Pilar agama itu ada tiga, yakni islam, iman, dan ihsan
أَرْكَانُ الدِّيْنِ ثَلَاثَةٌ: الْإِسْلَامُ، وَالْإِيْمَانُ، وَالْإِحْسَانُ، (دُرُوْسُ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ، ص: 3)
Berikut ini pembahasan islam, iman, dan ihsan:
هٰذِهِ مَنَازِلُ الثَّلَاثُ هِيَ الَّتِيْ يَنْزِلُهَا الْمُرِيْدُ وَيَرْتَحِلُ عَنْهَا. مَنْزِلُ الْإِسْلَامُ، وَهُوَمَحَلُّ تَطْهِيْرُ الْجَوَارِحِ الظَّاهِرَةِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَتَحْلِيَتُهَا بِطَاعَةِ عَلَّامِ الْغُيُوْبِ. وَمَنْزِلُ الْإِيْمَانُ، وَهُوَمَحَلُّ تَطْهِيْرِ الْقُلُوْبِ مِنَ الْمَسَاوِى وَالْعُيُوْبِ، وَتَحْلِيَتُهَا بِمَقَامَاتِ الْيَقِيْنِ، لِتَتَهَيَّأَ لِحَمْلِ مَعْرِفَةِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَمَنْزِلَةُ الْإِحْسَانُ، وَهُوَ مَحَلُّ الشُّهُوْدِ وَالْعَيَانُ.
Islâm adalah tempat penyucian anggota-anggota lahir dari segala dosa dan menghiasinya dengan tujuan taat kepada Allâh ‘allam al ghuyub.
Îmân adalah tempat penyucian hati dari perbuatan buruk dan sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan maqâm-maqâm yaqin agar siap untuk menggapai ma’rifatullah.
Ihsân adalah tempat di mana seorang hamba dapat bermusyahadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 68).
Sementara itu, hilangnya Islâm disebabkan empat hal;
ذِهَابُ الْإِسْلَامِ مِنْ أَرْبَعَةٍ: أَوَّلُهَا: لَايَعْمَلُوْنَ بِمَا يَعْلَمُوْنَ، وَالثَّانِى: يَعْمَلُوْنَ بِمَا لَايَعْلَمُوْنَ، وَالثَّالِثُ: لَايَتَعَلَّمُوْنَ مَا لَايَعْلَمُوْنَ، وَالرَّابِعُ: يَمْنَعُوْنَ النَّاسُ مِنَ التَّعَلُّمِ، (طبقات الصوفية، ص: 173)
(1) Tidak mengamalkan/mengerjakan apa yang sudah diketahui.
(2) Mengamalkan apa yang tidak diketahui (beramal tidak berilmu).
(3) Tidak mau mempelajari apa yang tidak diketahui.
(4) Melarang manusia/orang lain untuk belajar, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 173), (Ibnu Salim di dalam kitab al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 273 menjelaskan empat rukun Îmân, antara lain;
Îmân kepada Qadar
Îmân kepada Qudrat
Membinasakan kekuasaan dan kekuatan yang kita miliki.
Menemukan pertolongan Allâh SWT dalam segala urusan.
Sementara itu, di dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 331 dijelaskan mengenai syarat-syarat Îmân;
(وَاعْلَمْ) أَنَّكَ إِذَا سُئِلْتَ عَنْ شُرُوْطِ اْلِايْمَانِ؟ (فَالْجَوَابُ) عَشْرَةٌ اَلْـخَوْفُ مِنَ اللهِ وَالرَّجَاءُ فِى فَضْلِ اللهِ وَالْاِشْتِيَاقُ إِلَى اللهِ وَالتَّعْظِيْمُ لِمَنْ عَظَّمَ اللهَ وَالْتَهَاوُنُ بِمَنْ تَهَاوَنَ بِاللهِ وَالرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ وَالْـحَذْرُ مِنْ مَكْرِ اللهِ وَالشُّكْرُ لِنِعْمَةِ اللهِ وَالتَّوَكُّلُ عَلَى اللهِ وَالتَّسْبِيْحُ بِحَمْدِ اللهِ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 331).
