Pada dasarnya pengakuan dosa dengan memohon ampun kepada Allâh SWT merupakan perbuatan taubat. Karena secara harfiah taubat adalah rujû‘ (kembali). Sedangkan secara istilah, taubat adalah kembali dari ucapan dan perbuatan yang buruk menuju ucapan dan perbuatan yang baik.
Firman Allâh SWT;
يٰآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا. (التحريم: ٨)
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allâh dengan taubat yang semurni-murninya, (Q.S. at-Tahrîm: 08).
Berikut ini adalah macam-macam taubat;
فَالتَّوْبَةُ وَهِيَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: تَوْبَةُ الْعَامِّ وَهِيَ مِنَ الذُّنُوْبِ وَالسَّيْئَاتِ، تَوْبَةُ الْخَاصِّ وَهِيَ أَنْ يُخَلِّيَ قَلْبَهُ مِنْ مَعْرِفَةِ مَا سِوَى الله، وَتَوْبَةُ اْلأَخَصِّ وَهِيَ أَنْ تَسْتَغْرِقَ رُوْحَهُ بِمَحَبَّةِ اللهِ
لَابِمَحَبَّةِ غَيْرِ اللهِ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 76 )
Taubat terbagi menjadi tiga golongan, yaitu;
(1) Taubat orang ‘awâm yaitu taubat dari dosa dan keburukan,
(2) Taubat orang khâsh adalah mengosongkan hatinya dari ma‘rifat selain Allâh SWT, dan
(3) Taubat orang akhâsh adalah dengan menenggelamkan ruhnya dalam mahabbah (cinta) Allâh SWT, bukan mahabbah selain-Nya, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).
Pembagian-pembagian tersebut didasarkan pada maqam (tingkatan-tingkatan tertentu). Orang ‘awâm adalah orang biasa pada umumnya. Sedangkan orang khâsh ada yang menyebutkan bahwa ini adalah tingkatan para ‘Ulama’, dan para wali (kekasih) Allâh SWT, dan orang akhâsh atau akhâshshul khâsh adalah tingkatan bagi para Nabî dan RAsûl.
Mengenai syarat-syarat taubat dijelaskan sebagai berikut;
شُرُوْطُ التَّوْبَةِ: النَّدَمُ عَلَى مَا عَمِلَ مِنَ الْمُخَالَفَاتِ، وَتَرْكُ الزَّلَّةِ فِى الْحَالِ، وَالتَّصْمِيْمُ عَلَى أَنْ لَا يَعُوْدَ إِلَى مِثْلِ مَا عَمِلَ مِنَ الْمَعَاصِي. (الرسالة القشيرية، ص 92)
Syarat-syarat taubat adalah menyesali perbuatan yang jelek, meninggalkan perbuatan jelek seketika, membulatkan tekad (berniat) untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat. (Ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 92, lihat juga di dalam kitab Minahu as-Saniyah, halaman: 2).
Juga dijelaskan:
(وَشُرُوْطُ التَّوْبَةِ) عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثَةٌ: النَّدَمُ عَلَى مَا سَلَفَ، وَالتَّرْكُ فِى الْحَالِ، وَالْعَزْمُ عَلَى أَنْ لَايَعُوْدَ إِلَى مِثْلِ ذَلِكَ فِى الْمُسْتَقْبَلِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص 177-178).
Dan syarat taubat menurut golongan Ahlussunnah wal Jama‘ah ada tiga; menyesali perbuatan buruk yang telah berlalu, meninggalkan perbuatan buruk, dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan buruk tersebut di masa yang akan datang, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 177-178).
