus setiap jejak anaknya, sepertinya si induk gajah mengenal betul bau tubuh dari anaknya. Induk gajah akhirnya menemukan belulang anaknya.

Tak berhenti sampai di situ, indra penciuman sang induk gajah lalu mengantarkannya pada gerombolan orang-orang yang tertidur pulas. Induk gajah itu lalu mengendus satu persatu orang-orang itu. Setiap kali ia mencium aroma anaknya pada setiap orang itu, induk gajah itupun lantas menginjaknya lalu membunuhnya. Hingga akhirnya terbunuhlah semua orang yang memakan anak gajah tadi, kecuali al-Mu’anisi yang memang tak memakan anak gajah itu dan sang induk tak mencium aroma anaknya pada tubuh al-Mu’anisi.

Kini tersisa al-Mu’anisi dan induk gajah.

Si induk gajah lalu mendekat kepada Al-Mu’anisi, lalu memutar-mutar ekornya dan berisyarat dengan belalainya, seakan-akan ia menyuruh Al-Mu’anisi untuk menaiki punggungnya. Namun al-Mu’anisi diam saja. Si induk gajah lagi-lagi melakukan isyarat itu, kini al-Mu’anisi mengerti bahwa si induk gajah menginginkan ia agar menaiki punggungnya. Naiklah al-Mu’anisi di atas punggung induk gajah itu.

Malam pun tiba, induk gajah lalu membawa al-Mu’anisi ke suatu tempat di mana terdapat banyak tumbuh-tumbuhan dan kerumunan orang. Kemudian si induk gajah menekuk kakinya, sebagai isyarat untuk turun. Al-Mu’anisi pun turun di tempat itu. induk gajah itu lalu pergi dengan langkah yang begitu cepat.

Saat memasuki pagi, al-Mu’anisi melihat sekitarnya banyak sekali tetumbuhan. Orang-orang yang merasa asing dengan al-Mu’anisi lalu membawa al-Mu’anisi untuk dihadapkan kepada raja. Dengan bantuan penerjemah raja, al-Mu’anisi menceritakan ihwal kejadian yang menimpanya.

Orang-orang terheran dengan cerita al-Mu’anisi, karena jarak pantai menuju dengan tempat mereka harusnya ditempuh dalam waktu delapan hari, namun si induk gajah membawa al-Mu’anisi dalam waktu hanya semalam saja.

Akhirnya, untuk sementara waktu al-Mu’anisi tinggal bersama orang-orang itu, dan selang beberapa hari kemudian al-Mu’anisi diantar pulang kembali ke tempat asalnya. Wallahu A’lam.

***

Penulis: MUKHAMMAD LUTFI

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!