Sepuluh syarat Îmân tersebut antara lain adalah sebagai berikut;
(1) al-Khauf, takut kepada Allâh SWT
(2) al-Rajâ’, mengharap anugerah Allâh SWT
(3) Isytiyâq, rindu kepada Allâh SWT
(4) al-Ta‘dzim, menghormati orang yang menghormati Allâh SWT
(5) al-Tahâwun, meremehkan orang yang meremehkan Allâh SWT
(6) Ridhâ, menerima keputusan Allâh SWT
(7) al-Hadzr, takut dari berbuat makar terhadap Allâh SWT
(8) al-Syukru, syukur atas nikmat Allâh SWT
(9) al-Tawakkal, tawakkal kepada Allâh SWT, dan
(10) al-Tasbîh, bertasbih dengan memuji Allâh SWT (dzikirullah).
Salah satu sifat orang yang beriman adalah mencari perantaraan, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 74).
Dalam istilah tauhid, Îmân berarti membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Dan dalam pemahaman lain dapat diartikan bahwa Îmân adalah menetapkan keyakinan akan sebuah kebenaran dalam hati, kemudian keyakinan itu diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Dalam melaksanakan perintah serta meninggalkan larangan Allâh dan Rasul-Nya, sering kali manusia teledor, lalai atau bahkan meninggalkannya, hal ini kemudian Nabi Muhammad memberikan resep untuk memperbarui keadaan keimanan yang tidak stabil, dengan memperbanyak membaca tahlil, seperti hadist berikut ini;
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم قَالَ جَدِّدُوْ اِيْمَانَكُمْ, قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ نُجَدِّدُ اِيْمَانَنَا؟ قَالَ اَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ: لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasûlullah SAW bersabda; “Perbaruilah îmân kalian semua”, kemudian ada yang berkata; “wahai Rasûlullah bagaimana caranya kita semua bisa memperbarui îmân?” Rasûlullah menjawab; “perbanyaklah membaca tahlil”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2 halaman: 250).
Berikut ini adalah firman Allâh SWT kepada Nabi Musa As.;
يَا مُوْسَى لَوْلَا مَنْ يَقُوْلُ لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ اللهُ لَسَلَّطْتُ جَهَنَّمَ عَلَى أَهْلِ الدُّنْيَا، (حلية الأولياء، جز 2، ص: 236، جز 4، ص: 436. كاشفة السجا ، ص: 14)
Hai Musa, andaikata di dunia ini tidak ada orang yang mengucap lafad لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ niscaya aku (Allâh) akan memasukkan penduduk dunia ke neraka jahannam, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2 halaman: 236, Juz 4 halaman: 436, Kâsyifah al-Sajâ, halaman: 14).
Ada sebuah hadîts shahîh yang menjelaskan bahwa kiamat (hari akhir) tidak akan pernah terjadi selama manusia membaca tahlil (لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ) dan Rasûlullah SAW bersabda bahwa kiamat tidak akan terjadi selama di bumi masih ada manusia yang berdzikir.
Berikut penjelasan Hadisnya;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَبَّاسِ وَ عَبْدِ اللهِ بِنْ عُمَرَ، وَ عَبْدِ اللهِ بِنْ عَمْرُو بْنُ الْعَاصْ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلعم قال: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ مِنْ اَحَدٍ يَقُوْلُ: لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ. هٰذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amar bin Ash, sesungguhnya Rasûlullah SAW Bersabda; “Hari kiamat tidak akan terjadi selama ada seseorang yang membaca لَآإِلٰهَ اِلَّا اللهُ”, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 3 halaman: 74).
وَقَالَ النَّبِي صلعم: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ فِي الْاَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ الله الله.
