Artikel dari PPDAI: Renungan Tentang Perbedaan Hari Raya Islam di NKRI

بسم الله الرحمن الرحيم

1

Kaum muslimin Indonesia sangatlah wajar bila selalu banyak bersyukur kepada Allah

Dan sangat pantas untuk selalu berterima kasih

Serta mendukung langkah dan program pemerintah negara Republik Indonesia yang kita cintai.

Mengapa demikian ?

Karena atas karunia dan ridla Allah SWT.

Serta gigihnya perjuangan para ulama’ dan waliyullah dimasa lalu

INDONESIA, menjadi suatu negara bangsa dengan jumlah kaum musliminnya terbesar di dunia.

Namun walaupun populasi kaum muslimin yang besar itu

Atas jasa perjuangan para “FOUNDING FATHERS”

Indonesia tidak / bukan serta merta menjadi negara islam.

Hal itu karena kesadaran rakyat dan para pemimpinnya atas keberagaman yang sangat luas dari penduduk wilayah NKRI

Indonesia hanya akan menjadi negara besar bila mampu,

Menghimpun, mengayomi dan menjadi tempat mukim dan bernaungnya

Berbagai suku bangsa dengan berbagai adat istiadat, budaya dan AGAMA nya.

Maka jadilah kita sebagai negara PANCASILA.

Sayangnya di banyak kejadian justru kaum muslimin lah

Seringkali menunjukkan sikap kurang rukun pada saudaranya sesama muslim.

Bukti paling nyata adalah, adanya “banyak” perbedaan dalam merayakan hari raya kaum muslimin

Seperti, awal Ramadhan, Idul Fithrl dan Idul adha.

Hari raya Idul Fithri 1444H tahun 2023M ini konon sampai ada 4 hari berbeda dalam merayakannya.

Hari : Kamis, Jum’at, Sabtu dan Ahad yang kesemua hari tersebut di nyatakan sebagai tanggal 1 Syawal 1644H

Masing-masing kelompok / Ormas dan juga pemerintah menyatakan bahwa merekalah yang benar dalam penetapannya.

Sangat-sangat lah mengherankan, karena hal seperti ini

Tidak pernah dan tidak akan ada di negara-negara muslim lainnya. (Perlu diingat dan perlu menjadi catatan)

Diseantero jagat ini perbedaan hari raya hanya terjadi pada kawasan yang berbeda negara

Bukan dalam satu negara “BERDAULAT” seperti Republik Indonesia kita.

Negara dengan muslim terbesar dunia ini sudah pasti punya ahli agama dan ulama’ yang sangat banyak !

Jahil bodoh kah mereka semua ? Ataukah Ego serta nafsu yang telah merasuki jiwa

Sehingga tidak ada upaya untuk mendalami masalah agar hal yang sama tidak terulang setiap tahun.

Mari sama-sama kita letakkan kesombongan perkauman dan sama-sama belajar dengan niat dan hati bersih

Semoga Allah menurunkan Taufiq, Hidayah dan Inayah

Serta membuka mata bathin kita agar mampu mendapat pencerahan ilmu yang juga telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

2

Ada baiknya mari kita sama-sama pelajari ayat dan hadits yang memberikan informasi

Tentang penetapan waktu beribadah yang berkaitan dengan adanya peredaran bulan dan matahari

Ada cukup banyak ayat tentang hal tersebut diatas, salah satu diantaranya adalah penggalan pertama dari :

Surah Al Baqoroh : ayat 189.

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ

Artinya :

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit(hilal).

Katakanlah :” Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji “…….

Ayat tersebut sangat jelas menyatakan bahwa untuk pelaksanaan ibadah haji khususnya waktu wuquf di arofah,

Ditentukan dengan melihat hilal / bulan sabit sebagai penanda waktu masuknya tanggal 1 bulan dzulhijjah

Maka mengambil contoh pada penentuan hal tersebut diatas

Demikian pula cara yang dilakukan untuk penentuan tanggal 1 Ramadhon dan tanggal 1 Syawwal

Dengan kata lain penetapan awal bulan hijriyah dengan melihat terbitnya hilal,

Mempunyai landasan kuat pada firman Allah SWT.

Landasan kuat dalam hal penetapan tanggal 1 Ramadhan dipertegas lagi dengan adanya hadits Rasulullah, riwayat Bukhary – Muslim :

صوموا لرءيته و افطروا لرءيته فاغبي عليكم فاكملواعدة شعبان ثلاثين يوما

Artinya :

Berpuasalah ketika melihat bulan sabit dan berbukalah ketika melihat bulan sabit.

Apabila terhalang (bulan tsabit) maka genapkan lah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Dalam tatacara melihat terbitnya hilal dilakukan pengambilan sumpah oleh hakim agama kepada orang yang telah mengaku melihat hilal

Pengambilan sumpah tersebut dilakukan adalah,

Karena berkaitan dengan keabsahan dari pelaksanaan ibadah yang menyangkut banyak orang.