Selanjutnya diterangkan;
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: شُرُوْطُ التَّوْبَةِ ثَمَانِيَةٌ، الثَّلَاثَةُ الْمَذْكُوْرَةُ، وَالرَّابِعُ: أَدَاءُ مَظَالِمِ النَّاسِ وَحُقُوْقِهِمْ، وَالْخَامِسُ: قَضَاءُ مَا فَوْتَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ. وَالسَّادِسُ: إِذَابَةُ كُلِّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ بِالرِّيَاضَةِ وَالْمُجَاهَدَةِ. وَالسَّابِعُ: إِصْلَاحُ الْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ وَالْمَلْبُوْسِ بِجَعْلِهَا مِنْ جِهَّةِ الْحَلَالِ. وَالثَّامِنُ: تَطْهِيْرُ الْقَلْبِ مِنَ الْغِلِّ وَالْغَشِّ وَالْمَكْرِ وَالْحَسَدِ وَطُوْلِ اْلأَمَلِ وَغَيْرِهَا. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 178)
Sebagian ‘Ulama’ berkata: “Syarat-syarat taubat ada 8, yang tiga sudah disebutkan sebelumnya. Dan yang keempat, menerima aniaya manusia dan memenuhi hak-haknya. Kelima, meng-qadha’ kewajiban yang telah tertinggal. Keenam, menghilangkan setiap daging yang tumbuh dari baRAng haram dengan riyadhah dan mujahadah. Ketujuh, mencari makanan, minuman dan pakaian yang halal. Kedelapan, mensucikan hati dari tipu daya, rekayasa, hasud dan banyak beRAngan-angan, dan lain sebagainya”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 178).
Al-Haqq
Berikutnya adalah penjelasan lafadz-lafadz yang berlaku dikalangan ‘Ulama’ Sufi, antara lain:
اَلْـحَقُّ بِالْـحَقِّ لِلْحَقِّ, al-haq yang dimaksud adalah Allâh SWT dan di dalam keterangan tafsir Abû Shalih;
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءهُمْ …. ﴿المؤمنون : ٧١﴾
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka…, (Q.S. al-Mu’minun: 71).
Abû Sa‘îd menjelaskan, yang dimaksud kalimat tersebut di atas adalah mengenai hati seorang hamba yang bersemayam bersama al-haq dengan al-haq dan karena al-haq. Yaitu, al-Haq adalah Allâh SWT
مِنْهُ بِهِ لَهُ, yaitu dari Allâh SWT dengan Allâh SWT dan karena Allâh SWT Maksud dari kalimat tersebut adalah seorang hamba Allâh yang melihat amal perbuatanya dan disandarkan pada dirinya sendiri, maka ketika hatinya sudah dipenuhi dengan cahaya ma‘rifat, dia akan tahu bahwa semua perkara itu dari Allâh SWT, berdiri dengan izin Allâh SWT, diketahui karena Allâh SWT, dan dikembalikan pada Allâh SWT hal inilah yang singgah di hati hamba Allâh SWT dalam suatu waktu, kemudian timbul dalam hatinya peRasaan ridha dan menyerahkan diri pada Allâh SWT dan sifat-sifat baik lainnya, maka hati menjadi jernih pada setiap tingkah laku dan waktunya, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 287).
وَقَالَ سَهَلْ: الْآيَاتُ لِلهِ، وَالْمُعْجِزَاتُ لِلْأَنْبِيَاءِ، وَالْكَرَامَاتُ لِلْأَوْلِيَاءِ، وَالْمَغُوْثَاتُ لِلْمُرِيْدِيْنَ، وَالتَّمْكِيْنُ لِأَهْلِ الْخُصُوْصِ، (طبقات الصوفية، ص: 171).
Sahal berkata: bahwa ayat-ayat adalah milik atau untuk Allâh SWT, mukjizat adalah untuk para Nabi, kaRamah untuk para wali, al-Maghûtsât (pertolongan) untuk orang-orang yang membutuhkan, dan al-Tamkîn (semangat untuk beribadah) bagi orang-orang tertentu, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 171).
Berikutnya penjelasan mengenai tiga ungkapan tentang pembagian ilmu ma‘rifat (ilmu pengetahuan).
وَالْعِبَارَاتُ الَّتِيْ تُطْلَقُ عَلَى الْعُلُوْمِ الْجَلِيَّةِ ثَلَاثَةٌ: عِلْمُ الْيَقِيْنِ، وَعَيْنُ الْيَقِيْنِ، وَحَقُّ الْيَقِيْنِ، (سراج الطالبين، ج 1، ص: 43).
Yakni Ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan ilmu-ilmu yang agung, yaitu; ‘Ilmul Yaqîn, ‘Ainul Yaqîn, dan Haqqul Yaqîn, (Sirâj al-Thâlibîn, juz 1 halaman: 43).
