Sabilus Salikin (30): Pengertian Tarekat

وَأَمَّا الْفَرْقُ بَيْنَ الشَّرِيْعَةِ وَالطَّرِيْقَةِ فَقَالَ الصَّاوِي، وَالشَّرِيْعَةُ الْأَحْكَامُ الَّتِيْ شَرَعَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالْمَكْرُوْهَاتِ وَالْجَائِزَاتِ. وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالْوَاجِبَاتِ وَالْمَنْدُوْبَاتِ وَالتَّرْكُ لِلْمَنْهِيَّاتِ وَالتَّخَلِّي عَنْ فُضُوْلِ الْمُبَاحَاتِ وَالْأَخْذُ بِالْأَحْوَطِ كَالْوَرَعِ وَبِالرِّيَاضَةِ مِنْ سَهَرٍ وَجُوْعٍ وَصُمْتٍ

Perbedaan antara syari’at dan tarekat, dikatakan oleh al-Shawa, syari’at adalah hukum-hukum yang berasal dari Allah ‘azza wa jalla yang disampaikan oleh Rasalullah saw, tentang hal-hal yang wajib dilakukan, yang haram, yang makruh, dan yang jaiz.

Tarekat adalah melaksanakan hal-hal yang wajib dan yang mandzub (sunnah), meninggalkan hal-hal yang dilarang, tidak melakukan hal-hal yang mubah yang tak berguna, memilih perilaku yang paling hati-hati seperti wira’i, dan memilih riyadhah seperti tidak banyak tidur pada malam hari, berlapar-lapar, dan diam (tidak berbicara tanpa guna), (Ahkamul Fuqaha’).

وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ السَّيْرَةُ الْمُخْتَصَّةُ بِالسَّالِكِيْنَ إِلَى اللهِ تَعَالَى مَعَ قَطْعِ الْمَنَازِلِ وَالتَّرَاقِي فِى الْمَقَامَاتِ

Tarekat adalah cara tertentu yang dilakukan oleh para pelaku suluk menuju kepada Allah SWT dengan menempuh beberapa pos dan peningkatan maqâm demi maqam, (Jami’ul Ushul, halaman: 335).

Ilmu Tarekat semuanya bermazhab empat

وَأَحْسَنُ الْمَذَاهِبِ فِي الْأَحْكَامِ مَذْهَبُ الْفُقَهَاءِالْمَرْجُوْعِ إِلَيْهِمْ، كَالْأَئِمَّةِ الْأَرْبِعَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 89)

Sebaik-baik bermazhab dalam hukum adalah bermazhab kepada para fakaha sebagaimana al-imam al-arba’ah (imam empat madzhab), (al-Futuhat al-Ilahiyyah fi Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 89).

هٰذِهِ الطَّرِيْقَةُ مَوْرُوْثَةٌ، أَخْذُهَا عَارِفٌ عَنْ عَارِفٍ إِلَى سَيِّدِ الْعَارِفِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلْنَذْكُرْ سِلْسِلَتَنَا تَبَرُّكًا وَاقْتِدَاءً

Tarekat ini adalah warisan yang diwariskan dari orang ‘arif (makrifat), bersumber dari orang ‘arif, sampai kepada Sayyidil ‘arifin Nabi Muhammad SAW yang menjadi penghulu para ‘arifin, yang menyebutkan silsilahnya untuk tabrrukan dan iqtida’ (mengikuti perilaku mereka), (al-Futuhat al-Ilahiyyah fî Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 271).

إِنَّ الْعَارِفَ لَا يَلْزَمُ حَالَةً وَاحِدَةً, إِنَّمَا يَلْزَمُ رَبَّهُ فِي الْحَالَاتِ كُلِّهَا

Orang yang ‘arif (bijaksana) tidak hanya mengandalkan satu macam cara dalam menempuh jalan menuju hakikat, akan tetapi banyak cara yang dilakukan agar bisa mencapai tujuan yang dikehendaki (ma‘rifatullah), (Thabaqat as-Shafiyah, halaman: 34).

Wajib Mencari Guru yang Bisa Mengantarkan kepada Allah SWT

Wajib bagi salik untuk mencari seorang guru yang dapat mengantarkan dirinya kepada Allah SWT setelah mempelajari hal-hal yang wajib atau fardlu atau sesuatu yang dikhususukan untuk sebagian orang bukan untuk sebagian orang lain, dan sesungguhnya salikus shadiq adalah orang yang mengetahui keagungan sifat ketuhanan dan beberapa haq dalam tingkatan sifat ketuhanan terhadap semua makhluk dan hal tersebut mewajibkan bagi salik untuk selalu bersungguh-sungguh, tunduk dan rendah hati kepada Allah dan selalu mencintai Allah dan mengagungkannya dan selalu cenderung kepada Allah. Hatinya selalu cinta kepada Allah dan berpaling dari selain Allah SWT, (Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, halaman: 112).