Tahapan berikutnya adalah, berita tentang seseorang yang telah melihat “hilal”

Harus disampaikan/dilaporkan kepada pemegang otoritas kedaulatan wilayah kaum muslimin

Untuk negara Republik Indonesia, adalah pemerintah yang syah yang menangani masalah agama.

Dalam hal ini adalah pihak Kementrian Agama RI.

Oleh Kemenag diadakanlah sidang penetapan yang disebut “Sidang Isbat”

Sampai disini ada baiknya kita berpindah dulu dengan kebolehan seseorang berpegang pada perhitungan (hisab)

3

Sebelum kita bahas kebolehan berpegang pada ilmu hisab dalam menetapkan bulan-bulan ibadah

Oleh sebab kami sebagai penulis hanya ummat biasa

Kurang pantas rasanya apabila tidak merujuk pada pendapat ulama’

Dan agar jangan sampai tulisan ini hanya menampilkan pendapat pribadi yang pasti dapat diwarnai oleh nafsu syetan

Maka kami akan merujuk pada pendapat para guru-guru kami.

Serta juga pendapat para ulama’ tingkat nasional, antara lain :

  1. Al Habib Ja’far bin Abdul Qodir Al Haddad
  2. KH. Marzuki Mustamar – Malang
  3. H. Abdul Malik Karim Amrullah ( Buya HAMKA)

Khusus untuk pendapat beliau bertiga yang kami sebutkan diatas dapat di teliti ulang pada channel Utube atau Google.

Baiklah, dengan mengucapkan :

بسم الله الرحمن الرحيم

Mari kita pelajari bersama tentang kebolehan dan meyakini masuknya bulan

Berdasarkan pengetahuan “Ilmu Hisab”

Banyak ulama’ yang menyatakan bahwa bagi mereka yang Allah berikan kemampuan dalam ilmu falak,

Khususnya dalam bidang ilmu hisab/perhitungan waktu

Serta mempunyai keyakinan yang mantap atas upaya perhitungannya.

Maka ” B O L E H ” mengawali bulan-bulan ibadah (Ramadhan-Syawwal-Dzulhijjah)

Sesuai atau berdasarkan keyakinannya tersebut

Khususnya untuk DIRI dan/atau KELOMPOKNYA.

Guru kami Mu’allim Mahbub Naiman Allahuyarham – Kampung Bali – Jakartapusat.

Dalam sebuah sarasehan pernah menyatakan bahwa :

Dalam penetapan waktu ibadah seperti Ramadhan – Idul Fithri – dan Idul Adha

Selalu ada kaitan dan sangkut pautnya dengan penguasa(Imam) wilayah kaum muslimin

Hal tersebut karena adanya Hak “Ikhbar” yang dikuasakan kepada pimpinan ummat/Imam wilayah

Dalam halnya Republik Indonesia hak ikhbar tersebut dikuasakan kepada Kementrian Agama RI.

Lalu apakah yang dimaksud dengan hak “Ikhbar”

Secara kebahasaan artinya menyampaikan kabar (jawa : woro-woro)

Sedangkan maknanya adalah kelanjutan dari diadakannya sidang Isbat

Yang didahului pelaksanaan sumpah bagi orang yang melihat hilal

Langkah selanjutnya adalah penyampaian berita kepada kaum muslimin

Bahwa keesokan hari sudah berlebaran atau masih berpuasa menggenapi Ramadhan menjadi 30 hari.

Hak Ikhbar ini menjadi kesepakatan muslim dunia hanya boleh dilaksanakan

Atau dipegang oleh penguasa tiap2 negara islam maupun non islam yang ada kaum musliminnya.

Itulah sebabnya mengapa seluruh negara islam di dunia tidak pernah ada ribut-ribut beda hari raya, kecuali negeri tercinta kita Indonesia.

Tentunya karena masyarakat kita kurang mematuhi ataupun kurang memahami tentang adanya Ikhbar tersebut

Lalu bagaimana kebolehan orang yang berpegang pada ilmu hisab serta berbeda hari raya dengan pemerintah.

Hakikatnya mereka tetap boleh berbeda

Karena kebebasan pelaksanaan peribadatan di REPUBLIK INDONESIA telah di jamin oleh undang-undang

Namun tentunya walaupun demikian tetap ada hal-hal yang tidak boleh/bisa dilepaskan haknya dari penguasa atau pemerintah

Dalam hal ini adalah hak melakukan IKHBAR.

Hal tersebut diantara maksud dan tujuannya adalah untuk menjaga PERSATUAN UMMAT.