عِلْمُ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ مِنَ الدَّلِيْلِ الْعَقْلِيِّ. وَعَيْنُ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ بِالْمُشَاهَدَةِ. وَحَقُّ الْيَقِيْنِ هُوَ الْعِلْمُ الْحَاصِلُ مِنْ فَنَاءِ صِفَاتِ الْعَبْدِ وَبَقَاؤُهُ بِالْحَقِّ عِلْمًا وَشُهُوْدًا وَحَالًالَاعِلْمًا فَقَطْ، فَالَّذِيْ يَفْنَى مِنَ الْعَبْدِ عَلَى التَّحْقِيْقِ صِفَاتُهُ لَاذَاتُهُ، (السير والسلوك إلى ملك الملوك، ص: 39-40).
‘Ilmul yaqîn adalah ilmu yang didapatkan dari dalil ‘aqli (nalar). ‘Ainul yaqîn adalah ilmu yang didapatkan melalui musyahadah. Haqqul yaqîn adalah ilmu yang diperoleh dari fana’ (sirna)-nya sifat-sifat hamba, dan baqa’ (tetap)-nya hamba dengan Allâh SWT yang haqq secara ilmu, persaksian dan hal (anugrah Allâh), dan bukan dengan ilmu saja. Sedangkan yang sirna pada hakikatnya adalah sifat hamba, bukan dzat-Nya, (al-Sair wa al-Sulûk ila Malik al-Mulûk, halaman: 39-40).
Tentang penjelasan lebih lanjut mengenai tiga pembagian ilmu ini, bisa dibaca di Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 196.
Selanjutnya mengenai Ulul ‘Ilmî al-Qâimîn yang merupakan para pewaris nabi yang selalu berpegang teguh pada kitab-kitab Allâh SWT, bersungguh-sungguh mengikuti jejak Rasûlullah SAW, para sahabat, dan tabi‘in yang mengembara di jalan para wali dan orang-orang shalih. Mereka ada tiga kelompok; 1) ahli Hadis, 2) ahli fiqih, dan 3) ahli tasawuf.
Yang menjadi dasar keterangan tersebut adalah Hadis iman. Yakni, ketika malaikat jibril bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal pokok. Yaitu; 1) tentang Islâm dan Îmân, 2) Ihsân lahir batin, dan 3) Haqîqat. Islâm itu dhahir, Îmân itu dhahir-batin, dan Ihsân itu Haqîqat dhahir batin. Hadis tersebut adalah;
اَلْإِحْسَانُ اَنْ تَعْبُدَاللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (أخرجه بخاري ومسلم وأبو داود وإبن ماجه)
“Ihsân ialah beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak mampu maka sesungguhnya Allâh melihatmu”.
Malaikat jibril membenarkan hal itu. Ilmu itu disertai dengan amal, amal itu disertai dengan ikhlas. Ikhlas ialah menghaRAp ridha Allâh SWT, kesimpulannya tiga kelompok di atas berbeda ilmu dan amalnya, tujuan dan deRajatnya memiliki keutamaan sendiri-sendiri, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 12).
Syariat dan hahekat
Berikutnya adalah penjelasan tentang syarî‘at;
فَالشَّرِيْعَةُ هِيَ: إِصْلَاحُ الْـجَوَارِحِ الظَّاهِرَةِ، وَهِيَ تَدْفَعُ إِلَى الطَّرِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ إِصْلَحُ السَّرَائِرِ الْبَاطِنَةِ، وَهِيَ أَيْضًا تَدْفَعُ إِلَى الْـحَقِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ كَشْفُ الْحِجَابِ وَمُشَاهَدَةُ الْأَحْبَابِ مِنْ دَاخِلِ الْحِجَابِ، فَالشَّارِيْعَةُ أَنْ تَعْبُدَهُ، وَالطَّارِيْقَةُ أَنْ تَقْصِدَهُ، وَالْـحَقِيْقَةُ أَنْ تَشْهَدَهُ.
Syarî‘at adalah memperbaiki organ-organ tubuh secara lahir, dan syari’at merupakan jalan menuju tarekat, yang mana tarekat adalah usaha untuk memperbaiki batiniyah, dan tarekat merupakan pengantar menuju Haqîqat, yang dapat membuka penghalang (hijab), dan melihat (musyahadah) dengan kekasih. Pendek kata, syarî‘at adalah beribadah (menghamba) kepada-Nya, sedangkan tarekat adalah menjadikan Allâh sebagai satu-satunya tujuannya, dan haqîqat adalah kemampuan menyaksikan Allâh SWT dengan mata hatinya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 27).
