Sabilus Salikin (5): Dasar Hadis Tarekat

Sejalan dengan apa yang disitir dalam Alquran, sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam kontek Hadis.

Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan dan dasar ajaran-ajaran tasawuf adalah hadis-hadis berikut.

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 4, halaman: 301)

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ اَنْ اُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِهِ عَرَفُوْنِيْ

Aku adalah perbendaharaan yang tersembunji, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Atsar al-Ahâdîts al-Dha’îfah wa al-Maudhu’ah fi al-‘Aqîdah Abd. Rahman Abd. al-Khaliq, juz 1, halaman: 15, Tafsîr al-Alusi, juz 19, halaman: 418)

لاَيَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْـبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّذِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّذِيْ يَمْشِي بِهَا فَبِيْ يَسْمَعُ فَبِيْ يَبْصُرُ وَبِيْ يَنْطِقُ وَبِيْ يَعْقِلُ وَبِيْ يَبْطِشُ وَبِيْ يَمْشِي

Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sebingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal, dan kakinya yang dia pakai unluk berjalan, maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat berbicara, berpikir, mengepal, dan berjalan, (Jâmi’ al-‘Ulum wa al-Hukum, juz 1, halaman: 365)

Hadis di atas memberi petunjuk bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat melebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana’, yaitu fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan sebagai yang dicintainya.

Berikut ini dikemukakan beberapa hadis yang merupakan landasan lahirnya tasawuf:

Aisyah berkata:

اَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ: أَفَلاَ اُحِبُّ اَنْ اَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا.

Adalah Nabi bangun shalat malam (qiyam al-lail), sehingga bengkak kakinya. Aku berkata kepadanya, ‘Gerangan apakah sebabnya, wahai utusan Allâh, engkau sekuat tenaga melakukan ini, padahal Allâh telah berjanji akan mengampuni kesalahanmu, baik yang terdahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menyawab, Apakah aku tidak akan suka menjadi seorang hamba Allâh yang bersyukur?, (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullâh SAW bersabda:

وَاللهِ اِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ اَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

Demi Allâh, aku memohon ampunan kepada Allâh dalam sehari semalam tak kurang dari tujuh puluh kali.” H.R. Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 2, halaman: 338, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :67)

Rasulullâh SAW bersabda:

اِنَّ اللهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ اَذَنْـتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ اَحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا وَاِنْ سَأَلَنِيْ لأَعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ.

Sesungguhnya Allâh SWT telah berfirman, “Siapa memusuhi kekasihKu, maka Aku menyatakan perang kepadannya Tidak ada yang paling Aku sukai dan hamba-Ku yang mendekatkankan diri kepada-Ku selain menjalankan kewajibannya. Hendaklah hamba-Ku mendekatkan diri dengan-Ku juga dengan menjalankan kesunahan-kesunahan sehingga Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaRAn dan penglihatannya, juga akan menjadi tangan dan kakinya. Setiap penmohonannya pasti akan Aku kabulkan. Jika meminta perlindungan, Aku akan melindunginya”,H.R Al-Bukhari, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 91, Shahîh al-Bukhâri-Thûq al-Najâh, juz 8, halaman :105)

Maksudnya: pernyataan bahwa Allâh akan menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki hamba yang dicintai-Nya merupakan mayaz untuk menjelaskan pertolongan Allâh.

Rasulullâh SAW bersabda:

لَوْ اَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَتَّى تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ يَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Seandainya kalian benar-benar bentawakal kepada Allâh, maka Allâh akan memberikan rezeki pada kalian sebagaimana bunting yang pergi dalam keadaan perut kosong dan pulang sudah kenyang”. H.R. At-Tirmidzi. Hadis Hasan, (Sunan Ibn Majjah, juz 2, halaman: 1394)

Rasulullâh SAW bersabda:

اِزْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَا فِى اَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوْكَ

Berzuhudlah terhadap dunia maka Allâh akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di tangan orang lain maka mereka akan mencintaimu”, (Sunan Ibn Majjah, juz 3, halaman :1373).

Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa dirinya adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Beliau mejauhi pola hidup kebendaan saat orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.

Selama di Gua Hira, Rasulullâh SAW hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan terkadang memakai pakaian tambalan, tidak memakan makanan atau meminum, kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allâh SWT, sehingga Siti Aisyah, istrinya, bertanya, ‘Mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullâh SAW, padahal Allâh SWT senantiasa mengampuni dosamu?’ Rasulullâh SAW menyawab, ‘Apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allâh SWT?’

Kalangan sahabat pun ada yang mengikuti praktik bertasawuf sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah berkata, Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketaqwaan, ke-fana’-an dalam keagungan dan kerendahan hati. Khalifah Umar bin al-Khattab RA pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum Muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman Ibn Affan RA banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Alquran. Baginya, Alquran ibarat surat dan kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke mana pun ia pergi. Demikian pula, sahabat-sahabat lainnya, seperti Abu Dzar al-Ghifari, Tamim ad-Dary, dan Hudzaifah aI-Yamani.

Uraian dasar-dasar tasawuf di atas, baik Alquran, Hadis, maupun suri teladan para sahabat, ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Alquran. Dan sini, jelaslah bahwa pertumbuhan pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dan sumber Alquran itu sendiri.

Faktor intern yang dapat dipandang sebagai penyebab langsung lahirnya tasawuf di dunia Islam, selain berupa pernyataan Alquran dan Hadis, adalah perilaku Rasulullâh SAW sendiri. Sebagaimana telah dimaklumi, beliau di dalam bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh) tidak jarang pergi meninggalkan keramaian dan hidup menyepi untuk merenung dan berkontemplasi dan ber-tahannus di Gua Hira. Ternyata, di tengah-tengah kesendiriannya inilah, beliau berkomunikasi dengan Allâh dan mendapat petunjuk dari-Nya.

***

Penulis: Para santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!