Sabilus Salikin (50): Sejarah Perkembangan Tarekat Junaidiyah

Awal pendidikan al-Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada pamannya sendiri, Sari al-Saqathi, yang dikenal sebagai seorang shufi yang sangat luas ilmu pengetahuannya.

Ketika usianya 20 tahun, al-Junaid mulai belajar hadits dan fiqih pada Abu Thawr, seorang faqih yang kondang di Baghdad. Setelah mempelajari hadits dan fiqih, al-Junaid beralih menekuni tashawwuf, sekalipun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tashawwuf sejak berumur 7 tahun di bawah bimbingan Sari al-Saqati. Selain itu Junaid kecil juga belajar sufisme dari siapa saja sehingga pengetahuan shufismenya semakin hari bertambah luas. Ketika dewasa bisa dibilang ilmu al-Junaid dalam shufisme telah cukup matang.

al-Junaid terkenal dengan seorang shufi yang cerdas, memiliki pikiran cemerlang dan selalu cepat tanggap dalam menghadapi segala situasi dan kondisi. Analisisnya terhadap berbagai masalah yang diajukan kepadanya sangatlah tajam, sehingga sering membuat para pendengarnya terkagum-kagum. Padahal sifat dan kemampuannya ini sudah tampak sejak masa kanak-kanak.

Kedudukannya diantara para shufi sangatlah terhormat, bahkan Sari al-Saqathi sendiri sempat mengakuinya. Dalam riwayat dinyatakan, ketika seseorang bertanya kepada Sari al-Saqati, “Apakah seorang murid dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari gurunya dalam tashawwuf?” Sari al-Saqati menjawab, “Tentu saja bisa, lantaran ada banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tingkat tashawwuf al-Junaid itu sesungguhnya lebih tinggi dari tingkat yang pernah kucapai.” (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 370).

Baca juga: Gus Muwafiq dan Habib Abu Bakar: Dua Sudut Pandang tentang Nabi Muhammad

Lebih jauh al-Junaid menegaskan, bagaimanapun tingginya tingkatan yang telah dicapai, seorang shufi harus tetap meyakini Keesaan Tuhan dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Dalam ajaran Shufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Shufi memiliki:

  1. Kemurahan hati seperti Ibrahim As.;
  2. Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail As.;
  3. Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya’kub As.;
  4. Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria As.;
  5. Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya As.;
  6. Jubah wool seperti mantel gembala Musa As.;
  7. Pengembaraan, seperti perjalanan Isa As.;
  8. Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad Saw, (Tadzkirat al-Auliyâ‟, halaman: 387).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!