Oleh Fathur Rozi
Muhammad Abid al-Jabiri adalah seorang pemikir Muslim terkemuka yang berasal dari Maroko. Pemikirannya dikenal sebagai proyek rekonstruksi nalar Arab melalui trilogi magnum opus-nya; Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi, yang tergabung dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabi.
Dalam pemikirannya, al-Jabiri merumuskan irasionalisme dan menyimpulkan rasionalisme dalam merumuskan pemikiran Islam. Al-Jabiri percaya bahwa ajaran Islam harus dilihat sebagai sekumpulan ide yang sesuai dengan rasionalitas dan gagasan ilmiah.
Al-Jabiri membagi tiga nalar epistemologi yaitu bayani, burhani, dan irfani. Ia menganggap epistemologi nalar Arab ini sebagai titik kunci untuk memasuki seluruh peradaban Arab yang membentuk seluruh bangunan keislaman yang berkembang, bukan hanya di wilayah Arab, tetapi seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting ketiga konsep ini harus dikritisi oleh al-Jabiri.
Turats dan Modernitas
Abid al-Jabiri memandang bahwa turats dan modernitas merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam pemikiran Islam. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai turats dan modernitas dalam lanjut pemikiran Abid al-Jabiri:
Turats: Turat adalah warisan intelektual dan budaya yang ditinggalkan oleh para ulama dan intelektual Muslim pada masa lalu. Menurut Abid al-Jabiri, turats merupakan sumber utama bagi pemikiran Islam dan harus dijadikan sebagai titik tolak dalam mereformasi pemikiran Islam. Dalam pandangan Abid al-Jabiri, turats harus dilihat sebagai sesuatu yang hidup dan berkembang, bukan sebagai sesuatu yang kaku dan statis.
Modernitas: Abid al-Jabiri memandang bahwa modernitas merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari dan harus diterima oleh umat Islam. Menurutnya, modernitas dapat membawa perubahan positif bagi umat Islam jika dihadapkan dengan cara yang tepat. Abid al-Jabiri menekankan bahwa umat Islam harus mampu mengambil yang baik dari modernitas dan menolak yang buruk.
Dalam pemikiran Abid al-Jabiri, turats dan modernitas harus diintegrasikan secara harmonis dalam pemikiran Islam. Ia berpendapat bahwa umat Islam harus mampu mengambil hikmah dari turats dan memadukannya dengan nilai-nilai modernitas untuk menciptakan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman.
Oleh karena itu, Abid al-Jabiri menekankan pentingnya dialog kritis antara dunia Arab dan Islam dengan dunia Barat untuk mencapai pemahaman yang lebih baik mengenai modernitas dan memadukan nilai-nilai modernitas dengan nilai-nilai Islam.
Epistimologi Bayani, Burhani dan Irfani
Abid Al-Jabiri mengemukakan tiga model epistimologi yaitu Bayani, Burhani dan Irfani.
Epistemologi bayani adalah model metodologi berpikir berdasarkan teks. Al-Jabiri menganggap epistemologi bayani sebagai metode pemikiran khas Arab yang mengandalkan pemahaman terhadap teks-teks suci secara harfiah. Epistemologi bayani menentukan otoritasnya pada teks suci.
Epistemologi burhani adalah model metodologi berpikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar keruntutan logika. Al-Jabiri menganggap epistemologi burhani sebagai cara berpikir masyarakat Arab yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empiris dan logika. Epistemologi burhani menentukan otoritasnya pada akal.
Epistemologi irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct experience) atas realitas spiritual keagamaan. Al-Jabiri menganggap epistemologi irfani sebagai metode pemikiran khas Arab yang mengandalkan pengalaman mistik dan intuisi dalam memahami teks-teks suci. Epistemologi irfani menentukan otoritasnya pada pengalaman spiritual.
Dalam pemikiran Al-Jabiri, ketiga epistemologi tersebut memiliki perbedaan dalam cara berpikir dan menentukan otoritasnya. Epistemologi burhani menentukan otoritasnya pada akal an sich, sedangkan epistemologi bayani menentukan otoritasnya pada teks suci, dan epistemologi irfani menentukan otoritasnya pada pengalaman spiritual.
Oleh karena itu, Al-Jabiri mengkritik ketiga epistemologi tersebut karena dianggap tidak mampu menghasilkan pemikiran yang relevan dengan zaman dan tidak mampu menghadapi tantangan yang ada. Al-Jabiri menekankan pentingnya pengembangan pemikiran keislaman yang lebih rasional dan relevan dengan zaman.
Dalam pemikiran Al-Jabiri, ketiga model epistemologi ini perlu digabungkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang Islam. Gabungan ketiga model epistemologi ini dapat membantu kita memahami teks-teks Islam secara harfiah dan kontekstual, memahami makna yang lebih dalam dari teks-teks Islam, memahami pengalaman mistis, dan menggunakan logika dan argumen dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan.