Dan Rasûlullah SAW Bersabda; “Kiamat tidak akan terjadi selama di bumi masih ada orang yang berdzikir Allâh, Allâh”, (Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl, halaman: 171).
Selanjutnya, Rasûlullah SAW juga menjelaskan bahwa hari kiamat tidak akan pernah terjadi sehingga banyak terjadi pembunuhan dan peperangan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6 halaman: 407).
قال رسول الله: لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ. قُلْنَا:وَ مَا الهرج؟ قال: الْقَتْلُ.
Îmân sendiri memiliki karakter sesuai dengan makhluk yang memilikinya.
وَإِذَا سُئِلْتَ عَنِ الْإِيْمَانِ عَلَى كَمْ قِسْمٍ (فَالْجَوَابُ) عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: إِيْمَانٌ مَطْبُوعٌ لاَ يَزِيْدُ وَلاَ يَنْقُصُ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمَلاَئِكَةِ. وَإِيْمَانٌ مَعْصُوْمٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ يَزِيْدُ بِنُزُوْلِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِمْ، وَلاَ يَنْقُصُ. وَإِيْمَانٌ مَقْبُوْلٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمُؤْمِنِيْنَ تَارَةً يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَتَارَةً يَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ذَاتُ اْلإِيْمَانِ يَزِيْدُ باِلطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ. وَإِيْمَانٌ مَوْقُوْفٌ، وَهُوَ إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فَإِذَا ذَهَبَ النِّفَاقُ مِنْ قُلُوْبِهِمْ صَحَّ إِيْمَانُهُمْ وَإِيْمَانٌ مَرْدُوْدٌ وَهُوَ إِيْمَانُ الْكُفْرَةِ وَالنَّصَارَى وَمَا أَشْبَهَ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 331)
Keterangan di atas menjelaskan mengenai lima golongan atau macam-macam Îmân. Berikut penjelasan yang dimaksud;
(1) Golongan yang Îmân-nya bersifat tetap, tidak bertambah dan tidak berkurang. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya para malaikat.
(2) Golongan yang Îmân-nya terus bertambah. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya para Nabi dan Rasul. Hal itu disebabkan para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang dijaga dari kesalahan (ma’shum).
(3) Golongan yang Îmân-nya dapat berkurang karena maksiat, dan dapat bertambah karena taat. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya orang-orang mu’min.
(4) Golongan yang Îmân-nya didiamkan dalam arti Îmân mereka tidak akan benar selama kemunafikan masih ada dalam hati mereka. Golongan ini disebut dengan Îmân¬-nya orang-orang yang munafik.
(5) Golongan yang Îmân-nya ditolak, mereka adalah golongan orang-orang kafir, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 331).
Berikutnya adalah keterangan mengenai tempatnya Îmân dan Islâm yang dijelaskan di dalam kitab Syarh al-Hikam;
قاَلَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ ظَاهِرُ الْقَلْبِ مَحَلُّ اْلإِسْلاَمِ وَبَاطِنُهُ مَكَانُ اْلإِيْمَانِ فَمِنْ هَهُنَا تَفَاوَتَ الْمُحِبُّوْنَ فِى الْمَحَبَّةِ لِفَضْلِ اْلإِيْمَانِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ وَفَضْلِ الْبَاطِنِ عَلَى الظَّاهِرِ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 36)
Sebagian orang alim berkata: “Bagian luar hati adalah tempatnya Islâm, bagian dalam hati adalah tempatnya Îmân. Dari sinilah para pecinta itu berbeda-beda dalam cintanya, karena lebih unggulnya Îmân atas Islâm-nya, dan lebih unggulnya batin atas lahirnya”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 36).