وَهَلْ طَلَبَ الشَّيْخَ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ؟ فَيَجِيْبُ عَلَى كُلِّ فَرْدٍ أَنْ يَطْلُبَ مَنْ يُوْصِلُهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى بَعْدَ تَعْلِيْمِ الْفَرَائِضِ، (جواهر المعانى وبلوغ الأمانى، ص: 112)

Seorang guru (mursyid) memiliki kepandaian (mahir). Kemahiran atau kemampuan dalam suatu hal merupakan buah dari keluasan dan kedalaman keilmuannya, sedangkan yang disebut orang yang mahir adalah orang yang luas dan dalam ilmunya. Dalam hadis diterangkan;

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 117)

Orang yang mahir dalam membaca Alquran akan senantiasa bersama para malaikat safarah yang mulia”. Jadi, arti luas di sini adalah luas dalam hafalannya atau keilmuannya, (al-Futuhat al-Ilahiyyah fî Syarhi al-Mabahits al-Ashaliyyah, halaman: 117)

Dasar Salik dalam Bertarekat

Barangsiapa yang ingin bertarekat menuju Allah SWT, dan berperilaku mengikuti Rasulullah, menyerupai orang-orang salih dengan mendaki tangga-tangga mereka, maka salik wajib membersihkan ahlak-ahlak yang tercela (takhalli). Menghiasi akhlak dengan sifat-sifat keutamaan dan terpuji yang bisa mendekatkan kepada Allâh SWT Seperti tawaduk, sabar dan pemaaf (al-hilm) ridha terhadap yang terjadi, ikhlas dalam amal ibadah dan sifat-sifat iman yang bisa membawa salik naik ke tangga-tangga yang luhur.

Jika salik sudah berakhlak dengan hal tersebut, maka Allah SWT akan memanggilnya “Wahai Hambaku”, lalu salik menjawab “aku penuhi panggilan-Mu”, dengan bersunggguh-sungguh dan orang yang menyatakan kebenaran, semua itu di sandarkan kepada Allah SWT Hal inilah yang di maksud dengan ibadah yang khusus (ubudiyah al-khas), definisi ibadah (secara umum) adalah menyembah kepada Allah yang maha mengasihi yang melakukan pemaksaan kepada semua mahluk-Nya. Allah SWT Berfirman;

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمٰوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِى الرَّحْمٰنِ عَبْدًا ﴿مريم: 93﴾

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba, (Q.S. Maryam: 93).

Ubudiyah yang dimaksud pada ayat tersebut diharuskan kepada para kekasih (wali) Allah, maka ubudiyah ini senada dengan firman Allâh yang terdapat pada Surat al-Furqan ayat 63-68, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Juz 1 halaman: 05).

al-Qusyairi berkata: taubat itu derajat dari derajatnya para salikin, dan maqâm pertama dari maqam thalibin. Abu Ya‘qub Yusuf bin Hamdan as-Susi berkata: taubat adalah maqâm pertama dari beberapa maqam untuk menuju kepada Allah SWT, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islami, halaman: 119).

As-Syaikh Abu Thalib RA. berkata: “Seorang salik tidak akan bisa menjadi wali Abdal, sampai dia mengganti makna sifat ketuhanan dengan sifat kehambaan, mengganti akhlak setan dengan sifat orang mukmin, mengganti watak hewan dengan sifat para ahli ruhani yaitu beberapa dzikir dan ilmu. Jika sudah demikian, maka dia akan menjadi wali Abdal yang mendekatkan diri, (Syarh al-Hikam, juz 1, halaman: 30).

قَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فَلاَ يَكُوْنُ الْمُرِيْدُ بَدَلاً حَتَّى يَبْدُلَ بِمَعَانِي صِفَاتِ الرُّبُوْبِيَّةِ صِفَاتِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَأَخْلاَقَ الشَّيَاطِيْنِ بِأَوْصَافِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَطَبَائِعَ الْبَهَائِمِ بِأَوْصَافِ الرُّوْحَانِيِّيْنَ مِنَ اْلأَذْكَارِ وَالْعُلُوْمِ فَعِنْدَهَا يَكُوْنُ بَدَلاً مُقَرِّبًا، (شرح الحكم، ج 1، ص: 30).

***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!