Dalam konteks studi agama, gabungan ketiga model epistemologi ini dapat membantu kita memahami agama secara lebih utuh dan menyeluruh. Gabungan ketiga model epistemologi ini dapat membantu kita memahami teks-teks agama secara harfiah dan kontekstual, memahami makna yang lebih dalam dari teks-teks agama, memahami pengalaman mistis, dan menggunakan logika dan argumen dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan.
Dalam era globalisasi dan pluralisme seperti sekarang ini, pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang agama sangat penting untuk membangun kerukunan antarumat beragama. Gabungan ketiga model epistemologi ini dapat membantu kita membangun pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang agama, sehingga dapat memperkuat kerukunan antarumat beragama.
Epistimologi Islam dan Relevansinya
Epistemologi Islam menurut Abid al-Jabiri memiliki relevansi dalam hukum perkembangan Islam era disrupsi. Berikut adalah beberapa poin yang dapat diatur:
Abid al-Jabiri memandang bahwa epistemologi Islam harus dilihat sebagai sekumpulan ide yang sesuai dengan rasionalitas dan gagasan ilmiah. Dalam pandangannya, ajaran Islam harus dilihat sebagai sesuatu yang hidup dan berkembang, bukan sebagai sesuatu yang kaku dan statis.
Abid al-Jabiri menekankan pentingnya rasionalitas dalam merumuskan pemikiran Islam. Ia memandang bahwa pemikiran Islam harus dilihat sebagai sesuatu yang sesuai dengan akal sehat dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks hukum Islam, Abid al-Jabiri memandang bahwa konstruksi hukum Islam harus aplikatif dan sesuai dengan kondisi perubahan sosial. Oleh karena itu, ia terdorong pentingnya pemikiran Islam yang relevan dengan zaman dan mampu menghadapi tantangan yang ada.
Abid al-Jabiri juga menekankan pentingnya dialog kritis antara dunia Arab dan Islam dengan dunia Barat dalam mengembangkan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman. Ia berpendapat bahwa umat Islam harus mampu mengambil hikmah dari turats dan memadukannya dengan nilai-nilai modernitas untuk menciptakan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman.
Dalam konteks perkembangan era disrupsi hukum Islam, epistemologi Islam menurut Abid al-Jabiri dapat menjadi solusi untuk menghadapi tantangan yang ada. Dengan memadukan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai modernitas, umat Islam dapat menciptakan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman dan mampu menghadapi tantangan yang ada. Oleh karena itu, pemikiran Abid al-Jabiri tentang epistemologi Islam dapat menjadi acuan dalam mengembangkan hukum Islam yang aplikatif dan relevan dengan zaman.
Implikasi Pemikiran Abid al-Jabiri
Implikasi pemikiran Al-Jabiri bagi pemikiran keislaman adalah sebagai berikut:
Abid Al-Jabiri memandang bahwa dunia Arab dan Islam tidak harus menutup mata dari perkembangan dunia Barat, justru harus terjadi dialog kritis dan dialog peradaban. Oleh karena itu, pemikiran Al-Jabiri dapat menjadi acuan dalam mengembangkan pemikiran keislaman yang relevan dengan zaman dan mampu menghadapi tantangan yang ada.
Al-Jabiri menekankan pentingnya rasionalitas dalam merumuskan pemikiran Islam. Ia memandang bahwa pemikiran Islam harus dilihat sebagai sesuatu yang sesuai dengan akal sehat dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pemikiran Al-Jabiri dapat menjadi acuan dalam mengembangkan pemikiran keislaman yang rasional dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Al-Jabiri mengkritik nalar Arab yaitu epistemologi bayani, irfani, dan burhani. Dengan mengkaji ketiga konsep epistemologi tersebut, Al-Jabiri dengan tegas menyatakan bahwa ketiga konsep tersebut sudah membuat nalar Arab menjadi mundur. Oleh karena itu, pemikiran Al-Jabiri dapat menjadi acuan dalam mengembangkan pemikiran keislaman yang lebih maju dan relevan dengan zaman.
Al-Jabiri menekankan pentingnya dialog kritis antara dunia Arab dan Islam dengan dunia Barat dalam mengembangkan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman. Ia berpendapat bahwa umat Islam harus mampu mengambil hikmah dari turats dan memadukannya dengan nilai-nilai modernitas untuk menciptakan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman. Oleh karena itu, pemikiran Al-Jabiri dapat menjadi acuan dalam mengembangkan pemikiran keislaman yang relevan dengan zaman dan mampu menghadapi tantangan yang ada.
Dalam konteks dialog kritis antara dunia Arab dan Islam dengan dunia Barat. Pemikiran Al-Jabiri dapat menjadi acuan dalam mengembangkan pemikiran keislaman yang relevan dengan zaman dan mampu menghadapi tantangan yang ada. Oleh karena itu, pemikiran Al-Jabiri dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ketertinggalan umat Islam dan relevan dengan perkembangan zaman.