Selanjutnya mengenai empat tingkatan/derajad Îmân yang dijelaskan di dalam kitab Tanwîr al-Qulûb;
(وَاعْلَمْ) أَنَّ اْلِإيْمَانَ أَرْبَعُ مَرَاتِبَ (اَلْأُوْلَى) إِيْمَانُ الْمُنَافِقِيْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ دُوْنَ قُلُوْبِهِمْ وَإِنَّمَا يَنْفَعُهُمْ فِى الدُّنْيَا لِحِفْظِ دِمَائِهِمْ وَصَوْنِ أَمْوَالِهِمْ، وَهُمْ فِى الْآخِرَةِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: (إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ) ـ (الثَّانِيَةُ) إِيْمَانُ عَامَّةِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِقُلُوْبِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ لَكِنَّهُمْ لَمْ يَتَخَلَّقُوْا بِمُقْتَضَاهُ، وَلَمْ تَظْهَرْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ الْيَقِيْنِ فَيُدَبِّرُوْنَ مَعَ الله وَيَخَافُوْنَ وَيَرْجُوْنَ غَيْرَهُ، وَيَجْتَرِئُوْنَ عَلىَ مُخَالَفَةِ أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ (الثَّالِثَةُ) إِيْمَانُ الْمُقَرَّبِيْنَ، وَهُمْ الَّذِيْنَ غَلَبَ عَلَيْهِمْ اسْتِحْضَارُ عَقَائِدِ الْإِيْمَانِ، فَانْطَبَعَتْ بِذَلِكَ بَوَاطِنُهُمْ، وَصَارَتْ بَصَائِرُهُمْ كَاَنَّهَا تُشَاهِدُ الْأَشْيَاءَ كُلَّهَا صَادِرَةً مِنْ عَيْنِ الْقُدْرَةِ الْأَزَلِيَّةِ، فَظَهَرَتْ عَلَيْهِمْ ثَمَرَاتُ ذَلِكَ، فَلَا يَعُوْلُوْنَ عَلَى شَىْءٍ سِوَى اللهِ، وَلَا يَخَافُوْنَ وَلَا يَرْجُوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُمْ رَأَوْا أَنَّ الْخَلْقَ لَا يَمْلِكُوْنَ لِأَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَلَا ضَرًّا، وَلَا يَمْلِكُوْنَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُوْرًا، وَلَا يُحِبُّوْنَ غَيْرَهُ: لِأَنَّهُ لَا مُحْسِنَ سِوَاهُ، وَلِهَذَا قَالَ الشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: (وَهَبْ لَنَا حَقِيْقَةَ الْإِيْمَانِ بِكَ حَتَّى لَا نَخَافَ غَيْرَكَ، وَلَا نَرْجُوْ غَيْرَكَ، وَلَا نُحِبَّ غَيْرَكَ، وَلَا نَعْبُدَ شَيْئًا سِوَاكَ) وَلَا يَعْتَرِضُوْنَ شَيْئًا مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَحْكَامِهِ: لِأَنَّهُ الْحَكِيْمُ، وَرَأَوْا الآخِرَةَ مَحَلَّ الْقَرَارِ، فَسَعَوْا لَهَا سَعْيَهَا (الرَّابِعَةُ) إِيْمَانُ أَهْلِ الْفَنَاءِ فِى التَّوْحِيْدِ الْمُسْتَغْرِقِيْنَ فِى الْمُشَاهَدَةِ، كَمَا قَالَ سَيِّدِيْ عَبْدُ السَّلاَمِ: وَأَغْرِقْنِيْ فِى عَيْنِ بَحْرِ الْوِحْدَةِ حَتَّى لَا أَرَى وَلَا أَسْمَعَ وَلَا أَجِدَ وَلَا أَحَسَّ إِلَّا بِهَا، وَقَالَ: وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ وَحَلَّ بَيْنِيْ وَبَيْنَ غَيْرِكَ. وَهَذا الْمَقَامُ يَحْصُلُ وَيَنْقَطِعُ، (تنوير القلوب، ص: 83)
Empat tingkatan Îmân yang dimaksud di atas adalah;
1) Îmân-nya orang-orang munafik hanya membenarkan dengan lisan mereka tanpa diyakini dengan hati, akan tetapi Îmân mereka berguna di dunia untuk menjaga darah dan harta mereka, sedang di akhirat sebagaimana firman Allâh SWT; “Sesungguhnya orang-orang munafik akan ditempatkan di neraka yang paling bawah”.
