Sabilus Salikin (31): Zikir (1)

Zikir merupakan rukunnya tarekat dan menjadi kuncinya haqîqat dan juga menjadi pedangnya para murid (salik) dan benderanya kewalian. Allah SWT berfirman:

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. (الأحزاب: ٤١)

Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, (Q.S. al-Ahzâb: 41).

فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ (النساء: 103)

Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, (Q.S. an-Nisâ’: 103).

Nabi SAW bersabda kepada Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Krw.:

عَلَيْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ فِى الْخَلْوَةِ

Berzikirlah selalu kepada Allah SWT dalam keadaan sendiri.

Jika seorang hamba hendak dijadikan sebagai kekasih-Nya, maka Allah SWT akan membukakan pintu zikir untuknya.

وَقاَلَ الشَّيْخُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخَرَازِ: إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنْ يُوَالِيَ عَبْدًا مِنْ عَبِيْدِهِ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ ذِكْرِهِ فَإِذَا اسْتَلَذَّ الذِّكْرَ فَتَحَ عَلَيْهِ بَابَ الْقُرْبِ ثُمَّ رَفَعَهُ إِلَى مَجَالِسِ اْلأُنْسِ ثُمَّ جَعَلَهُ عَلَى كُرْسِيِ التَّوْحِيْدِ ثُمَّ رَفَعَ عَنْهُ الْحِجَابَ وَأَدْخَلَهُ دَارَ الْفُرْدَانِيَّةِ وَكَشَفَ لَهُ حِجَابَ الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ وَإِذَا وَقَعَ بَصَرُهُ عَلَى الْجَلاَلِ وَالْعَظَمَةِ بَقَى بِلاَ هُوَ فَحِيْنَئِذٍ يَصِيْرُ الْعَبْدُ زَمَنًا فَانِيًا فَوَقَعَ فِيْ حِفْظِهِ وَبَرِئَ مِنْ دَعَاوِى نَفْسِهِ. (تنوير القلوب، ص 510)

Syaikh Abu Sa‘îd al-Kharâz menyatakan bahwa ketika Allah menginginkan seorang hamba untuk dijadikan kekasih-Nya, maka akan dibuka baginya pintu zikir. Dan ketika dia telah merasakan nikmat zikir, maka akan dibuka baginya kedekatan dengan Allah. Selanjutnya, dia akan diberi ketenteraman, dan dijadikan baginya ketauhidan yang kuat, dihilangkan pula darinya tabir-tabir Allah, dia dimasukkan dalam wilayah kesendirian (bersama Allah), dibuka baginya hijab keagungan Allah. Dan ketika mata batinnya telah sampai pada keagungan tersebut, maka dia menyatu dengan Allah. Ketika inilah, dia menjadi lumpuh dan hancur, dia berada dalam penjagaannya, dan terbebas dari segala bisikan nafsunya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 510).

Mengenai atsar zikir dijelaskan bahwa apa yang dirasakan oleh seseorang ketika berzikir;

وَتِلْكَ النَّتِيْجَةُ إِنَّمَا هِيَ الذَّهُوْلُ عَنْ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَالْخَوَاطِرِ الْكَوْنِيَّةِ وَاْلاِسْتِهْلاَكِ فِى الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ الذَّاتِيَّةِ فَيَظْهَرُ فِى الْقَلْبِ أَثَرُ تَصَرُّفَاتِ تِلْكَ الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ وَهُوَ تُوَجُّهُ الْقَلْبِ إِلَى الْحَقِّ اْلأَقْدَسِ بِالْمَحَبَّةِ الذَّاتِيَّةِ . وَاْلأَثَرُ مُتَفَاوِتٌ بِحَسَبِ اْلاِسْتِعْدَادِ وَهُوَ إِعْطَاءُ اللهِ تَعَالَى أَرْوَاحَ عِبَادِهِ قَبْلَ تَعَلُّقِ اْلأَرْوَاحِ بِاْلأَبْدَانِ ثُمَّ تَشَرَّفَهُ مَا شَاءَ مِنَ الْقُرْبِ الذَّاتِيّ اْلأَزَلِيّ، فَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ الْغَيْبَةُ أَيِ الذَّهُوْلُ عَمَّا سِوَى الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَقَطْ، وَبَعْضُهُمْ يَكُوْنُ أَوَّلُ مَا يَحْصُلُ لَهُ السَّكَرُ أَيِ الْحَيْرَةُ وَالْغَيْبَةُ مَعًا وَبَعْدَ ذَلِكَ يَحْصُلُ لَهُ وُجُوْدُ الْعَدَمِ وَهُوَ فَنَاءُ وُجُوْدِ الْبَشَرِيَّةِ وَبَعْدَهُ يَتَشَرَّفُ بِالْفَنَاءِ أَيِ اْلاِسْتِهْلاَكِ فِي الْجَذْبَةِ اْلإِلَهِيَّةِ، وَإِنْ لَمْ تَظْهَرْ لَهُ النَّتِيْجَةُ عِنْدُ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الْقُصُوْرِ فِى الشُّرُوْطِ. (تنوير القلوب، 515)

Hasil dari natijah (berzikir dengan wuquf qalbi) adalah lupa dari wujud manusiawi dan semua bisikan alam, tenggelam dalam tarikan dzat ilahi. Jika sudah demikian, maka tampaklah bekas perubahan dari tarikan ilahi itu, yaitu menghadapnya hati pada dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci dengan rasa cinta kepada-Nya. Bekas (hasil) zikir itu berbeda-beda tergantung pemberian Allah, yaitu sebuah pemberian Allah pada ruh-ruh hamba-Nya, sebelum ruh-ruh itu dihubungkan dengan jasadnya, kemudian Allah memuliakannya dengan qurb (kedekatan) yang bersifat dzat yang azali. Di antara mereka (para Sâlik), pertama kali yang mereka capai adalah ketiadaan selain Allah, yaitu lupa dari selain Allah. Sebagian yang lain, yang pertama mereka capai adalah mabuk, bingung, dan ketiadaan selain Allah secara bersamaan, yang selanjutnya akan tercapai hilangnya wujud sifat kemanusiaan (fana’), lalu mereka mendapatkan kemuliaan fana’, yaitu leburnya diri dalam tarikan-tarikan ilahi. Jika seorang sâlik belum tampak baginya hasil-hasil tersebut, maka dia masih belum memenuhi syarat-syarat zikir (dengan benar), (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 515).