Habib Ja’far Al Haddad maupun KH. Marzuki Mustamar pun menyampaikan hal yang sama yaitu, silakan berbeda tapi tidak ajak-ajak ataupun woro-woro

Karena ajak-ajak/woro-woro itu adalah hak dan kewajiban pemerintah

Masalah perbedaan hari raya ini seringkali dibawa menjadi seolah-olah

Masalah pertentangan antara dua Ormas Islam, yaitu NU dan Muhammadiyah.

Menurut pendapat kami itu adalah kesalahan besar.

Karena Ormas Islam di Indonesia bukan hanya NU & Muhammadiyah

Masih ada : Nahdlatul Wathon (NW), Jam’iyyatul Washliyyah, PERTI, PERSIS, PITI dll.

Mereka semua adalah bagian dari realitas perjuangan kaum muslimin di NKRI

Dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama.

Maka seharusnya kaum muslimin Indonesia tidak perlu lagi

Merasa terkotak-kotak saya NU, Muhammadiyyah atau Persis, NW, Perti dan lain-lainnya

Tapi kita semua adalah kaum muslimin Indonesia yang sudah sewajarnya taat dan patuh kepada Pemerintah Indonesia,

Khususnya dalam pelaksanaan ikhbar.

Sidang Isbat yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama

Sesungguhnya adalah bukti kehadiran Pemerintah RI pada masalah kaum muslimin Indonesia sebagai agama terbesar di Indonesia

Maka sangat tidak pantas dan tidak pada tempatnya,

Bila pelaksanaan sidang isbat dianggap sebagai penghamburan uang negara,

Bahkan dianggap seolah-olah merupakan keberpihakan pemerintah pada golongan tertentu

Hal itu adalah sebuah pemikiran sesat yang cenderung membodohi masyarakat.

Maka sangatlah jelas ulama atau kiai, habib sekaliber apapun

Tetap tidak mempunyai hak/otiritas menyampaikan ikhbar

Untuk pelaksanaan awal waktu dilaksanakannya suatu peribadatan.

Sehingga dengan demikian ummat tidak perlu lagi dibingungkan siapa yang harus diikuti.

Tegasnya hanya pemerintah yang mempunyai hak ikhbar.

Pada bagian berikutnya sangat menarik untuk di teliti dan dipelajari,

Sebuah catatan menyangkut ulama besar Indonesia :

  1. Abd. Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA) dibawah ini.

4

Pelopor penggunaan Metode “HISAB” di Nusantara

Menurut catatan sejarahnya adalah :

  1. Syekh Jamil Jambek, seorang Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah di Sumatra, sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia.
  2. Syekh Abdul Karim Amrullah, sahabat Syekh Jamil Jambek dan ayah kandung dari Buya HAMKA.

(Kitab Al Rahmah, th. 1930)

Pada masa itu, Kerajaan/Kasulthanan Melayu, Sumatra Timur, sebagai penguasa wilayah

Berdasarkan mayoritas Ulama di zaman itu telah berpegang pada metode Ru’yatul Hilal.

Hal ini sebagai bukti pula bahwa wilayah kaum muslimin Nusantara sejak saat itu

Telah berketetapan pada Metode Ru’yatul Hilal.

Namun pada saat diselenggarakan Konferensi Dunia Islam di Kuala Lumpur pada tanggal 21 s/d 27 April 1969.

Saat seluruh negara-negara Islam dunia menyatakan berpegang pada metode Ru’yah

Hanya Indonesia (diwakili : Buya HAMKA) dan Negara Iran yang berpegang pada metode Hisab.

Akan tetapi Buya HAMKA, telah memberikan penjelasan bahwa negara RI

Berpegang pada Ru’yatul Hilal

Namun tetap membolehkan digunakannya metode Hisab.

Pada tahun 1950, saat ibukota negara RI berada di Yogyakarta.

Dalam Kabinet Halim, menteri agama saat itu adalah KH. Faqih Usman yang berasal dari Ormas Muhammadiyyah.

  1. Faqih Usman, sebagai menteri agama saat itu telah MENETAPKAN bahwa Negara Republik Indonesia.

Berpegang pada metode Ru’yatul Hilal dalam menetapkan bulan-bulan ibadah (terutama : bulan Ramadhon, Syawwal dan Dzulhijjah)

Untuk itu telah didirikan Laboratorium Ru’yah di daerah pelabuhan ratu jawa barat

Sebagai upaya pertanggungjawaban kementerian agama pada tugas penentuan bulan-bulan ibadah.

Bahkan saat ini kementerian agama telah mengembangkannya dengan berbagai peralatan “Canggih”

Untuk ke absahan/keakuratan tugas yang diembannya.

Sekali lagi hal tersebut adalah bukti kehadiran pemerintah RI

Dalam masalah yang ada pada kaum muslimin Indonesia.