Pada dasarnya syarî‘at dan haqîqat tidak bertentangan, karna haqîqat adalah asrâru al-rubûbiyah (rahasia ketuhanan) dan untuk bisa mencapainnya harus melalui tarekat. Yaitu dengan menjalankan syarî‘at Islâm dengan keteguhan hati. Maka barangsiapa yang menjalankan cara (tarekat) seperti itu maka dia akan sampai pada haqîqat, sehingga haqîqat menjadi pamungkas atau pemuncak dari tujuan syarî‘at. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Junaidî ketika beliau ditanya tentang haqîqat, beliau menjawab;
مَا بَلَغَ أَحَدٌ دَرَجَةَ الْحَقِيْقَةِ إِلَّا وَجَبَ عَلَيْهِ التَّقَيُّدُ بِحُقُوْقِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَحَقِيْقَتِهَا، وَصَارَ مُطَالِبًا بِآدَابٍ كَثِيْرَةٍ، لَمْ يَطَالِبِ اللهُ بِهَا غَيْرَهُ.
Seseorang tidaklah sampai pada deRajat Haqîqat, kecuali dia harus menjalani penghambaan dengan sepenuh hati. Sehingga dia menjadi orang yang dipenuhi dengan adab, dan Allah SWT tidak mencari dengan jalan selain itu, (al-Intishâr Lil Auliyâ’ al-Akhyâr, halaman: 126).
Berikut ini adalah tamtsil antara syarî‘at dan haqîqat;
الشَّرِيْعَةُ عَمَلُ الْـجَوَارِحِ، وَالْـحَقِيْقَةُ مَعْرِفَةُ الْبَوَاطِنِ، فَالشَّرِيْعَةُ أَنْ تَعْبُدَهُ، وَالْـحَقِيْقَةُ أَنْ تُشَاهِدَهُ، فَالشَّرِيْعَةُ مِنْ وَظَائِفِ الرُّوْحَانِيَّةِ، الشَّرِيْعَةُ قُوَّةُ الْبَشَرِيَّةِ، وَالْـحَقِيْقَةُ قُوَّةُ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَمَا نَقْضُ مِنْ أَحْدِهِمَا يُزَادُ فِي الْآخِرِ.
Dengan demikian, syarî‘at merupakan amal perbuatan organ-organ tubuh zhahir. Sedangkan haqîqat adalah ilmu pengetahuan tentang batin. syarî‘at adalah suatu amaliah/pekerjaan dimana seorang hamba menyemba Allâh SWT sedangkan haqîqat adalah amaliah/pekerjaan yang dilakukan oeh seorang hamba dan bagaimana ia melihat/menyaksikan Allâh SWT dengan mata batinnya. Syarî‘at juga merupakan bagian dari fungsi spiritual dan penguat organ tubuh (jasmani), sementara haqîqat adalah penguat ruh (rohani) dan keduanya tidak akan mengurangi antara yang satu dengan yang lainnya, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 331).
Sesunguhnya perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama’ tentang ilmu zhahir itu rahmat dari Allah Swt, karena orang yang membenarkan akan membantah orang yang menyalahkan. dan berusaha menjelaskan (kepada semua orang) tentang kesalahan orang yang menyalahkan, tentang perbedaan pendapat untuk memperebutkan kebenaran dalam masalah agama. Sehingga mereka menghindari hal itu. Jika tidak demikian maka manusia akan rusak karena hilangnya esensi agama.
Begitu juga dengan perbedaan pendapat dikalangan ‘Ulama’ Ahli Haqîqat itu juga rahmat dari Allâh SWT, dikarenakan masing-masing berbicara pada masanya, menjawab pertanyaan dilihat dari sisi keadaan batinnya, memberikan isyarat yang ditimbulkan oleh pengertian yang muncul dalam hati sebagai akibat dari istiqamah dalam ketaatan, mereka adalah ahli berbuat ketaatan, mampu menguasai hatinya, sebagai murid, dan Ahli Haqîqat, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 102).