2) Îmân-nya orang-orang mu’min. Mereka meyakini dengan hati dan membenarkan dengan lisan, akan tetapi mereka tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan Allâh SWT, dan buah dari keyakinannya tidak tampak. Maka, ketika mereka ber-tadabbur pada Allâh SWT mereka masih takut dan berharap pada selain-Nya, dan mereka berani untuk mengingkari perintah-Nya dan larangan-Nya.
3) Îmân Muqarrabin, yaitu mereka yang menyibukkan diri dengan menghadirkan aqidah keimanan, sehingga keimanan mereka menyatu dalam batin mereka. Mata hati mereka seolah-olah memandang segala sesuatu yang keseluruhannya itu keluar dari ketentuan pada zaman azali. Maka, tampaklah hasil dari keimanan mereka. Mereka tidak meminta tolong kepada selain Allâh SWT, mereka tidak takut dan tidak pula berharap kecuali kepada Allâh SWT Mereka berkeyakinan bahwa makhluk itu tidak mempunyai kemanfaatan dan bahaya baginya. Dan juga tidak kematian, kehidupan, dan kebangkitannya, dan tidak mencintai selain Allâh SWT karena selain Allâh SWT tidak bisa berbuat kebaikan. Oleh karena itu Syaikh Abû Hasan berkata: “Berilah kami haqîqat Îmân kepada-Mu sehingga kami tidak takut kepada selain-Mu, tidak mengharap sesuatu kepada selain-Mu, tidak mencintai kepada selain-Mu, dan tidak menyembah sesuatu selain-Mu”. Dan mereka (muqarrabin) tidak berpaling dari kehendak dan hukum-Nya. Karena sesungguhnya Allâh SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, dan mereka berkeyakinan bahwa akhirat adalah tempat yang kekal, maka mereka pun berlomba-lomba.
4) Îmân-nya Ahlul Fana’ dalam ketauhidannya yang tenggelam dalam musyahadah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Abdu as-Salam: “Tenggelamkanlah aku dalam sumber lautan keesaan-Mu sehingga kami tidak melihat, tidak mendengar, tidak menemukan dan meRasakan kecuali kepada-Mu. Kumpulkanlah antara aku dan engkau dan halangi antara aku dan selain engkau”, (Tanwîr al-Qulûb, halman: 83).
Dan pembahasan berikutnya tentang hakikat Ihsân.
(وَأَمَّا حَقِيْقَةُ الْإِحْسَانِ) فَهِىَ أَنْ يَعْبُدَ الْعَبْدُ رَبَّهُ كَأَنَّهُ يَرَاهُ، كَمَا فِى حَدِيْثِ جِبْرِيْلَ وَقَالَ الْجَلَالُ الْمَحَلِّى: حَقِيْقَةُ الْإِحْسَانِ مُرَاقَبَةُ الله تعالى فِى جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ الشَّامِلَةِ لِلْإِيْمَانِ وَالْإِسْلاَمِ حَتَّى تَقَعَ عِبَادَاتُ الْعَبْدِ كُلُّهَا فِى حَالِ الْكَمَالِ مِنَ الْإِخْلَاصِ وَغَيْرِهِ.
Yakni, seorang hamba yang sedang beribadah/menyembah kepada Allâh SWT seakan-akan melihat Allâh SWT Imam Jalal al-Mahallî menyatakan bahwa hakikat Ihsân adalah muraqabah kepada Allâh SWT dalam berbagai ibadah yang meliputi Îmân dan Islâm. sehingga seluruh ibadah seorang hamba mencapai kesempurnaan, seperti ikhlas, dan lain-lain, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 86).
***