Sebagai seorang ulama’ kharismatik,

Sudah pasti buya HAMKA, banyak menerima permintaan fatwa dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah ummat.

Atas permohonan fatwa dari seorang warga Muhammadiyyah yang bernama : Hasan Basri Sulthan

Tentang masalah Ru’yah dan Hisab serta adanya fatwa dari Syaikh Al Azhar Mesir,

Yaitu Syaikh Ahmad Khatir, yang berpegang pada metode Ru’yah.

Buya Hamka menulis sebuah makalah yang diberi judul :

“SAYA KEMBALI KE RU’YAH”

menjelang 1 Ramadhan 1392H

Terbit 1972, Firma Islamiyyah, Medan 1972M

Maknanya adalah setelah beliau bertahun -tahun bahkan,

Sejak masa mudanya berpegang pada metode Hisab

Dengan tulisan tersebut, beliau nampaknya merubah pegangannya pada metode Ru’yatul Hilal.

Demikianlah catatan sejarah tentang dinamika masalah fiqh khusus nya masalah Metode Hisab dan Ru’yatul Hilal.

Catatan penting,

Metode Ru’yatul Hilal tidak dapat dilaksanakan tanpa didahului dengan metode Hisab.

Itulah sebabnya Kementerian agama selalu bekerja sama dengan banyak pihak antara lain :

* Badan meteorologi dan geofisika (BMKG)

* Lembaga observatorium/penelitian benda-benda langit BOSCHA

* Planetarium

* Dan lain-lain

Maka hakikatnya, Pemerintah Indonesia menggunakan 2 metode secara bersamaan, yaitu Hisab dan Ru’yatul Hilal.

Kita segera sampai pada kesimpulan.

KESIMPULAN :

  1. Sebagaimana kita ketahui perbedaan pendapat berbagai masalah dalam islam, di BOLEH kan.

Syarat utamanya dalam berbeda pendapat adalah,

Harus didukung “ILMU” yang jelas dan dilakukan oleh para ilmuwan / ULAMA’

” ULAMA’ ” telah sama-sama kita ketahui dan sepakati, mereka adalah

Pemegang otoritas dalam memberikan arahan tentang Hukum/Fiqh bagi “UMMAT”

Sementara Ummat berkewajiban mengikuti dengan patuh pendapat dan bimbingan para ulama’ nya

  1. Dalam hal perbedaan pelaksanaan bulan-bulan ibadah (Ramadhan, Syawwal & Dzulhijjah)

Harus memperhatikan keberadaan Imam wilayah.

Dalam hal, Negara Republik Indonesia, yang mempunyai otoritas untuk menetapkan awal bulan-bulan tersebut adalah

Pemerintah Republik Indonesia yang Syah, dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia

Tugas pemerintah itu berkisar pada :

* Penetapan hari ru’yatul hilal melalui ilmu HISAB (perkiraan waktu melihat hilal)

* Melakukan sumpah bagi orang yang mengaku telah melihat hilal

* Melaksanakan sidang isbath berdasarkan berbagai kelengkapan dan persyaratannya

* Menetapkan hasil sidang Isbath

* Melakukan “IKHBAR” atau menyampaikan pengumuman penentuan hari-hari pelaksanaan ibadah sesuai hasil sidang Isbath.

Maka untuk “Persatuan dan Ukhuwah ummat islam”

Tidak ada satu pihakpun baik Kiai – Habib – Ustadz – Ormas – Majelis Ta’lim Thoriqoh, apalagi Ummat biasa

Yang boleh dan berhak melakukan Ikhbar/Pengumuman/Woro-woro

Tentang awal bulan ibadah dan pelaksanaan ibadahnya

Namun sekali lagi boleh berbeda hari pelaksanaan awal puasa maupun hari raya dengan pemerintah

Bila mempunyai ilmu yang meyakinkan dan berdasarkan hujjah/argumentasi yang jelas.

Demikianlah disampaikan Renungan tentang perbedaan pelaksanaan Hari raya Idul fithri 1644H/2023M

Yang dirasakan sangat hiruk pikuk melebihi tahun-tahun sebelumnya

Harapannya adalah hal tersebut tidak terjadi lagi di tahun-tahun mendatang

Silakan berbeda tanpa harus saling menyalahkan dan merasa paling benar sendiri

Karena pada hakikatnya semua pendapat itu benar asalkan didukung oleh ilmu yang benar pula.

Semoga kaum muslimin tetap selalu menjaga persatuan dan ukhuwah

Dan selalu patuh pada para ulama’ yang ada didalam pemerintahan negara Republik Indonesia

Semoga bangsa dan negara Indonesia selalu mendapatkan ridlo dari Allah SWT.

Wallahu a’lamu bi shawwab

Mohon maaf atas kurang dan salah

HMKWS – PPDAI TEMPEL DIY – 1644H.

error: Content is protected !!