Berikut ini adalah penjelasan atsar zikir menurut pandangan beberapa ulama’;

al-Sukrî, atsar zikir adalah suatu keadaan yang berada diantara maqâm mahabbah kepada Allah dan maqâm fana’, ketika seorang hamba sudah terbuka hatinya dengan sifat kesempurnaan maka seorang hamba akan berhasil dan sukses meraih derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah) seperti halnya kaRamahnya Imam Syibli: seandainya sirri-ku (rûh-ku) melihat ‘arsy-nya Allah dan kekuasaannya Allah, maka niscaya rûh-ku akan terbakar. Secara umum sesungguhnya bagi orang yang cinta kepada Allah setelah hangus terbakarnya semua satir (penghalang) maka dia akan masuk pada derajat sukr (mabuk cinta kepada Allah).

Al-Syathh adalah gerakan-gerakan yang samar bagi orang yang sudah menemukan Allah ketika kuatnya penemuan kepada Allah, ibarat air yang banyak yang mengalir pada tempat yang sempit, maka air tersebut akan melober.

Zawal al-Hijab adalah hilang penghalang antara hamba dan tuhannya, sebagaimana komentar Abu Yazid al-Busthami: Allah mempunyai beberapa hamba ahli ibadah seandainya surga dan segala hiasannya di nampakkan kepadanya maka dia akan berteriak ketakutan dan lari dari surga seperti berteriak dan ketakutannya penduduk neraka dari neraka. Karena surga adalah penghalang baginya untuk bertemu kepada Allah.

Allah itu inti sari bagi ahli ibadah, jika mereka melihat Allah di surga terhalang satu jam olehnya maka mereka minta tolong untuk keluar dari surga seperti ahli neraka minta tolong untuk keluar dari neraka.

Gholabah al-Syuhûd adalah sebuah tempat yang tertinggi, yang tidak ada tempat setelahnya tempat tersebut, suatu masa setelahnya masa tersebut (yang tidak bisa di hitung dan tidak bisa direkayasa adanya), (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 246-257).

Selanjutnya adalah pembagian atau macam-macam zikir dalam pelaksanaannya. 1) Zikir dengan lisan yang memiliki pahala sepuluh kebaikan, 2) Zikir dengan hati memiliki tujuh ratus kebaikan, dan 3) Zikir yang pahalanya tidak dapat dihitung. Yakni, memenuhi hati dengan mahabah dan malu kepada Allah. Sahal bin Abdullah berkata: ”tidak semua orang orang yang mengaku itu memang berzikir”. Beliau ditanya tentang zikir lalu beliau menjawab zikir itu mewujudkan ilmu dengan menyakini bahwa Allah itu menyaksikanmu, maka kamu melihatnya dengan hatimu dan dekat darimu dan kamu malu kepadanya, kemudian berperangailah pada jiwa dan tingkah lakumu.

Sementara itu, ada dua cara untuk ber-zikir. 1) Dengan membaca tahlil, tasbih, dan membaca Alquran, 2) Menggerakkan hati sesuai dengan syarat-syarat mengesakan Allah SWT, Nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan menyebarkan kebaikan-Nya, melestarikan taqdir-Nya atas semua makhluk, maka zikirnya orang yang mengharap Rahmat itu atas janji Allah SWT dan zikirnya orang yang takut kepada Allah itu atas dasar ancaman Allah SWT. Dan zikirnya orang yang tawakkal itu atas dasar kecukupan rizki yang diberikan oleh Allah SWT, dan zikirnya orang yang mencintai Allah itu atas dasar diluaskan nikmat. Imam as-Syibli mengatakan bahwa hakikat zikir itu adalah lupanya orang yang ber-zikir yakni lupanya segala sesuatu selain Allah SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 200).

عَنْ أَبِي ذَرْ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَعِّدْنِيْ مِنَ النَّارِ، قَالَ: إِذَا عَمِلْتَ سَيِّـئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً عَلَى أَثْرِهَا فَإِنَّهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ. مِنَ الْحَسَنَاتِ لَآإِلٰهَ إِلَّاالله؟ قَالَ: مِنْ أَكْبَرِ الْـحَسَنَاتِ

Diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari dia berkata “Wahai Rasûlullah, tunjukkanlah padaku satu amal yang bisa mendekatkanku ke surga dan bisa menjauhkanku dari neraka”. Rasûlullah bersabda: “Ketika engkau melakukan amal jelek maka lakukan amal kebaikan setelah melakukan amal jelek karena amal kebaikan pahalanya 10 kali amal jelek”. Kemudian aku bertanya kepada Rasûlullah, “Wahai Rasûlullah apa kebaikan mengucap لاإله إلاالله ” Rasûlullah menjawab, “ucapan itu merupakan kebaikan yang paling besar”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ juz 2 halaman: 361).

***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!